Monday, August 20, 2007

Dear All,
On August, 17, 2007 is our Independent Day. This is my opinion abt the meaning of independent for people.
Enjoy it!

KOPI PAGI
Fakhrunnas MA Jabbar

MENJADI MANUSIA MERDEKA

ADA hal menarik ketika rombongan Gubernur Riau, HM. Rusli Zainal saat beranjangsana ke Lembaga Pemasyarakatan Pekanbaru. Di depan Rusli pula, Ruskin Har, mantan Sekretaris DPRD Riau tiba-tiba berucap :”Meski saya berada di sini, tapi saya merasa merdeka!” Sebuah pernyataan yang kaya makna dan bisa jadi memantulkan kesadaran pada banyak orang tentang batasan kata ‘merdeka’ itu, Sejak lama telah diperbincangkan, seperti apakah arti kemerdekaan itu yang sebenarnya?
Tafsiran merdeka boleh dilakukan semua orang sesuai pemahamannya yang paling akrab dengan keberadaannya di tengah kosmik kehidupan. Seorang petani akan berkata bahwa merdeka baginya ketika hasil tanamannya dapat dipanen sesuai musim dan mendatangkan uang banyak kala dipasarkan. Seorang nelayan akan merasa merdeka apabila dia bias melaut menangkap ikan tanpa gangguan badai dan gelombang. Setelah semalaman, nelayan itu pulang bawa hasil tangkapan yang banyak untuk dijual guna mendapatkan uang untuk belanja sehari-hari dan keperluan rumahtangga lainnya. Seorang pedagang baru merasa metrdeka apabila usaha dagangnya memperoleh untung yang besar tanpa adanya pungutan kanan-kiri yang tidak resmi. Seorang pegawai menyebutkan makna merdeka sebagai situasi kerja yang nyaman dengan keseimbangan tugas dan kewajiban hingga awal bulan menerima gaji beserta tunjangan-tunjangan lainnya.
Semua orang terlahir ke dunia untuk menjemput sesuatu yang asasi dalam wujud merdeka itu. Bayi yang baru keluar dari rahim ibundanya langsung meronta dalam berlumuran darah sebagai pernyataan sikap dan perasannya ingin merdeka. Berada dalam kandungan ibunda selama 9 bulan 10 hari –usia kandungan normal rata-rata- dirasakan para bayi sebagai belenggu yang sangat membatasi dirinya. Saat bayi dibedung dengan potongan-potongan kain perlengkapan bayi agar terhindar dari rasa dingin, tetap saja meronta-ronta ingin dilepaskan dari bedungan kain itu. Perjalanan hidup manusia di rumah tangga memang tak terlepas dari upaya pembebasan dirinya dari satu keadaan yang membelenggu ke keadaan merdeka lainnya.
Masa kanak-kanak kala dikenang di usia remaja alangkah indahnya. Tapi, tanyailah semua anak-anak –termasuk diri kita- ketika menjalani masa kanak-kanak tersebut betapa tersiksanya karena dipasung oleh peraturan-peraturan yang dilontarkan para orangtua. Pasungan aturan itulah sesungguhnya menjadi proses alamiah penanaman nilai moral, agamis dan sosial yang harus tumbuh mekar hingga usia tua. Anak-anak yang tidak mengalami proses ini niscaya akan tampil dalam sosok yang kering dan kurang mampu bersosialisasi dengan lingkungannya. Perasaan seperti ini juga terjadi kala seorang remaja cenderung memberontak di batas usia pubertas sebagai pernyataan diri yang merasa sudah dewasa. Pemberontakan jiwa semacam itu sesungguhnya tak lain dari implementasi ingin meraih kemerdekaan jiwa.
Dalam segala hal, merdeka hanya akan muncul apabila seseorang padamulanya merasa tertekan, terjajah atau terbatas ruang geraknya oleh faktor-faktor eksternal di luar dirinya. Seseorang yang hidup tanpa adanya tantangan sesungguhnya akan merasa tidak merdeka. Sebab, tak bakal ada pemberontakan atau nyali untuk merebut sesuatu yang bebas. Kemerdekaan anak-anak di ceruk kampung saat memperebutkn layang-layang terasa lebih bermakna dibanding anak-anak yang terlahir dalam sebuah keluarga kaya-raya yang beroleh segalanya tanpa ada perjuangan sama sekali.
Situasi memperebutkan kemerdekaan dalam wujud kepuasan sangat dirasakan oleh para pemburu satwa atau para petualang alam seperti pendaki gunung, penyelam atau penikmat terjun payung. Apa enaknya bila seorang pemburu melakukan perburuannya di dalam kebun binatang. Atau, seorang penyelam hanya dibolehkan menyelam di akuarium raksasa. Atau pula, seorang penerjun payung tidak dibiarkan terjun bebas tanpa ikatan tali. Konon pula, di usia remaja, anak-anak muda akan merasa tertantang untuk merebut cinta kasihnya dari lawan jenis yang juga diperebutkan para pesaing lain.
Cerita Romeo dan Juliet yang ditulis oleh William Shakespeare tidak akan pernah jadi kenangan banyak orang apabila kisah-kasih di antara keduanya bagai garis datar belaka. Begitu pula, roman Siti Nurbaya karya Marah Roesli yang legendaries itu tidak akan menarik sama sekali apabila Samsul Bahri secara mudah mendapatkan citi Siti. Keberadaan Datuk Maringgih, lelaki tua yang menjadikan Siti sebagai ‘pembebas’ ikatan utang-utang orangtuanya justru menjadi penting untuk mempertegas komitmen perjuangan Samsul Bahri. Siti akan menikmati kemerdekaannya ketika mampu mempersembahkan cintanya yang agung buat Samsul Bahri.
Semua bentuk tekanan atau penjajahan baik secara fisik maupun mental merupakan blessing in disguese (hikmah tersembunyi) yang melahirkan semangat perjuangan untuk merebut sesuatu yang bermakna merdeka. Indonesia yang kini genap berusia 62 tahun sebagai negeri merdeka harus menghadapi tekanan luar biasa saat dijajah 350 tahun oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Kekaisaran Jepang. Nikmat kemerdekaan terasa lebih bermakna bila dibanding tiba-tiba dihadiahkan begitu saja tanpa tumpahan adrenalin dan semangat berjuang.
Tanpa adanya penjajahan Belanda dan Jepang, boleh jadi perjalanan bangsa Indonesia menjadi amat berbeda. Jangan-jangan, adrenalin kaum muda Indonesia masa itu justru akan banyak tercurah untuk menghadapi bangsa sendiri. Jangan-jangan perang saudara akan menjadi solusi untuk menunjukkan bahwa kita punya energi lebih yang terbungkus dalam semangat perjuangan sebagaimana dialami suku-suku asli di pedalaman rimba hingga kini.
Saatnya kita merenung ketika kemerdekaan bangsa dapat diarih dengan segala bentuk pengorbanan namun secara pribadi, boleh jadi, masih ada di antara kita yang belum merasa benar-benar merdeka. Masih ada sekatan psikis yang membelenggunya dan tak pernah dapat ditepis dengan mudah. Sudahkah kita benar-benar menjadi manusia merdeka? Renungkanlah…! ***

Tuesday, July 31, 2007

MENONTON (PENONTON) SEPAK BOLA INDONESIA

Dear All,
Some time, we will be ashame to get a dream abour our soccer pretigous. Want to be the winner of world cup? Asian cup? SEA Games? More than that, can we become a good host for world class game? I and my oldest son, Fariz, have bad experience when we want to watch the soccer game in Asian Cup at Gelora Bung Karno on June this year. How did we get the expensive ticket by crowded process at the ticket box. So, I just like to tell you about my experience to watch the supporter...
regards

KETIKA pertarungan awal kesebelasan Indonesia melawan Bahrain dalam ajang Piala Asia 2007 di GOR Bung Karno, Senayan, Jakarta, 11 Juli lalu, saya bersama anak saya, Fariz yang sudah mahasiswa dan hobi sepakbola, merasa beruntung ikut menyaksikan pertandingan itu. Meskipun kemenangan pasukan yang dikapteni Bambang Pamungkas itu berhasil menekuk Bahrain 2:1 patut dikenang, namun perjuangan kami mendapatkan dua potong tiket masing-masing senilai Rp. 200 ribu masih membekas dalam ingatan. Sampai-sampai, Fariz kalang-kabut mencari potongan tiket yang sudah terbuang ke dalam tong sampah kamar hotel untuk disimpan guna mengenang getirnya meraih kedua tiket yang disebutnya diperoleh ‘dengan pertarungan nyawa’. Ah, masak?

Fariz sudah antri di depan loket GOR Bung Karno sejak pukul 12.00 setelah menelepon pengurus GOR menginformasikan penjualan tiket dimulai pukul 13.00. Waktu itu, sudah ada dua baris antrian panjang. Perbincangan selama antrian menyibakkan banyak cerita. Bahkan ada di antara pengantri yang datang jauh-jauh dari Bandung dan antri sejak pukul 10.00 pagi. Namun, ada pula yang sudah miondar-mandir dari Gambir-Senen mendatangi toko Nike yang katanya juga mendistribusikan tiket. Namun, tidak mendapatkan apa-apa di sana karena petugas toko bilang bahwa tiket tersebut belum tersedia.

Kerumunan calon penonton sepakbola yang berjumlah ratusan orang itu semakin tak karuan. Baris antrian tiba-tiba hancur-lebur dan desak-desakan pun semakin keras. Caci-maki yang ditujukan pada pihak panitia dan PSSI saling bersahutan. Botol-botol minuman air mineral pun mulai berterbangan. Suasana semakin tak menentu ketika loket baru dibuka sekitar pukul 15.30 -sementara pertandingan antara kesebelasan Indonesia: Bahrain dimulai pukul 17.00.

Terjadilah tontonan yang mengenaskan mata dan memilukan hati. Setiap pembeli yang sudah mengantongi tiket terpaksa mengigit potongan tiket itu di mulut lalu menaiki pagar besi pembatas untuk merayap memanjati atap bangunan loket yang tingginya sekitar 1,5 meter. Sedihnya lagi, sejumlah calon penonton perempuan juga harus melewati prosesi semacam itu. Sesampai di atap bangunan loket yang lancip, para pembeli harus memeras keringat dan keberanian untuk bisa turun melewati pagar GOR Bung Karno yang dihiasi tiang besi yang runcing menganga.

Merasa miris dan gamang, saya sampai melaporkan kejadian yang sedang berlangsung pada beberapa petugas polisi. Saya hanya meminta mereka agar turun tangan memberi jalan keluar bagi pembeli yang sudah memperoleh tiket. Tapi, para polisi itu langsung buang badan. “Kami tahu persoalan ini. Tapi kami sudah bagi-bagi tugas dengan panitia. Mereka yang menjaga keamanan di sekitar loket. Kami tidak boleh mencampuri tugas mereka,” kata seorang polisi yang menjadi pimpinan regu patroli di kawasan jalan di luar pagar GOR Bung Karno. Saya sangat kecewa sambil terus menonton geliat (calon) penonton sepak bola petang itu. Apalagi Fariz masih terkepung di dalam kerumunan yang saling sikut dan bermandikan keringat. Sementara beberapa bule yang sejak siangnya melihat-lihat kerumunan itu dari jarak agak jauh, kian tak bergeming. Saya tak dapat membayangkan bagaimana Fariz dan para bule itu juga harus memanjati atap bangunan loket yang seumur-umurnya tak pernah dilakukannya.

Selanjutnya, saya hanya bisa berkirim kabar via SMS dengan beberapa redaktur suratkabar nasional yang sudah saya kenal baik. “Ada liputan menarik. Saya lagi menonton para penonton sepakbola petang ini yang harus memanjat bangunan loket untuk mendapatkan sepotong tiket. Luar biasa!” tulis saya,

Tepat pukul 17.00, tiket kelas murah masing-masing Rp. 15.000 dan Rp. 25.000 sudah habis. Sementara pertandingan antara Indonesia melawan Bahrain sudah dimulai yang ditandai teriakan riuh penonton dari dalam GOR Bung Karno. Situasi ini agak mengurangi kerumunan. Ditambah pula, desakan para penonton yang tidak kebagian tiket ternyata merangsek ke pintu masuk dan berhasil membobolnya. Alhasil, saya dan Fariz baru bisa menyaksikan pertandingan sepakbola petang itu setelah 40 menit berlalu.

Persoalan sepakbola Indonesia memang tidak semata urusan teknis dan prestasi bermain. Iklim persepakbolaan harus ditumbuhkan dari budaya para penontonnya. Apa yang selama ini sudah jadi hapalan kita tentang nekatnya para ‘bonek’ -terutama asal Surabaya dan beberapa kota lainnya- telah ikut mempertaruhkan nama baik bangsa dalam dunia persepakbolaan. Belum lagi, huru-hara saat pertandingan berlangsung yang mengakibatkan sejumlah stadion sepakbola tidak diperbolehkan menjadi tuan rumah karena dinilai tidak aman.

Distribusi penjualan tiket yang tidak profesional ini memang makin menjauhkan harapan bagaimana mungkin Indonesia menjadi tuan rumah pesta sepakbola yang lebih besar semisal Piala Dunia atau Olimpiade. Sekadar membanding, saat SEA Games di Chiang Mai, Thailand belasan tahun silam, saya punya sedikit pengalaman untuk mendapatkan tiket. Ternyata, antrian yang teratur di bawah pengawalan ketat para petugas keamanan cukup memberi jaminan bagi penonton untuk menyaksikan banyak pertandingan waktu itu. Semestinya, di depan loket penjualan tiket harus ada petugas keamanan yang menjamin arus pembelian tiket. Tidak dibiarkan serabutan sehingga jalan keluar dari loket harus memanjati tembok dan atap bangunan loket.

Bila suasana seperti ini dibiarkan terus berlangsung, bagaimana mungkin menjadikan stadion sepakbola sebagai sumber pendapatan yang dapat menghidupi klub-klub sepakbola profesional seperti yang sudah diterapkan di Eropa dan Amerika Serikat. Klub-klub sepakbola bergengsi bisa dihidupi dari hasil penjualan tiket setiap pertandingan yang dikelola dengan manajemen dagang yang teruji. Bagaimana pun penonton adalah aset dan pundi-pundi para pengelola stadion di samping iklan dan sponsorship dari perusahaan-perusahaan dan industri besar. Bila penonton tak bisa dimanjakan dalam mendapatkan kemudahan meraih tiket, niscaya tontonan sepakbola yang santun hanya ada dalam mimpi. Jangan-jangan kelak, menonton para penonton sepakbola kita merebut lembaran tiket menjadi jauh lebih menarik dibanding tontonan sepakbola itu sendiri. ***

SENYUMAN TKW DAN PELECEHAN MAJIKAN

Dear All,
Hundred cases of Indonesian workers in abroad especially for woman workers. They got bad experiences with their boss at home and work-place. Really, i was very sadly. This insident must be stop earlier. We need the good regulation of government and good monitoring by Worker Affair Department...We should learn from Philippine Authority to cover their workers in abroad.


SAAT melakukan sa’I dalam perjalanan ritual umroh di Tanah Suci beberapa tahun silam, saya menyaksikan pemandangan yang ganjil namun menarik perhatian. Seorang lelaki Arab yang bertubuh kekar dengan pakaian ihram tiba-tiba memukul dan menendang isterinya di tengah lalu-lalang orang yang beribadah. Sang isteri terpelanting dan terjerembab sambil meraungkan tangisnya. Bayi mereka yang baru berusia kira-kira 2 tahun langsung dirampas lelaki itu dan meninggalkan isterinya begitu saja. Untunglah, sekejap berselang, dua polisi Arab dengan sigap meringkus lelaki dan mengamankan isteri dan bayinya. Tak tahulah bagaimana proses selanjutnya.
Juga tak banyak yang tahu, apa yang menyebabkan lelaki Arab itu bertindak brutal di tengah keramaian dan kekhusyukan orang-orang beribadah. Tapi, Ustadz Roslan pembimbing ibadah umroh kami, yang sudah delapan tahun bermastautin di Arab Saudi, langsung berkomentar singkat: ”Begitulah cara tak terpuji sebagian orang Arab memperlakukan perempuan. Terkesan kasar dan brutal.” Seketika terbayang di benak saya, masa-masa jahiliyah yang tidak beradab, sampai-sampai anak perempuan dikubur hidup-hidup atau disiksa dan dinista lainnya.
Lebih dari itu, kisah nestapa para TKW kita yang berada di mancanegara –termasuk Arab Saudi- ter-refleksi tiba-tiba. Berbagai perlakuan memilukan atas TKW kita menjadi hiasan berita yang tak habis-habisnya. Mulai dari siksaan majikan –disiram air panas, disetrika, tak diberi makan dan minum, kerja paksa, disuruh memakan sisa makanan anjing, tak dibayar upah dan masih banyak modus lagi- hingga perkosaan, pelecehan seksual, dijadikan pelacur atau pemuas nafsu suami atau anak lelaki Sang Majikan. Masya Allah.
Munculnya berbagai kasus yang menimpa para TKW kita cenderung disebabkan faktor personal majikan sendiri. Namun tak kalah pentingnya, faktor kultural yang berkaitan dengan tradisi, adat dan kebiasaan yang berlaku di negara tempat bekerja. Dalam memahami kultur dan antropologi ini akan banyak terkait soal yang sepele. Sebutlah cara duduk, menghidang makanan dan minuman, tersenyum, keramah-tamahan, bertutur-sapa atau menegur majikan yang berlawanan jenis. Kesemua itu amat berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi (communication skill) yang sangat ditentukan oleh pemahaman bahasa. Cross-culture memang selalu membuahkan cultural gap (kesenjangan budaya).
Ustadz Roslan yang memahami benar sistem nilai dan kultur kehidupan orang Arab atas pengamatan dan pengalaman keseharian. Ia langsung menceritakan bagaimana lemahnya pemahaman budaya (kultural) para TKW kita di Arab Saudi. Sebutlah, soal senyuman yang diajarkan di negeri asal sebagai keramah-tamahan. Padahal, di Arab Saudi sendiri, seorang perempuan yang secara mudah memberikan senyuman pada lelaki bisa ditafsirkan punya perhatian. Teori libido seksual Freud langsung secara mudah teraplikasi. Realitas yang banyak ditemukan, betapa banyak TKW kita yang diperkosa atau mengalami pelecehan seksual dari pihak keluarga majikan laki-laki.
Realitas para TKW kita selama ini memang sangat lemah dalam komunikasi khususnya bahasa Inggris yang dijadikan standar internasional. Setiap kali berkesempatan berkunjung di Singapura, saya selalu menyaksikan di pusat perbelanjaan di kawasan Orchard Road, betapa dominannya para TKW asal Filipina yang begitu lancar berbahasa Inggris. Sebaliknya, pada suatu kesempatan chatting di Indonesia Room, saya beberapa kali bertemu para TKW kita di Hongkong dan Taiwan. Waktu diajak ngomong dalam bahasa Inggris langsung mengaku tak bisa berbahasa Inggris. Lalu saya tanya, bagaimana komunikasi dengan majikan? “Ya, pakai bahasa isyarat,” jawab mereka. Saya benar-benar termenung karena bagaimana mungkin mereka bisa bekerja efektif dan berprestasi di mata majikan bila tak mampu menjelaskan secara rinci dalam bahasa verbal.
Kemampuan berbahasa Inggris bisa jadi menjadi faktor penentu dasar bagi para TKW untuk bersaing di luar negeri. Akan lebih baik lagi bila penguasaan bahasa asing milik negara tujuan dapat membekali mereka. Tapi, sulit berharap terlalu banyak dalam soal ini. Sebab, rata-rata TKW kita memang berpendidikan SMA ditambah ketrampilan yang diperlukan saat bekerja di rumah majikan seperti menjadi babby sitter, pembantu rumah tangga atau pelayan toko.
Pengalaman para TKW kita yang dikirim ke negara jiran, Malaysia dengan perlakuan yang memilukan, justru tak hanya menanggung beban perlakuan para majikan. Tapi, oknum pengerah tenaga kerja di tanah air sendiri dengan segala jaringan sindikatnya tak henti-hentinya melakukan pemerasan dan penipuan. Mulai pungutan uang dengan berbagai dalih hingga pemerasan saat dalam perjalanan pergi dan pulang atau dijerumuskan menjadi pelayan seks di tempat-tempat hiburan baik di negeri sendiri maupun di negara tetangga itu.
Pertumbuhan tempat-tempat hiburan di sepanjang pantai timur Sumatera –terutama Batam, Bintan, Karimun, Selatpanjang – dan perbatasan Malaysia-Kalimantan selaras dengan meningkatnya aktifitas trafficking. Sebagian besar para pelayan hiburan di kawasan-kawasan itu mengaku ditipu dengan dalih padamulanya akan dipekerjakan di Malaysia atau Singapura.
Jeritan para TKW kita di perantauan seperti yang dialami Nirmala Bonat di negeri jiran memang tak akan berhenti sepanjang communications skill dan cultural gap tidak dibenahi secara gradual dan sistematik. Kita masih bangga dapat ‘mengeskpor’ TKW dengan pertimbangan punya pasar dan menjadi sumber devisa. Tapi, kurang berkaca dalam hal kerugian im-material yang jauh lebih mahal yakni kehormatan dan harga diri.***

‘SAPI PERAH’ DI KANDANG PENDIDIKAN KITA

Dear All,
Every year, milion people face the critical problem for their children education. Finising the school or class has succesfull story but in same time they come to a big problem especially for the poor family. How do they to choose a good school for their children. I was interest with a controversial book : Orang Miskin Dilarang Sekolah. So, tha'ts seriously problem in our country. The government wish realize the school no charge but the other side, the school authority still take the illegal fee from the parent of students. I just say, there are many bandits in our school authority...Enjoy this article:

RAMAINYA kutip-mengutip illegal di negeri kita bagai sudah menjadi budaya yang sulit dihapus. Kebiasaan itu berlangsung sejak lama dan kini terus diwariskan sebagaimana pola pewarisan. Orang yang pernah dikutip untuk suatu urusan, dipastikan akan mengutip pula saat urusan tersebut berada di tangannya. Tentu saja, soal besaran dan modus kian beragam karena selalu dipikirkan secara pragmatis. Namun yang pasti, kecenderungan meningkat tak dapat dielakkan.

Kutipan-kutipan ilegal itu berlangsung di hampir semua tempat aktifitas kehidupan. Mulai di sepanjang jalan raya, pertokoan, parkir, perkantoran, terminal hingga sekolah, lembaga yang mulia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Bila tindakan kutip-mengutip secara illegal ini berlangsung seru dalam dunia pendidikan, tentu amat membuat gerah hati. Sebab, pendidikan itu memang tugas mulia baik secara sosial-budaya, lebih-lebih lagi menurut agama. Orang yang mendapat sentuhan pendidikan yang sempurna dipercaya dapat menimba ilmu pengetahuan sehingga terhindar dari kebodohan. Dan kebodohan (kefakiran) amat dekat dengan kekufuran (mengingkari keberadaan Allah). Bukankah ajaran agama menyatakan bahwa orang yang berilmu pengetahuan mempunyai kedudukan lebih tinggi dibanding orang yang tak berilmu?

Indonesia sudah mencanangkan Program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun. Artinya, setiap anak-anak Indonesia harus melewati jenjang pendidikan SMP meski di banyak negara sudah mencapai jenjang SMA. Oleh sebab itu, tugas dan kewajiban pemerintah memberikan fasilitas pendidikan murah -layaknya digratiskan- bagi setiap anak-anak Indonesia usia sekolah. Keterbatasan dana pemerintah membangunan sekolah-sekolah negeri mulai dari SD hingga SMA tersebut merangsang munculnya keswadayaan masyarakat untuk mendirikan sekolah-sekolah swasta. Tentu saja, dalam praktiknya, biaya pendidikan di sekolah negeri dan swasta mempunyai perbedaan yang signifikan.

Apalagi, Indonesia yang menjadi bagian dalam program Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan PBB mengharuskan semua anak usia SD dapat menyelesaikan pendidikan dasar universal hingga tahun 2015 mendatang. Program Wajar 9 tahun ini akan mencakup populasi yang cukup besar yakni 40 juta orang anak Indonesia.

Saat-saat penerimaan siswa baru (PSB), tradisi kutip-mengutip ini memang tak terhindarkan. Pengutipan uang dalam jumlah tertentu dengan dalih untuk uang pendaftaran, uang pembangunan, uang bangku dan uang lain-lain seolah-olah dipandang sebagai ‘gengsi’ untuk menaikkan pamor sekolah. Walaupun pada hakikatnya tetap saja untuk meraup dana illegal untuk meningkatkan kesejahteraan pihak sekolah baik secara institusi maupun individual.

Selama musim penerimaan siswa baru (PSB) tahun 2007 ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) Divisi Monitoring menemukan 131 kasus pungutan liar (pungli) di sejumlah kota di Indonesia. Penyebabnya sederhana: tidak ada aturan resmi dari pemerintah yang mengatur PSB. Besaran pungli itu antara Rop. 250 ribu - Rp. 7 juta dengan dalih untuk pakaian seragam, formulir pendaftaran, pembangunan dan lembaran kerja siswa.

Menurut Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, Ade Irawan, pungutan loiar umumnya dilakukan setelah dua bulan proses oleh sekolah. Pasalnya bila dilakukan dalam tahap proses seleksi pengawasan umunya masih ketat. Ternyata, sekolah telah membuat list, daftar besaran biaya yang harus ditanggung murid dan harganya bisa ditawarCelakanya lagi, ada di antara sekolah negeri yang memberlakukan biaya pendaftaran ulang. Seperti yang terjadi di SMAN 61 Jakarta Timur yang mewajiubkan biaya lapor diri sebesar Rp. 409 ribu (iuran bulan Juli Rp. 295 ribu, iuran OSIS Rp. 90 ribu dan koperasi siswa Rp. 24 ribu). Lain pula di SMAN 68 Jakarta Pusat yang mewajibkan siswa saat lapor diri membayar yang Komite untuk bulan juli sebesar Rp. 150 ribu. Di SMAN 1 Bengkulu, wali murid diminta pihak sekolah membayar sumbangan sebesar Rp. 1,35 juta (sumbangan awal Rp. 500 ribu, biaya praktik 3 bulan Rp. 285 ribu, iuran Komite Sekolah 3 bulan Rp. 105.000, OSIS 1 tahun Rp. 90 ribu dan pakaian batik Rp. 130 ribu dan pakaian jurusan Rp. 125 ribu serta pakaian olahraga Rp. 80 ribu). .(Suara Pembaruan, 18/7).

Di SMAN 2 Tambun, Bekasi, wali murid diwajibkan membayar uang pembangunan sebesar Rp. 500 ribu. SMAN 4 Harapan Jaya dikenakan tarif sebesar Rp. 1.598 ribu untuk iuran BP3, buku LKS dan seragam. Lain lagi di SDN Mangunjaya VI yang mengenakan pungutan karena usia anak yang kurang satu bulan dari batas usia minimun dengan besaaran Rp. 100 ribu. Begitu pula di SMAN 8 Karawaci, RAPBS dikenakan Rp. 3 juta. Hal senada diberlakukan di SMN 1 Rp. 750 ribu, SMAN 1 Rp. 2,4 juta, SMAN 2 Rp. 2,4 juta dan SMAN 7 Rp. 1,8 juta.

Di Riau, kutip-mengutip PSB ini tak kalah seru. Sebuah SD Negeri di Tangkerang, Pekanbaru mewajibkan biaya masuk sekolah swebesar Rp. 500 ribu. Sementara di SD Negeri 033 Tampan mewajibkan biaya daftar ulang sebesar Rp. 600 ribu (biaya seragam, buku tulis, peralatan tulis- kotak pensil, penghapus, penggaris dll) serta buku Lembar Kerja Siswa. Uang ini harus dilunasi dalam waktu 20 hari. (Riau Pos,10/7).

Gubernur Riau, HM Rusli Zainal memerintah Kadis Diknas untuk menindaklanjuti informasi adanya pungutan yang dibebankan pada siswa baru.”Jangan ada pungutan apa pun jika tidak ada ketentuan yang mengaturnya,” tegas Rusli.

Hiruk-pikut pungutan liar saat PSB ini bukannya tidak direspons oleh otoritas terkait. Di Surabaya, Komisi D DPRD setempat memanggil tiga Kepala Sekolah masing-masing SMK 8, SMPN 38 dan SMAN 17 untuk mengklarifikasi informasi adanya pungutan liar di sekolah-sekolah tersebut. Sementara di Manado, tiga Kepala Sekolah dari sekolah favorit dicopot oleh Walikota Manado karena terbukti melakukan pungli saat PSB tahun ini. Ketiganya pimpinan SMAN 1, SMK Negeri dan SMPN 8.

Adanya kutipan liar di sekolah-sekolah negeri ini sangat mengiris perasaan karena pemerintah sejak tahun 2005 silam sudah berbaik hati mengucurkan dana Bantuan Opersaional Sekolah (BOS) untuk mengurangi beban orang tua siswa. Bila tahun 2006, besaran dana BOS total mencapai Rp. 10,2 triliun mencakup 41,3 juta anak maka pada tahun 2007 ini meningkat menjadi Rp. 11,8 triliun bagi 41,9 juta anak. Dasar perhitungan dana BOS per siswa per tahun tersebut untuk jenjang SD/ Madrasah Ibtidaiyah sebesar Rp. 235 ribu dan jenjang SMP/ Madrasah Tsanawiyah sebesar Rp. 324 ribu.

Berdasarkan kebijakan Depdiknas, dana BOS tersebut digunakan untuk komponen biaya alat tulis, daya dan jasa, perbaikan dan pemeliharaan, pembinaan siswa, pembinaan, pemantauan, pengawasan dan pelaporan, peralatan, bahan praktek dan keperluan lain-lain seperti rapat pengurus dan kegiatan Komite Sekolah.

Sekolah gratis? Tampaknya hanya bakal jadi lip service saat kampanye-kampanye Pilkada di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota. Begitulah praktik ‘sapi perah’ di kandang pendidikan kita yang tak akan cepat berakhir. ***

ENTERPRENEURSHIP GOVERNMENT

Fakhrunnas MA Jabbar

ENTERPRENEURSHIP GOVERNMENT

SUATU kali saya berkesempatan punya waktu panjang berbincang dengan seorang pejabat penting di pemerintahan. Si pejabat mengeluhkan kinerja aparat kepala dinas/ badan di lingkungan kerjanya. Padahal, jauh hari ketika jabatan strategis itu ditawarkan kepada mereka sudah diikuti target-target yang harus dicapai untuk memperkuat performa pemerintahan. Jadi semacam ‘kontrak politik’yang dibuat dari ke hati sebagai komitmen moral.

Dalam perbincangan itu, tak tergambar jelas bagaimana pertanggungjawaban itu bisa diminta kembali ketika masa jabatan telah dilewati 1-2 tahun. Si Pejabat di posisi puncak ini hanya agak mengeluh karena komitmen-komitmen yang sudah dibuat sebelumnya tak sepenuhnya bisa dibuktikan orang-orang kepercayaannya.

Lantas saya pun mencoba menganalisis kenapa situasi seperti itu bisa terjadi dalam realitas pemerintahan kita. Orientasi pemerintahan kita selalu bukan didasarkan pada kompetensi melainkan senioritas masa tugas dalam kepangkatan di jalur birokrasi. Apabila ada pejabat senior di daerah yang memiliki kepangkatan tinggi setara dengan Eselon II, misalnya, biasanya mau tidak mau diberi jabatan sebagai Kepala Dinas/ Badan sebagai sikap menghargai atau menghormati. Walaupun bidang tugas kedinasan yang dikomandoinya tak ada kait-mengait dengan latar-belakang pendidikan keilmuannya. Misalnya, jangan heran bila jabatan Kepala Dinas Kehutanan dijabat oleh seorang berdisiplin ilmu perikanan atau sarjana ekonomi.

Selain itu, posisi Kepala Dinas/ Badan seolah-olah disetarakan dengan jabatan politis sehingga peneunjukannya boleh jadi sangat disarati aspek-aspek balas budi atau balas jasa. Bisa dimafhumi bila penempatan posisi Kepala Dinas/ Badan di suatu daerah usai proses Pilkada mencerminkan hubungan sebuah lokomotif dengan gerbong. Artinya, ‘kabinet’ pemerintahan di daerah akan sangat ditentukan oleh ‘orang-orang’ yang sehaluan dengan Kepala Daerah.

Politik balas budi inilah yang selalu ‘mencederai’ jalannya pemerintahan baru karena penempatan para pejabat yang lebih didasarkan hubungan emosional belaka. Padahal, dalam tradisi Dinasti Cina masa silam, dikisahkan, apabila seorang raja sudah menempati posisinya maka para tim sukses sengaja dilenyapkan karena suatu ketika akan menggerogoti kekuasaan denbgan alasan minta imbal jasa.

Ada anekdot yang beredar di kalangan birokrat kita terutama di daerah-daerah perihal pengisian jabatan-jabatan penting pemerintahan ini. Sebagai birokrat karir, bukannya tidak ada penjenjangan sekolah atau pendidikan yang harus dilewati. Jenjang pendidikan yang bernuansa kepemimpinan ini dimulai dengan SPAMA (tingkat dasar/ pertama), SPAMEN (tingkat menengah) dan SPATI (tingkat tinggi). Biasanya apabila seseorang sudah meraih sertifikat SPATI ini hanya menunggu sejengkal lagi untuk menempatyi posisi yang pantas dalam struktur pemerintahan.

Alkisah, ada seorang birokrat senior yang sudah bersertifikat SPATI selama belasan tahun, tak kunjung diberi jabatan Kepala Dinas/ Badan. Situasi ini dari ke waktu menjadi siksaan batin baginya karena diperolok-olokkan oleh rekan sekerja yang masih muda-muda pula.

“Pak, SPAMA, SPAMEN dan SPATI saja tak cukup sekarang ini. Masih ada satu jenjang sekolah lagi yang belum Bapak tempuh,” olok teman-teman sekerjanya.

“Ah, sekolah macam apa lagi yang harus saya lewati. Soal kepiawaian dan kepemimpinan, saya siap untuk diuji,” tangkis birokrat malang ini.

“Ternyata jenjang sekolah yang tertinggi itu, bukan SPATI. Sekolah yang masih kurang pada Bapak adalah SPAHAM (baca :sepaham)…” ujar teman-teman mudanya sambil tertawa. Si Birokrat tua ini pun ikut pula tersenyum getir.

Pola penempatan pejabat yang bersifat subyektif itulah yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan birokrasi. Apalagi, pola kerja yang diciptakan tanpa target-target yang jelas dengan dukungan kerja keras dan disiplin yang tinggi. Andai saja, pelaksanaan pemerintahan kita diperkaya dengan pola-pola penjenjangan kepangkatan dan jabatan di perusahaan atau institusi swasta, niscaya tingkat keberhasilan seorang pejabat akan lebih terukur dan profesional. Inilah pola enterpreneurship government yang mestinya menjadi wacana yang perlu diwujudkan.

Perusahaan-perusahaan swasta di era global sudah menerapkan konsep dan target keberhasilan yang benar-benar terukur. Seseorang yang dirpomosi menjadi pimpinan departemen mulai superintendent, manajer, GM (general manager) atau Direktur lebih dulu diberi target besar departemen melalui KPI (key performance indicator). Setelah itu, KPI ini dikerucutkan menjadi balance score card (BSC) yang berisi skoring atas apa yang harus dicapai melalui departemen yang dipimpin bersama staf. Secara personal, pimpinan departemen ini harus membuat kontrak kinerja (performance contract-PC) untuk jangka waktu setahun ke depan. PC ini benar-benar berisi kontrak atas kinerja yang harus dicapai mulai dari aspek finance, costumer satisfaction, succession dan empowering para staf.

Tingkat pencapaian PC itulah yang dijadikan dasar pemberian bonus atau promosi yang dibahas dalam Management Development Review (MDR) yang meneroka setiap pimpinan, staf atau karyawan untuk prospek dirinya ke depan. PC boleh dikatakan semacam rapor yang menjadi pegangan obyektif bagi atasan dalam mempromosikan atau menempatkan seseorang di jenjang jabatan perusahaan. Tentu saja, pertimbangan-pertimbangan aspek kepribadian dan moral menjadi bagian tersendiri yang dibahas dalam MDR tersebut. Hebatnya lagi, proyeksi ke depan seseorang staf sudah terbaca sejak dini sesuai dengan potensi yang dibedah melalui analisis SWOT (strengh, weakness, opportunity dan threat) yang lazim dipergunakan di mana-mana.

Andai saja proses suksesi dalam birokrasi kita menggunakan pendekatan enterpreneurship government (pemerintahan bergaya swasta) ini dapat diterapkan, niscaya tidak diperlukan lagi pemaksaaan ‘kontrak politik’ oleh rakyat di awal kekuasaannya. Sebab, ‘rapor’ yang dikemas di dalam PC tadi secara individual memberikan keleluasaan bagi seorang pejabat untuk mengukur diri dan memposisikan dirinya apakah perlu melanjutkan jabatannya atau lebih baik mengundurkan diri akibat kinerjanya yang buruk.***

Thursday, March 29, 2007

MY CURRICULUM VITAE

dear all,
really, i feel just enough to put my CV in the profile..but that's no have many space there..so, i put my completely CV here..
if you need it, read by free:

SPN* Ir. Fakhrunnas MA Jabbar dilahirkan di Desa Tanjung Barulak, Kampar, Riau pada 18 Januari 1959. Mulai menulis sejak di bangku SMP di Bengkalis. Menamatkan Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan, Universitas Riau (UNRI) Pekanbaru tahun 1985. Menjadi dosen di Universitas Islam Riau (UIR) sejak 1986. Tulisannya berupa artikel, esai, cerpen dan puisi telah dimuat di sejumlah media nasional dan local seperti Horison, Kompas, Republika, Media Indonesia, Koran Tempo, Riau Pos, Kartini, Nova, Citra, Suara Pembaruan, Bisnis Indonesia, Seputar Indonesia, Gatra, Jurnal Nasional, dan sebagainya. Aktif dalam berbagai organisasi kesenian dan kebudayaan a.l. Komite Sastra Dewan Kesenian Riau (1994-96), Sekretaris Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI- 1983-95), Sekretaris Lembaga Seni Budaya Pemuda KNPI Riau (1981-85), Sekretaris Komite Program Yayasan Puisi Nusantara (1980-84). Sejumlah buku telah diterbitkan antara lain,Di Bawah Matahari 1981) dan Matahari Malam, Matahari Siang (1982) - keduanya kumpulan puisi bersama penyair Husnu Abadi , Meditasi Sepasang Pipa (1987) –kumpulan puisi bersama penyair Wahyu Prasetya, Biografi Buya Zaini Kuni : Sebutir Mutiara di Lubuk Bendahara (1993), Autobiografi H. Soeman Hs: Bukan Pencuri Anak Perawan (1998) yang terpilih sebagai Buku Terbaik Anugerah Sagang tahun 1999. Kumpulan Puisi Airmata Barzanji (Adi Cita, Yogyakarta, 2005, Pengantar oleh D. Zawawi Imron), Kumpulan Cerpen Sebatang Ceri di Serambi (Akar Indonesia, Yogyakarta, 2005, Kata Pengantar oleh Dr. Maman S. Mahayana) – pernah dibahas oleh Pengamat Sastra Prof. Harry Aveling di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia, 2006 serta terpilih sebagai 10 Nominator Khatulistiwa Literary Award 2006 dan terpilih sebagai Buku Pilihan Anugerah Sagang 2006 Katagori Buku Pilihan. Sejumlah puisinya diterjemahkan dan ikut dalam Antologi Puisi Indonesia-Portugal bersama 50 Penyair Indonesia lainnya. Kumpulan Puisi terbarunya, Tanah Airku Melayu diterbitkan oleh Balai Pengkajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Yogyakarta kerjasama dengan Riaupulp. Buku ini diuluncurkan 29 Januari 2009 yang dibahas oleh Dr. Yusmar Yusuf. Selain itu, 6 buku cerita anak di mana tiga judul di antaranya termasuk buku Inpres yakni Anak-anak Suku Laut (Pustaka Utama Grafiti, 1994), Menembus Kabut (Depag RI, 1985), Menyingkap Rahasia di Bumi Harapan (1997). Sebuah cerpennya, Rumah Besar Tanpa Jendela dimuat dalam Buku Cerpen Horison Sastra Indonesia (Horison, 2001) dan diangkat ke sinetron oleh Chaerul Umam ditayangkan di LaTivi (2002). Sering memenangkan Sayembara Penulisan Sastra di antaranya Juara Pertama Penulisan Cerpen se-Indonesia (Bali Post, 1992), Juara Pertama Penulisan Cerpen se-Indonesia (UNS Surakarta, 1993), Juara Pertama Penulisan Puisi Lingkungan se-Indonesia (Sanggar Sastra Banjarmasin, 1987) dan Juara Pertama Penulisan Puisi tingkat Mahasiswa se-Indonesia pada Porseni tahun 1982) dan lain-lain. Sering pula memberikan ceramah sastra dan budaya dan membaca puisi di sejumlah kota seperti Kuala Lumpur, Singapura, Pekanbaru, Padang, Medan, Jambi, Lampung, Jakarta dan Bandung. Pernah diundang oleh Unesco Korea Selatan tahun 1999 bersama dua budayawan Indonesia dan Negara-negara ASEAN lainnya pada ’99 Cultural Exchange Programme ASEAN-Republic of Korea di Seoul dan Kyong Ju. Menghadiri dan membacakan puisi pada event sastra seperti Hari Sastra di Malaysia, Pertemuan Puisi Indonesia 1987, Malam Bosnia (1995), Malam Solidaritas Islam (1996), Gong Melayu 2001 (2001) dan Baca Sajak Tempuling Rida K. Liamsi (2003), Cakrawala Sastra Indonesia (2004) – semuanya di TIM Jakarta dan Kongres Cerpen Indonesia di Pekanbaru (2006). Terakhir, membacakan sajak-sajaknya di Laman Bujang Mat Syamsuddin, Bandar Serai, Dewan Kesenian Riau, Pekanbaru, Maret 2004, Baca Puisi 'Semalam di Riau' bersempena Lomba Baca Puisi Nasional Rida K. Limasi di TMII, jakarta (2008). Selain aktif berkesenian, dia juga menjalani profesi sebagai wartawan selama 20 tahun sejak 1979 dimulai dari LKBN Antara, Mingguan Genta, Majalah Topik, Panji Masyarakat, Prioritas, Media Indonesia dan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Sering memenangkan Lomba Karya Jurnalistik di Riau. Hingga saat ini menjadi kolomnis tetap dengan rubrik 'Kopi Pagi' di Harian Riau Mandiri. Tahun 2007 lalu mendapat Anugerah Budayawan Terbaik dari Sanggar LDT- Universitas Islam Riau dan Anugerah *Seniman Pemangku Negeri (SPN) bidang Sastra dari Dewan Kesenian Riau (DKR) serta tahun 2008 terpilih sebagai Seniman/ Budayawan Pilihan Sagang dari Yayasan Sagang -sebuah anugerah di bidang kebudayaan yang prestisius di Riau. Saat ini bekerja pada PT Riau Andalan Pulp And Paper, perusahaan pulp dan kertas di Pangkalan Kerinci, Pelalawan Riau. ***

PENYAKIT MATI RASA

dear all,
when i read the newpaper and watching the TV that show us about mostly of the legislative member in Indonesian-wide make demonstration in President Place of Indonesia in Jakarta...they push our government to get them some allowance (out of salary)..while many people mut live in poor...
in my mind..they have loss their sensivity...
my writing about that case..

KOLOM

Fakhrunnas MA Jabbar



PENYAKIT ‘MATI RASA’



PENYAKIT apakah yang paling berbahaya di Indonesia saat ini? Jawabannya sudah bisa dipastikan berkisar penyakit flu burung dan HIV/AIDS. Pasalnya, wabah flu burung telah merenggut nyawa 62 orang dari hampir 100 kasus. Penderita HIV/ AIDS di Indonesia hingga akhir tahun 2006 lalu mencapai 11.000 lebih penderita dan ratusan orang lainnya sudah menjemput ajalnya. Dahsyat memang.

Persoalan yang melanda bangsa Indonesia tak sebatas penyakit endemik yang tersebar luas di tengah-tengah masyarakat yang terbilang penyakit medik. Tentu saja, selalu ada alternatif obat yang ditemukan melalui penelitian-penelitian ilmiah untuk mengatasi penyakit medik itu. Sebutlah penemuan Buah Merah yang konon dapat menghambat perkembangan inkubasi virus HIV atau CVO (Coconut Virgin Oil) yang berkhasiat tinggi untuk melumpuhkan banyak penyakit medik. Kita sedang menghadapi wabah penyakit sosial yang disebut penyakit ‘mati rasa’. Gejala-gejala klinis-sosialnya memperlihatkan rendahnya rasa empati, tenggang-rasa, kesetiakawanan atau suka menzalimi sesamanya.

Padahal, semua ajaran agama mengingatkan betapa penting makna sebuah persaudaraan. Bahkan dalam ajaran Islam ditegaskan melalui sebuah hadits :”Tidak sempurna iman seseorang kamu, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai diri sendiri.” Banyak kisah menarik yang mengandung ajaran kebajikan jadi tamsil bagaimana arti sebuah tenggang rasa atau setia kawan sesama saudara atau tetangga. Muaranyanya tak lain munculnya rasa persatuan dan kesatuan serta rasa aman di suatu lingkungan sosial.

Di tengah rakyat didera derita panjang sejak bermulanya era Reformasi, wakil rakyat yang sudah diamanahkan memperjuangkan aspirasi rakyat yang beragam terutama urusan periuk-nasi sebagai basic need. Rakyat yang awam hanya memelukan adanya perubahan signifikan akan nasib mereka sehari-hari. Pepatah lama : ‘berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian’ yang mengisyaratkan kebahagiaan hanya dapat diraih dengan bersakit-sakit lebih dulu, sudah tak mempan lagi menyejukkan tabularasa rakyat. Sebab, memang rakyat kita memang sudah bersakit-sakit lama sekali tanpa perubahan yang berarti. Pergantian rezim dan sistem demokrasi, ternyata tak kunjung menyentuh perubahan nasib rakyat.

Di tengah-tengah kondisi semua harga barang-barang kebutuhan melambung tinggi dan terjadinya penurunan pendapatan rakyat karena nilai tukar rupiah yang terdepresiasi, barang-barang kebutuhan dasar rakyat justru sulit ditemukan di pasar. Beras yang sudah menjadi kebutuhan dasar semua rakyat ternyata harganya melambung karena Bulog tidak melakukan antisipasi dan poraktif. Belum lagi persoalan ketersediaan minyak tanah tiba-tiba hilang di pasaran mengakibatkan harganya melambung tinggi mencapai Rp. 12.000 per liter melebihi harga solar atau bensin. Pertanyaan yang muncul kemudian, di mana apa saja yang sudah dilakukan Pertamina atau BP Migas sebagai pemegang hak monopoli untuk urusan dasar tersebut? Keperihan rakyat terutama di ceruk-ceruk kampong bagai kehabisan gema ketika sampai di gedung-gedung wakil rakyat.

Dalam suasana seperti itulah, Pemerintahan SBY-JK menerbitkan PP 37/ 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD yang bermuara dengan polemik dan unjuk rasa rakyat dan kalangan professional serta LSM. PP yang identik dengan upaya memperkaya para wakil rakyat atau melegalkan korupsi itu akhirnya diputuskan Presiden SBY untuk dicabut. Padahal, hampir 80 persen para wakil rakyat di daerah-daerah –Provinsi dan Kabupaten- telah mencairkan rapel dana tersebut. Dipastikan, persoalan baru akan muncul karena pengembalian dana yang sudah dicairikan dan dipakai itu cukup besar pula. Untuk seorang anggota DPRD bisa memperoleh dana mencaai 60 jt dan unsur pimpinan mencapai Rp. 200 juta. Untunglah tenggat waktu pengembalian dana tersebut ditoleransi hingga Desember 2007.

Munculnya PP 37/ 2006 yang mengundang kontroversial publik itu memang menyisakan banyak pertanyaan. Apakah tidak dilakukan pengkajian dan analisis-analisis lebih dulu dengan mempertimbangkan unsur kepantasan di tengah negeri ini dilanda banyak persoalan. Bukankah pemberian tunjangan dalam jumlah besar untuk anggota legislatif ini lebih memberi kesan adanya ‘main mata’ kalangan eksekutif dan legislatif? Secara kasar, realitas itu mengesankan: ’sesama bis kota dilarang saling mendahului’? Kolaborasi kedua lembaga pemerintahan itu justru makin membuat praktik-praktik korupsi yang dilegalkan akan semakin banyak terjadi.

Di sisi lain, rakyat benar-benar kecewa ketika para wakil rakyat kurang bereaksi untuk mengkritisi PP 37/2006 yang terang-terangan melukai hati-nurani para konstituen-nya. Syukurlah, masih ada segelintir kalangan legislatif itu –sebagaimana ditunjukkan oleh Fraksi PKS- yang berketetapan hati akan menghimpun dana tunjangan mencapai Rp. 14 milyar yang akan disumbangkan untuk rakyat miskin. Sikap ini sangat simpatik dan terpuji sehingga akan mengurangi kekecewaan rakyat.

Kekhawatiran banyak orang, para wakil rakyat kita semakin kehilangan sensitivitas dan sikap kritis terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat. Di sisi lain, sebagian besar di antara mereka justru memperlihatkan sikap lebih mmentingkan diri dan kelompok. Padahal, rakyat tidak buta dan tuli untuk memotret gerak-gerik mereka saat berkiprah di panggung politik yang dinamik. Kekhatiran banyak orang, janganlah wakil rakyat kita sampai mengidap penyakit ‘mati rasa’ atau tak punya sensitivitas lagi. Sebab, menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi negara dan bangsa terutama rakyat kecil amat membutuhkan keberpihakan sikap dan tindakan. Jangan biarkan rakyat kehilangan penghormatan atau apresiasi sementara keberadaan wakil rakyat sejak dulu memang amat dihormati dan dimuliakan.

Penyakit ‘mati rasa’ hanya dapat diobati dengan selalu ber-empati dengan sering memasuki hati rakyat yang terdalam. Nestapa rakyat mestinya harus dimaknai sebagai keperihan para wakil rakyat pula. Syukur-syukur, tak hanya sekadar merasakan tetapi berbuat suatu yang nyata sebagai keteladanan yang patut ditiru. ***





Fakhrunnas MA Jabbar adalah budayawan, peminat masalah sosial, kini tinggal di Pangkalan Kerinci, Riau.

PEJABAT TERAS DI HARI JUMAT

dear reader,
every friday, we always see many guys will come to the mosque for praying. any interesting view when many of them will come late while the space of the mosque have full. where do will sit at the mosque? yeah, the will sit at the terrace of the mosque. i call them as 'pejabat teras' (people at the terrace of the mosque)...
may be one of them inclue me too.. he he..this outo-criticsm...
let read it..

KOLOM

Fakhrunnas MA Jabbar



PEJABAT TERAS DI HARI JUMAT



HARI Jumat boleh digunakan untuk mengukur kadar ketunakan se sesorang dalam menjalankan ibadah di tengah public yakni sholat Jumat. Setidak—tidaknya saat pertamakali hadir di masjid. Dulu, para guru mengaji mengajarkan kita bahwa pahala bagi seorang yang paling pertama datang di masjid untuk menunaikan sholat Jumat akan mendapatkan pahala senilai berqurban seekor unta. Begitu pula untuk jamaah yang datang di urut nomor dua dan seterusnya akan memperoleh pahala senilai korban seekor sapi, lembu, ayam dan seterusnya. Namun, bagi yang datang di penggalan akhir, harus puas menerima senilai qurban sebutir telur ayam saja. Begitulah keadilan Allah dalam memberikan imbalan yang pantas dan obyektif dalam konteks ritual ubudiyah.

Dalam urusan ibadah, memang tak ada perlakuan istimewa pada seorang jamaah di mata Allah. Inna akrama kum, ‘indallahi atqakum (Yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling tinggi ketaqwaannya). Seseorang yang terlambat menempati shaf dalam sholat berjamaah, harus puas berdiri di bagian belakang yang masih kosong. Itulah sebabnya, seorang imam selalu berpesan sebelum memulai ibadah sholat agar para jamaah mengisi shaf terdepan lebih dulu.

Tapi, dalam realitas sehari-hari, kita masih sering menyaksikan bagaimana protokoler duniawi bercampur-aduk dengan urusan ukhrowi atau ubudiyah ini. Seorang pejabat publik yang ikut dalam ritual ubudiyah berjamaah ini selalu diberi tempat istimewa dalam barisan shaf terdepan, meski datang terlambat. Hal ini dilegalisir dengan pertimbangan semata urusan protokoler duniawi atau kewibawaan pejabat bersangkutan. Padahal, Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin dulu yang juga terbilang sebagai pejabat public –setingkat Kepala Negara dan Pemerintahan- tidak memberlakukan protokoler serupa itu. Bahkan, mereka melepaskan hak privilege (istimewa)nya selaku orang nomor satu dalam urusan pemerintahan bila berhadapan dengan urusan syari’ah.

Ada hal yang menarikyang amat kontras dijumpai dalam setiap peristiwa sholat Jumat. Sebagian besar jamaah justru berebutan datang ke masjid dan mencari shaf justru pada detik-detik akhir menjelang dimulainya ibadah sholat Jumat. Akibat bagian dalam masjid tak memadai lagi menampung para jamaah sehingga bagian luar masjid-lah yang menjadi alternative satu-satunya. Syukurlah kebanyakan masjid sekarang sudah diperluas dengan membangun teras atau serambi baik terutama di kiri-kanan bangunan induk masjid.

Pertanyaan kita: siapakah mereka yang menempati shar luas masjid itu? Itulah kelompok yang boleh disebut ‘Pejabat Teras’ di hari Jumat. Maksudnya, orang-orang yang selalu menempati shaf di bagian teras masjid karena keterlambatan kehadirannya dalam ritual sholat Jumat. Tentu saja, semua orang punya alasan untuk datang terlambat karma terkait urusan-urusan duniawi baik di rumah tangga maupun di kantor. Alasan keterlambatan ini tentu hanya bisa diadili secara jernih dan obyektif oleh Allah bersama para malaikat yang ditugaskan mengawasi aktifitas manusia di dunia.

Padahal, semua kita sadar akan kewajiban untuk segera meninggalkan aktifitas duniawi agar mengutamakanl ibadah Jumat. Khatib Jumat selalu mengingatkan para jamaah, apabila waktu sholat Jumat tiba, hendaklah semua orang meninggalkan urusan duniawi dan bergegas ke masjid agar berkonsentrasi memperhambakan diri kepada Allah. Bahkan, semestinya semua urusan jual-beli (muamalah) dihentikan selama melaksanakan ibadah sholat Jumat tersebut. Jadi, sholat Jumat ini mestinya menjadi kebutuhan sebagaimana para sufi menjadikan ibadah sebagai kelengkapan hidupnya.

Tapi, secra individual, urusan beribadah memang berpulang kepada masing-masing orang untuk mengamalkannya. Sebab, bear kecil dosa yang dilakukan sudah menjadi tanggungjawab pribadi bagi orang yang sudah akil-baligh untuk memikulnya. Dan semua perbuatan dosa itu akan dimintai pertangungjawabannya di hari akhirat kelak.

Di masa kecil dulu, guru mengaji saya selalu bercerita tentang orang-orang yang berbuat baik dan berbuat jahat untuk menjelaskan batasan kebenaran dan kesalahan. Tujuan guru mengaji ini tak lain agar murid-muridnya faham dan kelak menjadi orang yang alim atau taat. Dikisahkan, tentang orang yang melalaikan sholat Jumat. Begini: sejumlah orang di sebuah kampung di zaman dahulu kala asyik mencari ikan di sungai pada hari Jumat. Mereka asyik menangkap ikan karena jumlahnya memang banyak dan berukuran besar-besar pula. Sayangnya, sampai saat adzan di masjid bergema, mereka terus saja menangkap ikan. Seolah-olah tak peduli saja. Beberapa orang alim yang lewat di dekat sungai itu, menyerukan agar mereka segera meninggalkan usaha dan menunaikan sholat Jumat. Tapi, justru mereka bukannya patuh dan sadar melainkan memperolok-olokkan para orang alim yang lewat. Layaknya seekor monyet memperagakan kegembiraan begitu mendapatkan ikan-ikan besar sambil tertawa-tawa ceikikan. Panggilan kebenaran ternyata mereka sambut dengan olok-olok dan meremehkan.

Sewaktu para jamaah pulang Jumat, mereka terkejut saat melewati sungai tadi. Puluhan monyet sedang berpesta sambil tertawa-tawa dengan memperagakan sikap berlebihan karena mendapatkan ikan yang banyak. Seperti bisa diduga, menurut guru mengaji dulu, ternyata orang-orang yang tidak melaksanakan sholat Jumat itu, atas kehendak Allah telah berubah menjadi monyet-monyet besar.

Begitulah ajaran kebajikan yang bijak selalu muncul di sepanjang masa. Adakalanya ajaran itu turun dari langit atau gunung. Bahkan tak jarang pula tamsil-tamsil bijak itu mencuat dari dasar laut atau lembah yang dalam. Allah pun telah membentangkan kehidupan dunia ini untuk seua orang mencari rezeki bagi kelangsungan hidup diri dan anak-istri atau keturunannya. Sebagaimana sebuah hadits Rasulullah : “Kejarlah duniamu, seolah-olah kamu akan hidup untuk selamanya. Tapi kejar pula akhiratmu seolah-olah kamu akan mati esok hari.”

Ibadah sholat lima waktu dan sholat Jumat pada hakikatnya hanya menguras beberapa menit saja disbanding waktu 24 jam yang tersedia dalam sehari. Benar kata Bimbo : “sholat itu laksana interupsi belaka”. Tidak akan menyita banyak waktu. ***

MUNDUR

Dear All,
Mundur (retreat, resign) from the position is a gentlement attitude as a best responsibility. But, there are many our executive in bereucration have no this. Many subordinates depend their responsibility to their superordinate.. A minister in our country will never retreat or resign from his position although has many mistakes..Let see our Transportation Minister, Hatta Radjasa.. Many crashes related land, air and ater transprtation..but he feel free in his position..The great poet of Indonesia, Taufik Ismail have ever wiritten a nice poem that tittle : (Malu) Aku Jadi Orang Indonesia..(To be ashame become an Indonesian People)..
This is my opinion about the phenomenon..

Tradisi Mundur dari Jabatan

ADA anekdot soal naik kendaraan di Indonesia. Di masa Orde Baru dulu, katanya, perseneling mobil yang jarang digunakan saat berkendaraan adalah mundur. Apalagi kalau mobil tersebut dikendarai oleh para pimpinan kantor, pejabat publik atau organisasi. Sebab, kata-kata ‘mundur’ menjadi sesuatu yang ditabukan karena selalu dianggap identik dengan pertahanan sikap akan jabatan yang dipegangnya. Itulah sebabnya, nyaris sepanjang perjalanan birokrasi di negeri ini, sangat langka kita dengar ada pejabat publik yang mundur sebagai konsekuensi kelalaian tugas yang diembannya.
Akibatnya, meski sudah melakukan banyak kesalahan di mata publik, tradisi mundur itu benar-benar dikekalkan.Padahal, negeri Jepang yang sama-sama berasal dari bangsa Timur terus saja menyuburkan tradisi mundur sebagai konsekuensi tidak bisa memenuhi tanggungjawab tugas publik sebagaimana diharapkan masyarakat. Sering terjadi, Menteri Transportasi atau Perhubungan langsung mundur ketika terjadi kecelakaan pesawat terbang atau kereta api. Orang boleh saja bedalih kalau tradisi mundur di negeri Sakura itu terkait nilai-nilai budaya ‘harakiri’ (bunuh diri karena tak kuat menahan rasa malu) yang sudah berlangsung turun-temurun.
Boleh jadi, tradisi mundur dalam birokrasi Indonesia masih saja ‘diharamkan’. Sebutlah tragedi kecelakaan transportasi yang terjadi berulang-ulang, disikapi oleh pejabat public dan masyarakat secara berbeda. Cobalah runut sejumlah musibah terkait kasus kecelakaan transportasi sejak dulu hingga kini di antaranya kecelakaan laut berupa tenggelamnya Tampomas II, KM Levina dan masih banyak lagi. Kecelakaan udara bak silih berganti yang menewaskan ribuan jiwa seperti kecelakaan pesawat Garuda di Sibolangit (Sumut), Mandala di Polonia, Lion Air di Semarang, Adam Air yang ‘menghilang’ di dasar laut, kawasan Kalimantan, patahnya tubuh pesawat Adam Air dan terakhir terbakarnya pesawat Garuda Indonesia di Lanud Adi Sutjipto, Yogyakarta. Kecelakaan darat pun nyaris terjadi tiap bulan seperti tragedi KA Bintaro yang menghebohkan, anjloknya sejumlah kereta api di lintas Pulau Jawa. Ditambah pula tabrakan bus dan mobil kecil yang menghiasi halaman suratkabar dan layar kaca.
Jangan-jangan, Indonesia bakal tercatat di dalam Guinnes Book Record sebagai negara yang paling banyak kasus kecelakaan transportasinya. Kasus-kasus kecelakaan transportasi ini tenyata tak menggugah perasaan Menteri Perhubungan –dari masa ke masa- untuk mengundurkan diri. Semangat lagu ‘Maju Tak Gentar’ benar-benar telah mengilhami pejabat public kita terkait untuk tetap bertahan di jabatannya. Apa yang diucapkan Menteri Perhubungan, Hatta Radjasa, menyikapi tuntutan mundur dari berbagai pemangku kepentingan di negeri ini bahwa ‘saya akan mundur apabila dikehendaki oleh Presiden.’ Alasan-alasan semacam ini sudah menjadi kalimat baku bagi para menteri yang duduk dalam jajaran kabinet Indonesia sejak dulu.
Tidak punya sensitifitaskah Hatta Radjasa akan tuntutan publik yang merasa kecewa dengan kinerja Departemen Perhubungan? Tidak juga. Pasalnya, Radjasa justru menyikapi banyaknya kasus kecelakaan transportasi ini dengan melakukan restrukturisasi atau mengganti sejumlah Dirjen atau Direktur terkait. Padahal, bila seorang menteri merasakan terlalu banyak titik lemah para pembantu-pembantu dekatnya, bukankah sebenarnya hal itu bermakna kegagalan atas pembinaan yang dilakukannya sebagai pimpinan departemen.
Tradisi mundur dari jabatan di Indonesia apabila dipandang gagal oleh publik dalam mengurus manajemen tugas dan tanggungjawab sangat jarang dilakukan para pejabat publik kita. Alasannya, tidak mundur dari jabatan saat institusi yang dipimpinnya sedang bermasalah dipandang sebagai sikap kesatria dan bertanggungjawab. Mundur dapat diartikan sebagai ‘lari’ dari tanggungjawab. Sebaliknya, di sejumlah negara lain seperti Jepang dan negara-negara Barat, kegagalan dalam mengurus tugas dan tanggungjawab dipandang sebagai aib. Apalagi bila kesalahan itu terjadi berulang-ulang.
Syukurlah, Wapres Jusuf Kalla sempat berbasa-basi di depan para pengusaha asing belum lama ini dengan mengatakan ‘sangat malu’ atas tragedi dunia transportasi di Indonesia. Tapi itu pun hanya sebatas retorika belaka. Tak ada teguran atau sapaan bagi Menteri Perhubungan sepenuhnya bertanggungjawab dalam urusan transportasi itu.
Berulang-ulangnya kasus kecelakaan transportasi di tanah air memang mengundang tanda tanya dan renungan panjang bagi setiap manusia Indonesia. Kenapa harus Indonesia? Sementara penggunaan jasa transportasi di semua negara dunia justru semakin intensif. Sarana angkutan udara, darat dan laut pun sama-sama dipergunakan sesuai standar. Tapi, kenapa kasus kecelakaan di negara-negara lain tidak separah di Indonesia. Tanya kenapa?
Mengelola bidang transportasi tak terlepas dari kemampuan manajerial yang dikombinasikan dengan skill, knowledge dan kompetensi. Tuntutan seperti ini sudah dinukilkan dalam sebuah ajaran Islam bahwa ‘serahkanlah sesuatu pekerjaan pada yang ahlinya. Apabila tidak, tunggulah saat kehancurannya.” Dalam konteks ini, menjadi Menteri Perhubungan tentulah tak terlepas dari aspek manajemen dan teknis yang terkait dengan bidang yang dikelolanya.
Pemerintahan kita memang sudah terbiasa dengan tradisi gonta-ganti menteri yang sering mengabaikan aspek kemampuan teknis ini. Masyarakat mafhum bila jabatan setingkat menteri tentulah lebih ditekankan pada aspek manajerial karena sangat bersentuhan dengan keputusan-keputusan strategis dan politis. Namun, apabila terlalu sering terjadi kasus kecelakaan transportasi di bawah manajemen kementerian yang dipegangnya, tentulah ini tak terlepas dari aspek kompetenesi yang dimiliki.
Sebuah analogi sederhana dapat dilihat pada manajemen sebuah rumah makan. Banyak orang yang bekerja di bisnis semacam ini mulai dari tukang masak, pelayan, penyambut tamu, tukang cuci piring, tukang bersih ruangan dan sebagainya. Apabila para pekerja di rumah makan itu selalu dan selalu melakukan kesalahan –apakah akibat faktor ‘human error’ atau ‘aspek teknis peralatan’- sudah sepatutnya kemampuan manajer rumah makan itu patut dipertanyakan. Apalagi, komplain para pelanggan semakin deras dan akan mempengaruhi citra rumah makan. Ujung-ujungnya tentulah nilai jual rumah makan tersebut menjadi sangat rendah dan prospek bisnisnya ke depan menjadi suram.
Menteri Perhubungan, Hatta Radjasa dalam banyak kasus kecelakaan transportasi ini tentulah sama dengan posisi seorang manajer rumah makan. Diperlukan kemampuan manajerial untuk mengatur tim kerja terkait dengan tugas-tugas teknis. Sudahkah peralatan yang ada selalu dikontrol masa ekonomisnya? Para pekerja dites atau menjalani proses assement agar tetap prima dan punya standar kompetensi? Atau rotasi jabatan di lingkungannya memang berjalan obyektif bukan karena faktor-faktor emosional dan subyektifitas. Kepantasan mundur dari jabatan amat tergantung pada kepekaan memaknai tugas dan tanggungjawab serta kompetensi yang dimiliki. ***

Fakhrunnas MA Jabbar adalah budayawan, tinggal di Pekanbaru.

STUDI BANDING

Dear All,
Benchmarking is important things to upgrade our performance. Many people love to do with go around many places in the world. May be, we are include as people that too love to do benchmarking with reason to get knowledge and best practice from others..while in their deepest heart that only for travelling...may you are not include this type..
warm regards,

KOLOM

Fakhrunnas MA Jabbar


STUDI BANDING


MASIH ingat kasus pemecatan Joko Edhi, anggota DPR RI dari Fraksi PAN yang dipecat oleh institusi partai setelah melakukan studi banding bidang keagamaan di Mesir? Begitulah, studi banding saat ini sudah kehilangan marwah. Banyak pihak menggunakan sebutan studi banding untuk mengemas sebuah perjalanan rekreasi dengan menggunakan dana publik. Padahal, setiap sen dana publik itu hendaklah dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada pemiliknya yakni rakyat.

Padahal studi banding (benchmarking) yang benar merupakan proses pembelajaran pada pihak lain yang lebih sukses dalam melakukan suatu aktifitas dengan harapan kesuksesan tersebut dapat diadopsi. Perusahaan-perusahaan besar yang menjalankan praktis bisnisnya secara professional selalu melakukan proses studi banding ini guna meningkatkan kinerja. Jangan heran, dana yang dikucurkan untuk melakukan studi banding itu sangat besar karena feed back yang diharapkan sesudahnya dapat meningkatkan efisiensi dan keuntungan bisnis.

Negeri kita yang tak henti-hentinya ingin belajar, kegiatan studi banding menjadi aktifitas rutin dan seremonial di semua jenjang organisasi dan institusi. Dikhawatirkan, ada pihak yang menjadi studi banding sebagai pekerjaan pokok karena studi banding dipersepsikan sebagai traveling (perjalanan). Fenomena ini melanda organisasi kemasyarakatan dan politik hingga para birokrat pemerintahan. Selalu dan selalu saja bila hendak memulai suatu program yang baru –apalagi berbau spektakuler- di dalam anggaran yang disusun akan diawali dengan kegiatan studi banding. Padahal, apa yang akan dipelajari di tempat atau negara lain itu belum tentu lebih baik dibanding apa yang sudah dipraktikkan di tempat sendiri.

Studi banding yang berkepanjangan di negeri benar-benar membuat sebuah program menjadi tak menentu dan salah kaprah. Amati saja bagaimana pengembangan sistem pendidikan di negeri kita yang berpola maju-mundur sejak dulu. Semua kebijakan pendidikan itu diawali dengan studi banding di negara lain. Ironisnya, negara bandingan kadang-kadang hanya ditetapkan berdasarkan dorongan emosional dan subyektifitas para Meneri dan pejabat tinggi Departemen Pendidikan. Bila unsur pimpinannya mempunyai back ground pendidikan di negara Prancis maka kebijakan pendidikan kita akan merujuk ke negara bersangkutan atau Eropa. Tanpa terasa, secara silih berganti, kebijakan pendidikan kita berganti-ganti rujukan mulai dari Canada, Australia, Eropa dan tak mustahil ke negara-negara Asia sendiri termasuk Malaysia dan Singapura.

Masih ingat ‘kan, ketika masa belajar dalam sistem pendidikan kita yang gonta-ganti dari pola triwulan, caturwulan hingga semester. Sistem semester ini diprakarsai oleh Mendikbud, Daoed Joesoef yang sering melahirkan kebijaka-kebijakan controversial. Tapi untunglah logika penggunaan sistem semester ini masuk akal juga sebab kebijakan itu dimaksudkan untuk penyesuaian masa belajar di negeri kita dengan Eropa dan Amerika. Dengan demikian bila ada pelajar kita yang melanjutkan pendidikannya di luar negeri khususnya Eropa dan Amerika, tidak harus menunggu beberapa bulan untuk penyesuaian masa belajarnya.

Teramat banyak masalah dan kebijakan pendidikan kita yang berdampak akhir pada rakyat. Celakanya, kebijakan itu justru bisa-bisa mencederai rakyat kecil yang berpenghasilan pas-pasan. Ingat saja kebijakan ganti buku cetak pelajaran tiap tahun yang mengakibatkan belanja buku para orangtua menjadi membengkak karena buku tahun ini tak dipakai lagi untuk generasi tahun berikutnya. Kelak ditengarai ada ‘mafia buku’ yang melakukan praktik-praktik tak terhormat dengan mengorbankan rakyat.

Studi banding pengembangan pariwisata benar-benar menjadi pembenaran untuk traveling ke mancanegara. Sebab, berwisata itu sendiri merupakan bagian yang harus distudi. Tapi ketika angka-angka jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung di negeri kita tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan, terasalah studi banding itu menjadi basa-basi belaka. Lihat saja data statistik dari tahun ke tahun, jumlah kunjungan wisatawan asing ke negeri kita berkisar 1-3 juta saja, sementara Singapura yang tak lebih dari negeri pulau seluas 50 ribu hektare mampu meraih angka 5-6 juta per tahun.

Belum lagi, studi banding soal pengentasan kemiskinan di sejumlah negara. Sudah tak terhitung perjalanan studi banding yang dilakukan pihak pemerintah kita –mulai pusat hingga daerah-daerah- dalam menangani orang-orang miskin yang tiap tahun cenderung terus bertambah. Tapi, angka kemiskinan dan nasib orang-orang miskin di negeri ini tak kunjung berubah secara signifikan. Malah, data-data kemiskinan saja begitu simpang siurnya. Pantas saja, budayawan Idrus Tintin (alm) menggagaskan untuk mengatasi kemiskinan cukup dikeluarkan sebuah Perda yakni Perda Kemiskinan. Salah satu pasal penting di dalam Perda itu berbunyi begini : setiap penduduk di daerah ini dilarang miskin. Barangsiapa yang masih miskin akan didenda atau menjalani masa kurungan/ tahanan. Dahsyat!

Tahun 2006 ini, begitu seorang bankir Bangladesh yang bernama Muhammad Yunus meriah Nobel Perdamaian, bukan tak mustahil banyak negara dan provinsi yang berhasrat melakukan studi banding ke sana. Sebab, Muhammad Yunus bersama sebuah bank yang mengucurkan kredit tanpa agunan bagi orang-orang miskin –khususnya kaum perempuan- berhasil mengangkatkan harkat banyak orang miskin di negeri itu. Siapa yang tak tergiur untuk mempraktikkan keberhasilan Muhammad Yunus itu ketika semua negara di dunia melalui Millenium Development Goal’s (MDG’s) ingin membasmi kemiskinan dan aspek-aspek social strategis lainnya.

Tradisi tak tertulis yang berlaku di negeri kita, setiap munculnya sebuah UU atau Perda baru tentang suatu masalah, sudah bisa dipastikan akan diikuti oleh kegiatan studi banding baik di dalam negeri sendiri maupun luar negeri. Bisa dibayangkan, berapa besar dana yang terkuras dalam melakukan studi banding itu. Akibatnya, apa yang dikatakan pepatah Melayu : hilang kapak karena mencari jarum.

Wahai para penyuka studi banding, kembalilah ke jalan yang benar bila tusi banding itu tak bakal menghasilkan apa-apa. Setiap sen uang rakyat yang dipergunakan hendaklah dipertanggungjawabkan dengan memberikan kemudahan pada rakyat. ***



Penulis adalah budayawan dan peminat masalah sosial, tinggal di Riau.

PERI KEBINATANGAN

hi all,
i just read about the treatment of some people on their pet..some animal treated as a human as like happen in hongkong..so i write how about 'perikebinatangan' that's opposite to 'human being' (perikemanusiaan".. the world is crazy ... peter pan sing a song with lyric : duniaku, tak dapat kumengerti/ kaki di kepala/ kepala di kaki...
enjoy this colomn :

KOPI PAGI
Fakhrunnas MA Jabbar

PERIKEBINATANGAN

TEMBANG anyar Peter Pan yang berlirik bolak-balik :”pikiranku, tak dapat kumengerti, kaki di kepala, kepala di kaki…” bolehlah menggambarkan bagaimana semrawutnya pemikiran umat manusia. Sesuatu yang semestinya menurut ukuran nilai-nilai normatif manusia harus disepelekan, tiba-tiba berubah jadi maha-penting. Sebaliknya, sesuatu yang esensial dalam kehidupan ini begitu mudahnya disepelekan. Inilah kehidupan duniawi yang penuh pernak-pernik sejalan dengan perkembangan pola pikir manusia.
Kantor berita AFP (5/1) melaporkan sebuah berita aneh. Di kota Ilan, Taiwan dilangsung pesta perkawinan yang tak lazim yakni dua ekor babi berlainan jenis. Sepasang babi yang bertekad menjadi pasangan sehidup semati itu disandingkan dengan memakai baju pengantin lengkap dengan segala aksesorisnya. Tak kurang dari 400 undangan -jenis bukan babi, tentu saja- menghadiri pesta perkawinan yang jarang terjadi itu. Hebatnya lagi, para undangan juga bawa hadiah perkawinanan berupa uang saweran yang sudah ditetapkan sebesar TWD 100 (setara dengan Rp. 27 ribu).
Ide perkawinanan itu muncul dari seorang warga Taiwan, Hsu Wen-chuan pemilik usaha peternakan babi di kota Ilan. Hsu ingin salah satu babi jantan peliharaannya bernama Shui Fu-ko bisa punya keluarga sendiri. Untuk meraih ambisianya, Hsu sampai memasang iklan lewat internet untuk mencarikan jodoh bagi Fu-ko kelahiran Desember 2005 itu.
Dalam ikllan itu, Hsu menyatakan Fu-ko dan pasangannya nakal hidup bahagia dalam sebuah kandang mewah yang memiliki kolam renang dan pemandangan gunung. Iklan ini disambut seorang peternak lain bernama Huang Pu-pu yang punya seekor babi betina. Akhirnya sepasang babi itu dinikahkan secara resmi oleh seorang pejabat pemerintah setempat. Oleh sebab itu jangan heran bila kedua babi ini mendapat sertifikat plus pemberkatan dari sebuah gereja setempat. Selidik punya selidik, ternyata Hsu sengaja mengawinkan babi kesayangan itu guna ikut menyambut datanganya Tahun Babi pada Hari Raya Imlek, 18 Februari ini.
Lantas, untuk apa digunakan uang saweran para undangan? Uang itu digunakan untuk amal dengan cara membeli mobil bagi anggota jemaah gereja yang mengalami gangguan mental. Nah, benar-benar rumit ‘kan? He he
Peristiwa ini bolehlah menjadi pertanda betapa semakin tingginya nilai-nilai peri-kebinatangan dalam hidup ini. Mudah-mudahan, peri-kebinatangan itu tidak mengancam nilai-nilai peri-kemanusiaan yang cenderung kian tergerus oleh perubahan zaman. Deraan dukacita dan tantangan kehidupan yang kian sulit di hampir seluruh dunia telah menempatkan manusia dalam posisi yang tersudut. Tak sedikit di antaranya yang gagal bertahan sehingga hidup mereka pun mengadopsi cara-cara binatang seperti ungkapan Machiavelli : “menghalalkan segala cara..”.
Ihwal binatang kesayangan yang dipelihara manusia memang banyak ragam kisahnya. Banyak sekali manusia yang hidup serumah dengan binatang-binatang itu dengan ikatan emosional yang luar biasa. Jenis binatang yang dipelihara pun makin lama semakin komplit. Mulai dari harimau, anjing, ikan, kucing, burung, ular, kelinci hingga herwan purba, iguana. Kasih sayang yang diluahkan untuk binatang kesayangan itu kadangkala sangat berlebihan. Seorang kolega saya bercerita bagaimana seorang kaya -sahabatnya- memelihara seekor monyet yang tidur seranjang bertiga dengan istrinya. Hebatnya lagi, monyet itu tidur di tengah-tengah. Tapi sial, suatu malam, monyet itu tiba-tiba mengamuk sampai menggigit telinga tuannya. Cemburukah Sang Monyet pada istri tuannya? Ow, tunggu dulu. Ternyata saat tidur, Si Tuan sempat menghimpin bagian tubuh monyet sehingga merasa kesakitan dan balas dendam…
Masih banyak cara mengistimewakan binatang kesayangan yang terus berlangsung di dunia ini. Ada lomba merias binatang, fashion show atau lomba atau adu kehebatan lainnya. Bahkan, banyak sekali kelompok penyayang binatang yang bermunculan untuk membela hak-hak asasi binatang. LSM besar dunia seperti Greenpeace sdan WWF berulangkali melakukan protes eksploitasi dunia binatang yang dilakukan manusia seperti penangkapan atau pencemaran atas habitat ikan paus atau perburuan hewan liar yang kian langka. Termasuk, menjadikan hewan langka yang diawetkan itu dijadikan pajangan di ruang tamu. Bahkan, organisasi -organisasi tersebut pernah memprotes para selebriti dunia yang doyan mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit ular, harimau atau hewan lainnya.
Harga binatang peliharan ini pun makin lama meningkat tajam. Bukan berita yang mengejutkan bila ada harga burung atau kucing peliharaan mencapai ratusan juta rupiah. Itulah sebabnya, binatang-binatang peliharaan itu disayangi mati-matian. Sebuah survei di Jepang menunjukkan binatang peliharaan terutama anjing dan kucing ternyata memiliki usia hidup lebih lama. Hampir separuh dari anjing peliharaan di negeri itu mencapai usia 7 tahun atau setara dengan usia 50 tahun pada manusia. Analisis Asosiasi Produsen Makanan Binatang Peliharaan (PFMA) di negeri Geisha itu melansir sebagai akibat kian bagusnya kualitas makanan hewan dan tingkat perawatan yang makin sempurna.
Manusia dan binatang itu sebenarnya dipisahkan oleh sehelai benang saja. Ada sebuah pepatah Arab begini : al insaanu ahayawanun natiqah (manusia itu adalah hewan yang berakal). Maknanya, selagi manusia masih menggunakan akal sehatnya maka sempurnalah kemanusiaannya. Tapi bila akalnya sudah tiada atau menjauh dari rasionalitas maka perilaku kebinatanganlah yang akan muncul ke permukaan.
Ajaran bijak ‘alam terkembang jadi guru’ yang sangat terkenal di ranah Minangkabau mengingatkan kita agar selalu belajar dari alam termasuk binatang. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebenarnya sudah memulainya jauh hari. Bagaimana, gaya aerodinamis pada pesawat terbang dan kapal ternyata mengadopsi format tubuh burung. Begitu pula, teknologi pesawat terbang bersandar pada pola burung terbang yang mengepakkan sayapnya.
Sayangilah binatang, kata manusia. Jangan sampai binatang-binatang suatu kelak akan berucap pula : “sayangilah manusia.” Ini maknanya betapa sudah hancurnya kebudayaan dan peradaban kita. ***

Tuesday, February 13, 2007

BANJIR KESALAHAN, EH, MISTAKE FLOOD

dear all,
ketika hampir seluruh negeri kita dilanda banjir, hati saya makin kecut saja. pasti ada yang salah dalam mengurus negeri ini yang berlangsung secara berkesinambungan. banjir boleh dipandang sebagai peristiwa alamiah tetapi juga tak kalah penting diakibatkan salah penataan lingkungan dan disiplin menjaga lingkungan secara bersama-sama..
tapi yang lebih hebat dari peristiwa banjir ini adalah fenomena yang muncul sesudahnya..bangsa kita memang punya tipikal untuk saling menyalahkan..nah, inilah yang saya sebut dengan 'banjir kesalahan' itu. pihak sana menyalahkan pihak sini dan balik menyalahkan pihak sana..lihatlah, banjir di kota jakarta selama hampir sepekan, awal februari 2007 lalu telah membuat kota jakarta bagai 'kota venisia' yang mempunyai infrastruktur perhubungan berupa perairan. cemoohan lain menyebut jakarta sebagai 'jakarta under water' (dulu pernah dipopulerkan oleh moamar emka dengan 'jakarta undercover')..pokoknya kita benar-benar malu punya ibukota republik ini benar-benar terendam sampai 60 persen luasnya...
banjir kesalahan pun meluap saat merespons banjir jakarta ini. pemerintah jawa barat pun disalahkan karena tidak ketat menjaga tata ruang yang semula disediakan sebagai 'catchment area' (wilayah tangkapan air) yang diharapkan dapat menahan laju arus air dari kawasan puncak menuju jakarta saat musim hujan melanda..tapi pemrov jabar pula balik menyerang pemrov dki jakarta yang dinilai tak bisa menjaga harmonisasi sungai-sungai yang ada -konon sejak zaman belanda dulu terdapat 13 aliran sungai di jakarta termasuk ciliwung yang sangat legendaris itu.
banjir keslahan ini terus tumpah ke semua pelataran kehidupan..mulai warga yang buang sampah sembarangan, bantaran sungai jadi pemukiman kelompok 'the have not' hingga rimba beton jakarta yang terus menggerogoti kawasan hijau... tapi muara dari semua pertelagahan (pertengkaran) itu tak lain terkait duit juga..ada pihak-pihak yang begitu mudah meloloskan sebuah proyek infrastruktur setelah iming-iming duit...heh
banjir membuat kita sedih..tapi banjir kesedihan tak akan menyelesaikan masalah kecuali dimulai kesadaran untuk bermusyawarah bagi para pemangku kepentingan terkait dalam soal banjir itu..persis seperti penanganan sungai rhein di eropa yang melibatkan empat negara di antara inggris dan prancis....
banjir kesalahan harus dihentikan segera..!
salam,
fmj
pekanbaru, 13 februari 2007