Thursday, August 24, 2006

PEMIMPIN PANUTAN

PEMIMPIN PANUTAN

KEPEMIMPINAN Nabi Muhammad SAW yang paling utama adalah keteladanan (uswatun hasanah). Ini sudah diajarkan sejak belasan abad yang silam. Boleh jadi, keteladanan ini pula yang mengusik hati Michael H. Hart yang menulis buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia dengan menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin di nomor urut pertama. Ajaran kepemimpinan yang berbasis keteladanan ini dikembangkan pula oleh Stephen R. Covey, seorang Trainer handal dan penulis buku best seller 7 Habits dan 8 Habits. Dalam sesi training 4 Role, Covey secara tegas pula menempatkan keteladanan (model) sebagai inti kepemimpinan. Artinya, bila seorang pemimpin ingin bermakna di mata publik pendukungnya hendaklah menunjukkan keteladanan sikap dan perilakunya.
Pemimpin panutan di akhir abad ini terasa semakin langka meski hampir setiap hari pemimpin-pemimpin di segala bidang baik negarawan, profesional maupun pemimpin masyarakat terlahir di muka bumi, Tapi berapa banyak di antara pemimpin itu yang membekas jauh di lubuk sanubari masyarakat pendukungnya seperti kharisma yang dimunculkan oleh Khalifah Abubakar Siddik, Mahatma Gandhi, Madame Teresa dan sejumlah nama lagi.
Suatu hari, saya berbincang dengan budayawan H. Tenas Effendy. Kegalauan soal makin langkanya pemimpin panutan itu tak dapat disembunyikan budayawan Melayu ini. Di mata Pak Tenas, pemimpin yang santun saja dalam bertutur pun sudah kian sulit dicari. Dalam berbagai pernyataan di muka publik, para pemimpin kita berucap sesuka-sukanya dengan kurang mempertimbangkan kesantunan. Tak jarang di muka umum, sesame pemimpin pun saling sindir, saling maki dan saling jegal.
Pak Tenas sempat menceritakan bagaimana kesantunan pemimpin yang diperlihatkan oleh seorang Nadjhib Tun Razak, Timbalan Perdana Menteri Malaysia. Dalam sambutannya di sebuah Pertemuan Dunia Melayu di negeri jiran itu, Nadjib sempat mengungkapkan kegalauannya atas rasa keserumpunan Melayu bangsa Indonesia-Malaysia yang terdegradasi ketika Kasus Ambalat sedang memuncak. Memang dalam demonstrasi yang digelar orang-orang Indonesia amat mengedepan kembali jargon ‘Ganyang Malaysia’ yang sangat popular di zaman Orde Lama-nya Bung Karno. Tapi, Nadjib melihat di salah satu spanduk demonstran ada kalimat berbunyi begini : “Malaysia No, Siti Nurhaliza Yes.”
“Kalau memang orang Indonesia tak suka dengan Malaysia karena Kasus Ambalat itu, kami bisa mafhum. Dan bila saudara-saudara kami dari Indonesia merasa boleh menerima penyanyi Siti Nurhaliza, tak masalah juga. Silakan ambil saja karena memang kita ini bangsa serumpun,” begitu kira-kira ucapan Nadjib yang sangat membekas dalam hati Pak Tenas. Ternyata dalam diplomasi kenegaraan pun, seorang pemimpin masih bisa santun dan lembut.
Pemimpin di negeri kita boleh silih berganti pula di setiap jenjang wilayah. Proses Pemilu dan Pilkada merupakan ajang demokrasi yang memberikan hak penuh pada rakyat untuk menentukan pemimpinnya. Namun, belum tentu pemimpin-pemimpin terpilih benar-benar memenuhi standar yang diinginkan karena ‘pemimpin juga manusia’. Masih banyak celah kurang dan janggal di samping kelebihan personal yang dimilikinya.
Munculnya cerita-cerita lucu mengiringi seduhan kopi pagi di kedai-kedai minuman (mouth to mouth/ dari mulut ke mulut) mencerminkan adanya kegalauan orang banyak atas kualitas pemimpinnya. Masih ingat sebuah anekdot tentang seorang Camat yang memimpin Apel Bendera? Ketika mengucapkan bacaan Pancasila yang harus diikuti oleh seluruh peserta upacara, Sang Camat berucap begini :
“Pancasila…. Satu: Tetap. Dua : Tetap. Tiga : Tetap. Empat: Tetap. Lima: Tetap….”. Usai upacara semua peserta upacara riuh-rendah mempergunjingkan kejadian yang jarang terjadi itu. Sewaktu sejumlah wartawan menanyakan soal ini langsung pada Camat, enteng saja dijawab: “Nah, butir-butir Pancasila kita masih tetap dan belum berubah ‘kan?” Semua orang di sekitarnya jadi ikut-ikutan terpingkal. Ada-ada saja ulah ‘Si Camat Tetap’ ini.
Masih banyak anekdot lain tentang pemimpin wilayah atau Kepala Daerah di tanah air kita. Sebagai anekdot tentulah sulit dirunut kebenarannya. Konon, seorang Kepala Daerah saat memulai tugasnya berpidato di depan masyarakat berucap begini: “Sebagai Kepala Daerah yang baru, saya bersama Tim bertekad untuk memajukan daerah ini. Kalau saat ini terdapat 20 persen Daerah Terisolir, mudah-mudahan di akhir masa jabatan saya kelak sudah mencapai 100 persen…” He he..belum tahu dia, ‘Daerah Tersilor’ itu apa?
Kekeliruan manusiawi siapa saja –termasuk Kepala Daerah- boleh saja terjadi kapan, bilamana dan di mana saja. Sama halnya ketika seorang pemimpin yang tak memahami penjenjangan perkuliahan di Perguruan Tinggi akan berucap sangat janggal begini: “Baiklah, saya akan mengalokasikan anggaran untuk para pegawai saya kuliah di bangku Perguruan Tinggi. Kalau perlu, saya akan biayai mereka sampai ke Semester 15…”. Padahal untuk jenjang S1 hanya diperlukan waktu 8-10 semester saja.
Masih banyak salah ucap (slip oh the tounge) para para pemimpin kita yang muncul secara tak sengaja. Tapi amatlah disayangkan apabila salah ucap itu justru bermula karena ketidaktahuan. Sebutlah saat menyebut kata : ‘reformasi’ menjadi ‘renovasi’, ‘konstruktif’ menjadi ‘destruktif’ atau lagi ‘faximile’ menjadi ‘Pak Ismail’. Oooo.......****