Tuesday, July 18, 2006

'AYAM PALEMBANG'

Salam,
We always meet many people with many characterism. In the traditional tale, we introduced with good intelectual actor or bad. But, we can justify all people surround us with just say good or bad. One day, may be you can meet someone with this character : like to show his/ her power, performance or succes story by over way. Our soul will reject the way.
Suddenly, I remember with my friend story when he live in a city in Java. He has a new neighbor that came from Palembang. This story is inspiring me to write the phenomena. Pls enjoying this :

‘AYAM PALEMBANG’
EH, PALEMBANG CHICKEN
Oleh Fakhrunnas MA Jabbar

BERKISAH soal ayam selalu menarik perhatian. Apalagi ketika wabah flu burung sedang merebak. Dulu, kalangan kampus benar-benar gerah ketika maraknya isu ‘ayam kampus’. Semua pimpinan kampus menolak mati-matian bahwa di kampus mereka tak ada ‘ayam kampus’ itu, walau kenyataannya ‘ayam-ayam’ itu hingga hari ini terus saja beranak pinak . Hehhh…
“Ayam Palembang” eh, ‘Palembang Chicken” yang hendak saya ceritakan ini memang tak ada kait-mengait dengan ‘ayam kampus’ itu. Sebutan ayam di sini memang dalam makna yang sebenarnya. Cerita ini semata muncul dalam joke sebagaimana joke-joke berlatar etnik lainnya seperti perihal Orang Aceh, Orang Arab, Orang Batak, Orang Melayu dan sebagainya. Tak lebih dari itu.
Seorang kolega saya menceritakan soal ‘Ayam Palembang’ ketika pernah bertetangga dengan sebuah keluarga dari Palembang. Sederhana saja. Si tetangga asal Palembang ini ternyata terbilang OKB alias Orang Kaya Baru. Semua perabotan dan isi rumahnya memang terbilang mewah. Pokoknya semua yang dipajang termasuk barang-barang berkelas dan bermerek. Tapi, sialnya, take ada tetangga lain yang datang ke rumah itu dan memuji-muji kehebatan dan kekayaannya. Ternyata tak hanya pelanggan saja yang harus dipuaskan, pemilik pun butuh kepuasan juga.
Merasa tak ada yang datang, tetangga Palembang ini mulai cari kiat. Kebetulan saja, sejumlah ayam milik tetangga sebelah rumahnya pernah memasuki rumahnya tanpa izin. Soal ayam inilah yang dijadikan alasan.
“Macam mano ayam kalian ini, gara-gara tak dikandang, leluasa masuk ke rumah kami…” kata tetangga Palembang pura-pura naik darah dengan dialek Palembang yang khas.
“Alaaah, Bu, maaflah, ayam memang tak berotak. Masuk rumah orang sesukanya. Nantilah, kami kandangkan saja agar take mengganggu tetangga…Maaf, ya Bu.” Tetangga yang jadi sasaran langsung saja memohon maaf.
Nyaris tak peduli dengan permintaan maaf itu, tetangga Palembang ini terus saja mencecar tetangganya.
“Hari itu, ayam kalian masuk lagi ke rumah kami. Semua keluarga kami berusaha mengusirnya. Eh, malah bikin kacau. Ayam itu melompak ke TV 54 inchi di ruang tamu..terus masuk ke ruang tengah, dia naik lagi ke atas kulkas 4 pintu. Belum selesai itu, waktu melintas di ruang tamu, dia berak pula di atas permadani..padahal permadani itu dibeli Bapak jauh-jauh dari Turki. Akhirnya kami halau ke garasi. Ooo,,walah, ayam itu melompat ke atas mobil BMW Seri 7…dah tergores pula catnya..Padahal..itu mobil kesayangan Bapak…” Setelah mengata-ngatai tetangganya, ibu muda asal Palembang itu langsung pulang ke rumahnya sambil tersenyum sipu. Dalam hatinya, ia berterimakasih juga pada ayam karena telah mengungkapkan soal kekayaannya pada si tetangganya. Coba, kalau tak ada ayam itu …..
Cerita diatas tentu hanya bersifat kasuistis belaka. Artinya, hanya segelintir Orang Palembang saja yang begitu. Saya sampai merujuk kisah itu pada beberapa kolega saya yang memang berasal atau lama tinggal di Palembang sejauhmana kebenarannya. Namun, menarik, saya justru mendapat tambahan bekal cerita yang lain bahwa orang Palembang itu pandai juga menyembunyikan keterbatasan atau ketakberadaan dirinya. Sebutlah, bagaimana ada orang Palembang yang membeli kepala ikan Teri (baca: bilis) di kedai. Waktu ditanya pembeli yang lain, dia langsung bilang: :”Ah, kucing di rumah sudah lama tak makan sedap”. Begitu pula waktu membeli beberapa sendok minyak makan, dia berdalih: “Ah, minyak ini untuk mengurut anak di rumah.”
‘Ayam Palembang’ sebenarnya merupakan sikap atau perangai menunjukkan kehebatan diri yang dikemas dengan pura-pura marah, sibuk atau apa pun namanya, sudah menjadi kebiasaan kita sehari-hari. Meski hal ini tak begitu disadari. Perhatikan saja, tutur kata dan cerita orang-orang di sekeliling kita yang sarat dengan fenomena ‘Ayam Palembang” itu.
Di tempat kerja kita sering didengar bagaimana atasan mengomel dan marah-marah karena hamper take punya waktu untuk bersantai. Ketika seorang bawahannya menanyakan kenapa kurang ceria, Si Atasan bertutur soal kesibukannya yang tak ketulungan: “Bagaimana saya tak marah-marah… Padahal saya baru saja pulang dari Prancis dan Amerika, besok disuruh menghadap Presiden lagi…terus bertemu Menteri ini..Menteri itu…Ah, pusing..!”
Rasakanlah betapa kental ‘Ayam Palembang’ dalam penuturan Si Atasan. Soal lelah dan sibuk, semua orang menghadapinya. Tapi, persoalannya, kenapa harus menyebut kata-kata Amerika, Peancis, Presiden, Menteri-menteri dan sebagainya. Tapi ini, tentu bukan sebuah kesengajaan melainkan kebiasaan yang membanggakan diri atau menunjukkan kehebatan diri pada orang lain. Heeeee….
Suatu kali, ketika saya dan beberapa kolega naik taksi Singapura –nah, ini juga gejala ‘Ayam Palembang’- sempat terjadi macet. Salah seorang kolega, langsung nyeletuk : “Macet di Singapura ini belum seberapa, aku baru pulang dari Brasil, wow, di sana macetnya parah betul…” Seisi taksi ketawa riuh rendah karena kolega yang baru pulang dari Brasil tadi langsung disoraki ‘Ayam Palembang’. Si ‘Brasil’ tadi pun jadi tersadar dan ikut-ikutan menertawakan dirinya…
Masih cerita di Singapura. Ketika kami akan menghadiri sebuah event internasional di sebuah hotel berbintang yang mengharuskan semua hadirin memakai business suit –jas lengkap- seorang kolega mengelus-elus dasinya. Seolah-olah ada masalah dengan dasinya. Lantas, saya bertanya: “Ada apa dengan dasi awak?”. Sang kolega bertutur lembut:
“Ah, percuma saja aku beli dasi ini mahal-mahal dan di London lagi…ternyata jahitannya bisa lepas juga…”. Cerita Si ‘London’ ini langsung disergap teman-teman lain dengan pekikan ‘Ayam Palembang’. ***

Monday, July 10, 2006

SEPAKBOLA KAMPUNG



Dear All,
While we ar on front of TV to watch Zinedin Zidane (Best French Player) in the 2006 World Cup in Germany, our imagine will back to the past. Backt to our innocent time in our village. Really, we have became a true villager. We have mny games in the time e.q uniquely soccer with big orange as ball.
My writing about The Village Soccer eh, Sepakbola Kampung.
Enjoying it with warm heart...


SEPAKBOLA KAMPUNG
Oleh Fakhrunnas MA Jabbar

SETIAP datang musim Piala Dunia, hampir semua orang di dunia terlibat urusan sepakbola. Mulai dari kaum lelaki yang dominan lebih menyukai cabang olahraga ini hingga kaum perempuan yang mau tak mau ikut menemani atau mempersiapkan suguhan kopi dan pengaman buat suami saat menonton pertandingan sepakbola itu di layar TV. Lebih dari itu, anak-anak di kampung-kampung biasanya ikut-ikutan ketularan menendang bola di tanah lapangan yang biasanya gundul atau berlumpur disiram hujan. Itulah euforia sepakbola yang tak pernah lapuk dek hujan, lekang dek panas.
Suka atau tak suka, bila menyaksikan kepiawaian kaki-kaki para pemain sepakbola dunia seperti Ballack, Owen, Beckham atau Nakata, selalu saja terbayang bagaimana di masa kecil dulu kita pun pernah menunjukkan kepiawaian semacam itu dalam ruang lingkup yang paling kecil di kampung halaman sendiri. Penuh sorak-sorai dan keakraban. Berbahagialah orang-orang yang pernah menikmati indahnya bermain sepakbola kampung di masa kecilnya. Soalnya, kita boleh curiga bila ada suami yang suka-sukanya menendang anak-bininya karena luapan emosi tak terkendali di masa kini. Jangan-jangan di masa kecilnya lelaki seperti ini tak pernah merasakan romantisme menendang-nendang bola di laman bermain.
Secara psikologis, pelampiasan aksi kekerasan pada benda-benda mampu menjadi solusi dalam mengendalikan kemarahan. Ingat saja bagaimana film kungfu Drunken Master yang menampilkan adegan Sang Aktor memecahkan kendi-kendi yang dibawa selalu oleh jongosnya hanya untuk melampiaskan kemarahan yang tertahan. Memukul kendi sampai remuk berderai jauh lebih mulia dibanding memukul orang lain sampai lebam berdarah-darah. Tampaknya perlu dikembangkan gerakan ‘marah berkualitas’. Apalagi di negeri kita yang penuh kemarahan dan tak kunjung usai juga.
Ihwal sepakbola kampung mendedahkan kepada kita sebuah romantisme dan kemesraan yang selalu indah untuk dikenang. Main bola di lapangan rumput yang tak teratur atau di halaman rumah yang penuh pokok kayu atau lagi di halaman sekolah yang selalu diawasi ketat oleh penjaga sekolah, sebenarnya memperlihatkan sebuah spirit (semangat) berjuang, bekerjasama dan ajang berkomunikasi. Inilah yang sekarang didengung-dengungkan sebagai social capital yang kian luntur. Anak-anak semakin kehilangan laman tempat bermain-main karena dikepung dan diserbu oleh kapitalis kondominium, real estate, mal-mal atau gedung pencakar langit lainnya.
Bayangkan selalu, bagaimana bekas dan bercak lumpur kehitaman di dinding-dinding putih sekolah atau rumah akibat pantulan bola limau atau bola plastik yang sangat murah-meriah. Bertanding sepakbola tanpa kostum –cukup pihak lawan membuka baju setengah telanjang- di bawah terik matahari atau hujan gerimis yang tak kenal batas. Hebatnya, sportifitas itu tetap terjaga di bawah pengawasan anak-anak yang lebih tua usianya. Sekali-sekali memang terjadi perkelahian, tapi secepatnya bisa dilerai dan keesokan harinya berteman lagi. Ah, indahnya pertandingan masa kecil itu.
Menyaksikan pertandingan Piala Dunia 2006 yang menghadapkan kesebelasan favorit seperti Jerman, Inggris, Argentina atau Brasil dengan kesebelasan negara-negara Afrika yang selama ini dipandang sebelah mata seperti Angola, Togo, Trinidad atau Ghana, bagai menyindir diri sendiri. Di mana posisi negeri tercinta, Indonesia berada dalam gelak-tawa dan pestapora Piala Dunia itu? Dari 230 juta penduduk negeri ini, begitu susahnya menemukan 11 pemain dikali 2 yang dapat mensejajarkan nama bangsa kita di deretan bangsa-bangsa lain.
Kisah muram tentang pemain sepakbola negeri ini yang bertinju di lapangan hijau atau tawuran antar pendukung kesebalasan atau juga memukul dan memaki-maki wasit, selalu menyesakkan kenyamanan jiwa kita. Padahal, bangsa kita dikenal sejak dulu amat santun dengan tunjuk-ajar yang tak habis-habisnya sehingga ‘alam terkembang pun jadi guru’. Bendera besar berwarna biru bertuliskan : My Game for Fair Play yang selalu dikembangkan di lapangan hijau Jerman selama Piala Dunia 2006, terasa bukan hanya sekadar simbol. Tapi benar-benar menjadi kalimat ajaib yang memukau seluruh pemain dan penonton untuk menunjung selalu sportifitas. Padahal di masa kecil kita dulu, tabiat berlaku fair play sebenarnya sudah menjadi pakaian sehari-hari.
Dalam urusan sepakbola, negeri kita bagai tak bermaya untuk bangkit menjelang kegemilangannya. Untunglah masih ada pertandingan sepakbola unik yang diperagakan di sejumlah pesantren dengan menggunakan bola api atau bola buah durian yang berduri tajam. Para santri dengan kaki telanjang dan berkain sarung menyepak bola apiatau buah durian itu kian-kemari ke arah tiang gawang yang dijaga santri juga. Pertandingan itu tentu saja bisa lebih seru dibanding Piala Dunia karena keberanian para pemainnya yang tak takut api atau duri-duri yang tajam.
Sepakbola kampung terasa menjadi sesuatu penawar dalam pikiran kita ketika menyaksikan keperkasaan kesebelasan-kesebelasan dunia di ajang Piala Dunia yang bergengsi itu. Soal ketakberdayaan kesebelasan Indonesia di even dunia boleh jadi diperkuat oleh anekdot ini. Konon kabarnya, di zaman Belanda dulu, kesebelasan Aceh sulit memenangkan pertandingan melawan kesebelasan mana saja. Pasalnya, di tengah pertandingan, pihak lawan yang lihai selalu membisikkan pada pemain-pemain Aceh terutama kiper bahwa bola yang ditendang-tendang itu sebelumnya dilumuri minyak babi. Para pemain Aceh yang memang agamis sehingga negerinya dijuliki ‘Serambi Mekkah’, saat berhadapan dengan lawan membiarkan saja bola itu digiring pemain lawan. Parahnya lagi, kiper pun tak berani menyentuh bola sedikit pun saat ditendang ke arah gawang. ***

My Heart



My Hearts : Fariz Ihsan Putra, Faras Mutiah Putri and Faras Annisa Putri

GILA BOLA

Hi, i am sure that all of us have used his time on front of TV during 2006 World Cup. We didn't know exactly why do all us trapped in the sport entertainment while we have never touch the soccer ball. In my mind, all people like for the chalanging, competition and fighting.
And the finalize result after Italy can be a Great Winner. Congratulation for Azzuri Football Team. While the host, Germany Team hast to satisfy became a Third Position. We learned many learning in this game... Fair Game first..!
I wrote a column abiut this issue with uniquely tittle : Bila Lagi Gila Bola jadi Bala... Enjoy it now..


BILA LAGI GILA BOLA JADI BALA
Oleh Fakhrunnas MA Jabbar

ENTAH bagaimana mulanya, bola selalu menjadi representasi symbol maskulin (kejantanan). Cobalah sekali-kali di depan publik saat berpidato sampaikan pesan pada hadirin pria : “Bapak-bapak, jangan pernah mempertontonkan ‘bola’ Anda di depan umum.” Atau “Jangan permainkan ‘bola’ Anda sembarangan.” Di sinilah kata ‘bola’ (diberi tanda petik) mempunyai makna konotatif atau makna yang bukan sebenarnya sehingga mempunyai interpretasi lain. Nah pagi para Piktor (pikiran kotor), kata bola bisa ditafsirkan pada sesuatu yang negative.
Realitas menunjukkan bahwa bola atau benda yang berbentuk bundar menjadi bagian teramat penting dalam aktifitas olah raga atau permainan yang menggunakan alat peraga. Mari kita lihat yang dimulai dari ukuran bola yang paling kecil hingga bola terbesar. Guli (kelereng), boleh disebut ukuran bola paling kecil, terus bola ping pong, bola golf, bola tennis (kasti), bola polo air, bola voli, bola basket hingga yang terbesar balon gas (balon udara) seperti yang pernah dirintis oleh Zeppelin.
Bola yang digunakan dalam banyak cabang olahraga atau permainan ini pun tak selamanya bulat seratus persen. Lihat saja, bola –eh, bulu- tangkis yang justru dilengkapi bulu ayam atau bola rugby yang bentuknya dibuat lonjong. Bagaimana bentuk-bentuk bola itu diciptakan tentu sangat ditentukan oleh kreatifitas si penciptanya.
Tapi di balik semua persoalan yang berkait bentuk dan ukuran bola, satu hal yang sulit diterima akal bagaimana bola-bola itu diperlakukan oleh para pemain. Malang betul nasib bola ini karena tiap sekejap ditendang, dipukul, dihempas, dijotos, ditunjuk, dituding, dilempar atau ditindih ramai-ramai. Meski ada kalanya juga sebagian bola yang dipeluk erat saat kipper sepakbola menangkap bola saat ditendang ke arahnya.
Salah seorang pejabat di Riau beberapa waktu silam, sempat berseloroh ketika ditanya wartawan tentang hobinya. Sang pejabat ternyata lebih suka bola tenis ketimbang golf yang menjadi idola banyak pejabat lainnya. Kenapa tidak golf? Guyonan pejabat ini: “Main golf itu untuk lelaki yang tak setia karena berganti-ganti lobang –padahal maksudnya hole golf, tentu saja.” Untunglah waktu itu tak ada wartawan yang Tanya bagaimana halnya dengan bola tennis? Sebab kalau mau ditafsir-tafsir bisa begini :”Permainan tenis itu untuk lelaki yang mencintai pasangannya separuh hati. Sebab, ada kalanya dipegang dan dielus-elus dengan mesra tapi seketika itu juga dipukul sekeras-kerasnya..”
Berurusan dengan bola ini, banyak pula para isteri atau kekasih yang komplain. Sebab, hobi main bola ini bisa-bisa mengalahkan kepentingan isteri plus anggota keluarga yang lain. Setidak-tidaknya banyak para pecandu olahraga yang memproklamirkan permainan olahraganya sebagai ‘bini kedua’. Artinya, bakal ada waktu yang tersita di luar kepentingan rumah tangga atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan hobi atau kesukaan. Konon kabarnya, ada juga yang menyebut hal semacam ini sebagai ‘hak prerogatif’ seorang lelaki atau suami. Persoalannya bagaimana kalau isteri juga menyatakan olahraga yang disenanginya sebagai ‘hak preogatif’ pula? Inilah yang selalu didengungkan dalam lirik lagu lama Betharia Sonata (kalau tak salah ingat): “…kau duduk di sana, kududuk di sini..menyepi…”.
Di saat-saat demam Piala Dunia, tentulah perebutan kepentingan dan waktu ini akan menjadi suasana menarik baik karena menonton bareng di hotel atau cafĂ© atau pun di rumah. Para suami yang tergolong ‘gibol’ alias gila bola –mudah-mudahan tidak gila ‘bola’ he he- dipastikan akan menghabiskan waktunya berjam-jam di tengah malam buta di depan layar kaca. Sebagai isteri yang setia -lebih-lebih lagi masih berstatus pengantin baru- dipastikan akan pula ikut mendampingi sang suami menonton pertandingan sepak bola di depan TV. Meskipun pada akhirnya, peran si isteri lebih banyak tidur mendengkur mengimbangi riuh sorak-sorai penonton di layar TV. Selanjutnya, si isteri harus siap pula membuatkan kopi panas dan makanan ringan untuk menepis rasa kantuk.
Bila Piala Dunia berlangsung lebih satu bulan, dipastikan banyak keseimbangan hidup yang terganggu. Para suami yang mau begadang larut malam hingga subuh hari, dipastikan akan telat bangun pagi. Ini berpengaruh langsung terhadap produktifitas kerja di kantor. Bagi Kepala kantor atau boss di tempat kerjanya masih punya dalih ‘ada tugas lain di luar kantor’ bila terlambat datang di kantor. Persoalannya bagi para pegawai atau karyawan biasa? Nah, bila lagi gila bola tentulah bakal jadi bala (bencana)..Suaaaiiiiiii???
Bala lain bisa muncul tiba-tiba di tengah rumah bila hobi menonton pertandingan sepakbola Piala Dunia disertai pertaruhan (judi) pula. Jangan heran bila di tengah malam buta saat pertandingan sepakbola sedang berlangsung, handphone atau telepon akan sangat sibuk karena masing-masing pihak sedang bernegosisi soal angka taruhan. Boleh jadi, inilah perjudian terselubung yang sulit diungkap pihak aparat kepolisian karena selalu dilakukan dengan dalih ‘main-main’ atau iseng saja. Bayangkan saja bila sedang bernegosisasi soal ini sempat dilacak atau dipergoki petugas berwajib. Inilah bala itu.
Soal bertaruh main bola ini –seperti main judi lainnya yang membutuhkan tebak-tebakan angka- banyak cara dilakukan seseorang untuk memenangkan pertaruhan atau tebak-tebakan. Konon dulunya, bagi orang Pekanbaru ketika Sulan –salah satu orang gila paling terkenal dan bisa mengalahkan popularitas selebriti masa itu- yang selalu tak pakai baju dan memakai celana kumal dan robek-robek, didatangi para petaruh. Dengan gaya menggertak dan memaksa, si petaruh meminta angka skor pertandingan pada Sulan yang memang gila.
“Sulan, berapa kedudukan pertandingan Brazil-Inggris nanti malam?” tanya Si Petaruh. Sulan diam saja dan melengos. Tetapi setelah didesak berulang-ulang, Sulan jadi gerah dan langsung berdiri untuk menghindar. Persoalannya, saat Sulan berdiri ternyata celananya melorot.
Si Petaruh tersenyum puas dan setelah celana Sulan yang lepas dan melihat ke arah ‘bola’ Sulan, langsung menyimpulkan : “Pasti 2:1.”. Dia pun tertawa terkekeh-kekeh… He he he ..!***

Thursday, July 06, 2006

It's Me

INDONESIAN PEOPLE..

Hai Salam Jumpa,
Aku memang selalu gelisah atas apa yang terjadi di negeri sendiri. Ada-ada saja hal yang kurang menggembirakan ketika belahan dunia lain terus berpacu laju meniti buih perabannya. Orang-orang di negeri lain leluasa memasuki dunia global dengan segala pernik-pernik kemajuan. Di sisi lain, orang-orang negeriku tak henti-hentinya menggali lubang buat dirinya sendiri. Makanya aku benar-benar terkesima ketika membaca puisi Taufik Ismail 'Malu Aku (Menjadi) Orang Indonesia'. Dalam komunikasi di alam maya dengan banyak orang di mancanegara, sering kualami begitu menyebutkan asalku dari Indonesia, mereka langsung menghentikan perbincangan. Sebab image yang melekat dalam pikiran mereka ketika masa-masa awal reformasi tahun 1998 ketika terjadinya pelanggaran HAM, pemerkosaan dan tindak kekerasan selama masa-masa euforia reformasi itu. Aku berusaha menjelaskan pada mereka sesungguhnya apa yang mereka dengar, baca dan lihat, tidak sepenuhnya begitu. Negeri Indonesia masih memiliki banyak ragam social capital yang menakjubkan...ya keindahan, keramah-tamahan dan kelembutan..
Tapi, di sudut hatiku yang lain, tak bisa disembunyikan masih banyak oknum-oknum orang senegri yang yang masih suka mempermalukan diri sendiri yang merebak ke image negerinya sendiri. Untuk itulah aku menulis : Indonesian People....Sebuah autokritik dan auto-satir untuk menertawakan diri sendiri sepuas-puasnya.. Ha ha ha

‘INDONESIAN PEOPLE’
Oleh Fakhrunnas MA Jabbar

BAGI saya, Pak Abu adalah seorang orator dan komunikator sejati. Kompetensi di bidang komunikasi itu diwujudkannya secara berkelanjutan selama karirnya di Departemen Penerangan –sebutan departemen sebelum berubah jadi Departemen Komunikasi dan Informasi-Kominfo. Saya merasa beruntung karena dapat menikmati kepiawaian Pak Abu dalam berorasi dengan publik ketika di tahun 1984 silam, kami sama-sama menjalani masa KKN di sebuah desa di Kecamatan Kampar. Dalam pertemuan-pertemuan dengan masyarakat di berbagai tempat baik masjid, mushalla, lapangan maupun pasar, Pak Abu selalu berbicara memukau, mempesona dan lebih lagi kaya humor yang mengundang gelak-tawa. Lebih-lebih lagi aksentuasi dan helaan napasnya yang mantap saat berkomunikasi. ‘diperkaya’ dialek Kampar yang mendayu-dayu bak tiupan angin semilir pegunungan.
Oleh sebab itu, membicarakan sosok Pak Abu, bagi saya, tak bisa lepas dari suasana gelak-tawa yang sulit dilupa. Selama masa KKN itu, banyak cerita-cerita Pak Abu yang selalu saya rekam dan saya ceritakan lagi kepada kolega lain dengan –tentu saja- menyebut ‘asbabun nuzul’ (sumber awal) cerita itu. Secara ilmiah, saya sudah terbebas dari sebutan ‘plagiator’. Secara keagamaan, saya senantiasa menyebut ‘sanad’ (hubungan satu kisah dengan kisah lainnya dari sumber-sumber yang terkait).
Banyak cerita Pak Abu yang memberi ilham kepada saya saat berbual dengan kolega yang lain. Satu hal yang selalu membuat saya tertawa geli ketika orang-orang yang mendengarkan cerita Pak Abu juga bisa menikmati tawa yang berkualitas hamper sama dengan saat saya mendengar cerita lucu itu pertamakali langsung dari ‘pabrik’nya. Namun, di antara banyak cerita yang menjadi ‘head line’ bagi saya adalah soal ‘Indonesian People’. Ini sebenarnya kisah pengalaman Pak Abu saat berkunjung di Negeri Gajah Putih, Thailand.
Suatu hari, Pak Abu bersama nyonya sampailah di Thailand. Saat sang nyonya berbelanja, Pak Abu duduk santai di depan toko sambil merokok. Apa rokoknya waktu itu? Ya, rokok ‘Gudang Garam” merah sebagaimana selalu diiklankan sebagai Rokok Pria Sejati.
“Sewaktu Abu duduk-duduk dengan menikmati rokok khas Indonesia itu, tiba-tiba seseorang datang menghampiri sambil bertanya : Are you Indonesian People?” cerita Pak Abu dengan aksen yang panjang dan berirama.
Pak Abu menjadi heran, kenapa orang Thailand itu bisa tahu asal negaranya. Padahal, dia sendiri tidak mengenal orang itu. Bahkan berbicara saja pun belum dilakukan. Memang sempat terjadi perdebatan. “Orang Thailand itu terus saja menanyakan : are you Indonesian people?. Lalu saya jawab dengan bahasa Inggris –kira-kira dalam bahasa Bangkinangnya : apo obe dek Tuan? (Bagaimana Tuan bisa tahu),” lanjut Pak Abu dengan gaya bertutur yang enak didengar.
Akhirnya Pak Abu menyelesaikan ceritanya. “Usut punya usut, ternyata Rokok Gudang Garam-lah yang membuat orang Thailand itu mengetahui kalau saya dari Indonesia. Ternyata, pada sebatang rokok, orang bisa mengenail identitas suatu bangsa,” tutur Pak Abu yang waktu itu membuat suasana audience ketawa gemuruh. Itulah, kepiawaian Pak Abu dalam memukau setiap orang yang mendengar pidatonya.
Jargon ‘Indonesian People’ memang mengilhami banyak orang untuk melihat sisi kurang sedap tentang tindak-tanduk orang Indonesia di mana saja baik di tanah air sendiri maupun di luar negeri. Saya masih punya banyak pengamatan langsung ditambah penuturan cerita kolega tentang sikap ambil ‘jalan pintas’, melanggar disiplin, melabrak peraturan dan tata tertib dan sifat-sifat minor lainnya yang membuat citra Indonesia menjadi terpuruk.
Siapa saja yang pernah bertandang di Negeri Jiran, Malaysia, boleh sakit hati ketika mendengar celetukan orang-orang sana menyebut TKI kita sebagai ‘Indon’. Sebutan itu kira-kira setara buruknya ketika orang-orang Belanda dulu di masa penjajahan menyebut orang pribumi sebagai ‘Inlander’. Menyakitkan, memang. Tapi, sebutan yang menyinggung perasaan itu ternyata bermula dari adanya oknum-oknum TKI kita yang berperilaku kurang pas dengan aturan normatif yang berlaku. Kasus-kasus kriminal –pencurian, perampokan, pembunuhan dan sejenisnya yang terjadi negeri itu ternyata agak dominan oleh orang-orang Indonesia. Ya, itulah sisi gelap Indonesian People yang kita bicarakan ini.
Sebuah cerita lain dalam perspektif yang agak berbeda dialami oleh serombongan kolega saya. Sewaktu kembali dari perjalanan darat dari Hat Yai, Thailand menuju Penang, di pos Imigresyen biasanya petugas kastam (bea cukai) akan memeriksa barang bawaan. Beberapa di antara mereka ada yang bawa VCD triple X dan sengaja menyembunyikan di kaos kaki atau di pinggang. Tapi salah seorang di antara mereka –patutlah dipanggil ‘Indonesian People’ secara berani meletakkan 5 keping VCD di kantong jaketnya. Tentu dengan mudah petugas kastam menemukannya sewaktu meraba jaket dan velananya. Begitu meraba ada kepingan benda di kantong jaketnya, petugas kastam bertanya spontan: “Ini apa, Encik?”. Sang kolega menjawab datar : Oh, ini VCD, Encik”. Selanjutnya terjadilah dialog begini:
“Hah, VCD apa pula?”
“Biase… VCD seronok-lah…”
“Untuk apa oleh Encik?”
“Ow..saya tontonlah. Biasanya saya tonton sama orang rumah.. Mana tahu, ada gaya yang patut saya tiru…”. Jawaban ini benar-benar membuat petugas kastam tersipu dan tertawa ceria sambil menatap Si ‘Indonesian People’ ini. Hening sejenak karena kedua orang itu saling bertatapan dengan tertawa lepas.
“Jadi, bagaimana Encik? Nak awak ambilkah VCD ini?”. Kali ini kolega saya yang balik bertanya.
Sambil menatap sejenak, petugas kastam menggerakkan tangannya tanda menyilakan. “Sila..bawa sajalah…!” ucapnya sambil tertawa. Tapi saat kolega saya berlalu sambil melambaikan tangan, petugas kastam berucap pelan sambil menggelengkan kepala: “Indonesieeee….”.
Di Singapura, ‘perangai’ sebagian ‘Indonesian People’ terasa kontras dengan gaya hidup tertib negeri jiran yang paling maju di kawasan Asia Tenggara. Tak salah kalau ada yang menyebut Singapura sebagai Negara 1000 denda. Segala sesuatu diatur agar tertib dengan law enforcement yang sangat kuat. Sebutlah, meludah, makan bon bon karet, memetik bunga, melompat pagar atau menyeberang jalan bukan pada tempatnya.
Sewaktu berada di Statsiun MRT (mass rapid transport) –kereta api bawah tanah di Singapura, melihat pagar pengamannya yang gampang disusupi siapa saja, saya sempat bertanya pada seorang security. “Apakah dengan pagar begini, tak ada orang yang berusaha melewatinya dengan mudah?” Tanya saya. Jawaban security itu membuat saya malu, “ada, tapi biasanya itu orang Indonesia.” Memanglah, ‘Indonesian People’ ini, pikir saya dalam hati.
Seorang kolega saya yang pernah tinggal di Amerika menceritakan juga trik-trik dan akal-bulus sebagian orang-orang Indonesia di sana. Kebiasaan yang berlaku di sana, toko-toko penjual peralatan dekorasi, lampu hias atau bunga pajangan membolehkan pembeli mengembalikan barang-barang yang sudah dibela dalam jangka satu bulan bila tak sesuai dengan selera. Kemudian, pemilik toko akan mengembalikan uangnya. Lantas, pada saat Tahun Baru, Natal atau Hari Raya Idul Fitri, ada saja orang yang memakai taktik kurang terpuji. Seminggu sebelum perayaan Hari Besar itu, barang-barang keperluan tadi dibeli dan dipajang selama masa perayaan. Tapi, seminggu menjelang genap sebulan, barang tadi dikembalikan ke toko sekaligus membatalkan pembelian karena tak sesuai dengan selera. Kebanyakan cara-cara begini dilakukan oleh warga negara pendatang dari kawasan Negara Berkembang termasuk Indonesia. Oh, lagi-lagi ‘Indonesian People’.
Syukurlah, waktu berkesempatan umroh di Tanah Suci beberapa tahun lalu, perasaan hati saya agak terhibur juga. Sebab, hamper semua pelayan toko dan kaki lima bila melihat orang Indonesia yang datang, langsung berucap dengan suara keras : Indonesia..Best..Indonesia..Best! (Indonesia paling terbaik). Kadang-kadang, ada juga pedagang di sana yang menambahkan : Soekarno..Best..Hal ini hampir dilakukan oleh semua pedagang di sana. Sewaktu saya berdialog dan menanyai mereka : Why? Mereka jawab bahwa orang Indonesia itu paling banyak duitnya, suka memborong barang-barang belanjaa dan satu lagi : uang kembalian dalam jumlah yang besar sering diikhlaskan saja. Apa bisa? Benar, biasanya sewaktu kita sudah membayar barang belanjaan dan menunggu kembalian uangnya, si pedagang biasanya akan bertanya: ‘Halal?”. Kita yang tidak tahu akan mengangguk dan bersemangat bilang ‘halal’. Dan, sisa kembalian uang itu pun jadi milik si pedagang. Lagi-lagi,’Indonesian People’. ***

MY PICTURE

Tuesday, July 04, 2006

Riau Tersayang, Cinta Siapakah yang Kau Terima Akhirnya

Cinta Tanah Air adalah Sebagian dari Iman. Ajaran Islam ini selalu menjadi panutan diriku. Riau bagiku adalah sejengkal tanah air yang patut dicintai dan disayangi sampai akhir hayat dan sampai kapan pun. Aku tak hendak terjerembab pada percintaan yang sempit. Melainkan semata-mata ketulusan jiwa.

Riau bagiku adalah ranah dan laman tempat berpijak. Setiap helaan napasku membenamkan adat-resam Melayu ke samudera jiwa yang luas. Melayu bagiku adalah ranah hamparan tak bertepi di mana aku setiap waktu -kapan saja- boleh menyauk peradaban, makna, nilai danjuga mimpi-mimpi yang memperkaya bathinku. Semua orang, siapa saja, boleh menimba kekayaan arkhais sepanjang bermuara pada kemuliaan diri, kemuliaan orang ramai dan kemuliaan negeri.

Bila kumulai warkah ini dengan judul : Riau Tersayang, Cinta Siapakah yang Kau Terima Akhirnya -sepotong kalimat yang kupetik dari sebuah puisi yang kutulis belasan tahun silam dengan judul : Riau Tersayang, bukannya sebuah kebetulan. Aku merasakan ranah Riau memang selalu menjadi 'ladang perburuan' -istilah budayawan Riau, UU Hamidy- yang tanpa akhir. Bak seorang dara, Riau selalu menjadi alamat percumbuan siapa saja. Rasa sentimentil dan romantisme diriku tiba-tiba muncul andaikan suatu ketika Riau yang selalu berbagi cinta pada siapa pun akhirnya menerima cinta orang lain.

Di laman blog ini, aku akan mencoba berkisah dan bermadah meluahkan segala rasa.
Mudah-mudahan segala luahan hati ini bermakna bagi siapa saja.

Salam takzim,

Fakhrunnas MA Jabbar