Tuesday, July 31, 2007

MENONTON (PENONTON) SEPAK BOLA INDONESIA

Dear All,
Some time, we will be ashame to get a dream abour our soccer pretigous. Want to be the winner of world cup? Asian cup? SEA Games? More than that, can we become a good host for world class game? I and my oldest son, Fariz, have bad experience when we want to watch the soccer game in Asian Cup at Gelora Bung Karno on June this year. How did we get the expensive ticket by crowded process at the ticket box. So, I just like to tell you about my experience to watch the supporter...
regards

KETIKA pertarungan awal kesebelasan Indonesia melawan Bahrain dalam ajang Piala Asia 2007 di GOR Bung Karno, Senayan, Jakarta, 11 Juli lalu, saya bersama anak saya, Fariz yang sudah mahasiswa dan hobi sepakbola, merasa beruntung ikut menyaksikan pertandingan itu. Meskipun kemenangan pasukan yang dikapteni Bambang Pamungkas itu berhasil menekuk Bahrain 2:1 patut dikenang, namun perjuangan kami mendapatkan dua potong tiket masing-masing senilai Rp. 200 ribu masih membekas dalam ingatan. Sampai-sampai, Fariz kalang-kabut mencari potongan tiket yang sudah terbuang ke dalam tong sampah kamar hotel untuk disimpan guna mengenang getirnya meraih kedua tiket yang disebutnya diperoleh ‘dengan pertarungan nyawa’. Ah, masak?

Fariz sudah antri di depan loket GOR Bung Karno sejak pukul 12.00 setelah menelepon pengurus GOR menginformasikan penjualan tiket dimulai pukul 13.00. Waktu itu, sudah ada dua baris antrian panjang. Perbincangan selama antrian menyibakkan banyak cerita. Bahkan ada di antara pengantri yang datang jauh-jauh dari Bandung dan antri sejak pukul 10.00 pagi. Namun, ada pula yang sudah miondar-mandir dari Gambir-Senen mendatangi toko Nike yang katanya juga mendistribusikan tiket. Namun, tidak mendapatkan apa-apa di sana karena petugas toko bilang bahwa tiket tersebut belum tersedia.

Kerumunan calon penonton sepakbola yang berjumlah ratusan orang itu semakin tak karuan. Baris antrian tiba-tiba hancur-lebur dan desak-desakan pun semakin keras. Caci-maki yang ditujukan pada pihak panitia dan PSSI saling bersahutan. Botol-botol minuman air mineral pun mulai berterbangan. Suasana semakin tak menentu ketika loket baru dibuka sekitar pukul 15.30 -sementara pertandingan antara kesebelasan Indonesia: Bahrain dimulai pukul 17.00.

Terjadilah tontonan yang mengenaskan mata dan memilukan hati. Setiap pembeli yang sudah mengantongi tiket terpaksa mengigit potongan tiket itu di mulut lalu menaiki pagar besi pembatas untuk merayap memanjati atap bangunan loket yang tingginya sekitar 1,5 meter. Sedihnya lagi, sejumlah calon penonton perempuan juga harus melewati prosesi semacam itu. Sesampai di atap bangunan loket yang lancip, para pembeli harus memeras keringat dan keberanian untuk bisa turun melewati pagar GOR Bung Karno yang dihiasi tiang besi yang runcing menganga.

Merasa miris dan gamang, saya sampai melaporkan kejadian yang sedang berlangsung pada beberapa petugas polisi. Saya hanya meminta mereka agar turun tangan memberi jalan keluar bagi pembeli yang sudah memperoleh tiket. Tapi, para polisi itu langsung buang badan. “Kami tahu persoalan ini. Tapi kami sudah bagi-bagi tugas dengan panitia. Mereka yang menjaga keamanan di sekitar loket. Kami tidak boleh mencampuri tugas mereka,” kata seorang polisi yang menjadi pimpinan regu patroli di kawasan jalan di luar pagar GOR Bung Karno. Saya sangat kecewa sambil terus menonton geliat (calon) penonton sepak bola petang itu. Apalagi Fariz masih terkepung di dalam kerumunan yang saling sikut dan bermandikan keringat. Sementara beberapa bule yang sejak siangnya melihat-lihat kerumunan itu dari jarak agak jauh, kian tak bergeming. Saya tak dapat membayangkan bagaimana Fariz dan para bule itu juga harus memanjati atap bangunan loket yang seumur-umurnya tak pernah dilakukannya.

Selanjutnya, saya hanya bisa berkirim kabar via SMS dengan beberapa redaktur suratkabar nasional yang sudah saya kenal baik. “Ada liputan menarik. Saya lagi menonton para penonton sepakbola petang ini yang harus memanjat bangunan loket untuk mendapatkan sepotong tiket. Luar biasa!” tulis saya,

Tepat pukul 17.00, tiket kelas murah masing-masing Rp. 15.000 dan Rp. 25.000 sudah habis. Sementara pertandingan antara Indonesia melawan Bahrain sudah dimulai yang ditandai teriakan riuh penonton dari dalam GOR Bung Karno. Situasi ini agak mengurangi kerumunan. Ditambah pula, desakan para penonton yang tidak kebagian tiket ternyata merangsek ke pintu masuk dan berhasil membobolnya. Alhasil, saya dan Fariz baru bisa menyaksikan pertandingan sepakbola petang itu setelah 40 menit berlalu.

Persoalan sepakbola Indonesia memang tidak semata urusan teknis dan prestasi bermain. Iklim persepakbolaan harus ditumbuhkan dari budaya para penontonnya. Apa yang selama ini sudah jadi hapalan kita tentang nekatnya para ‘bonek’ -terutama asal Surabaya dan beberapa kota lainnya- telah ikut mempertaruhkan nama baik bangsa dalam dunia persepakbolaan. Belum lagi, huru-hara saat pertandingan berlangsung yang mengakibatkan sejumlah stadion sepakbola tidak diperbolehkan menjadi tuan rumah karena dinilai tidak aman.

Distribusi penjualan tiket yang tidak profesional ini memang makin menjauhkan harapan bagaimana mungkin Indonesia menjadi tuan rumah pesta sepakbola yang lebih besar semisal Piala Dunia atau Olimpiade. Sekadar membanding, saat SEA Games di Chiang Mai, Thailand belasan tahun silam, saya punya sedikit pengalaman untuk mendapatkan tiket. Ternyata, antrian yang teratur di bawah pengawalan ketat para petugas keamanan cukup memberi jaminan bagi penonton untuk menyaksikan banyak pertandingan waktu itu. Semestinya, di depan loket penjualan tiket harus ada petugas keamanan yang menjamin arus pembelian tiket. Tidak dibiarkan serabutan sehingga jalan keluar dari loket harus memanjati tembok dan atap bangunan loket.

Bila suasana seperti ini dibiarkan terus berlangsung, bagaimana mungkin menjadikan stadion sepakbola sebagai sumber pendapatan yang dapat menghidupi klub-klub sepakbola profesional seperti yang sudah diterapkan di Eropa dan Amerika Serikat. Klub-klub sepakbola bergengsi bisa dihidupi dari hasil penjualan tiket setiap pertandingan yang dikelola dengan manajemen dagang yang teruji. Bagaimana pun penonton adalah aset dan pundi-pundi para pengelola stadion di samping iklan dan sponsorship dari perusahaan-perusahaan dan industri besar. Bila penonton tak bisa dimanjakan dalam mendapatkan kemudahan meraih tiket, niscaya tontonan sepakbola yang santun hanya ada dalam mimpi. Jangan-jangan kelak, menonton para penonton sepakbola kita merebut lembaran tiket menjadi jauh lebih menarik dibanding tontonan sepakbola itu sendiri. ***

SENYUMAN TKW DAN PELECEHAN MAJIKAN

Dear All,
Hundred cases of Indonesian workers in abroad especially for woman workers. They got bad experiences with their boss at home and work-place. Really, i was very sadly. This insident must be stop earlier. We need the good regulation of government and good monitoring by Worker Affair Department...We should learn from Philippine Authority to cover their workers in abroad.


SAAT melakukan sa’I dalam perjalanan ritual umroh di Tanah Suci beberapa tahun silam, saya menyaksikan pemandangan yang ganjil namun menarik perhatian. Seorang lelaki Arab yang bertubuh kekar dengan pakaian ihram tiba-tiba memukul dan menendang isterinya di tengah lalu-lalang orang yang beribadah. Sang isteri terpelanting dan terjerembab sambil meraungkan tangisnya. Bayi mereka yang baru berusia kira-kira 2 tahun langsung dirampas lelaki itu dan meninggalkan isterinya begitu saja. Untunglah, sekejap berselang, dua polisi Arab dengan sigap meringkus lelaki dan mengamankan isteri dan bayinya. Tak tahulah bagaimana proses selanjutnya.
Juga tak banyak yang tahu, apa yang menyebabkan lelaki Arab itu bertindak brutal di tengah keramaian dan kekhusyukan orang-orang beribadah. Tapi, Ustadz Roslan pembimbing ibadah umroh kami, yang sudah delapan tahun bermastautin di Arab Saudi, langsung berkomentar singkat: ”Begitulah cara tak terpuji sebagian orang Arab memperlakukan perempuan. Terkesan kasar dan brutal.” Seketika terbayang di benak saya, masa-masa jahiliyah yang tidak beradab, sampai-sampai anak perempuan dikubur hidup-hidup atau disiksa dan dinista lainnya.
Lebih dari itu, kisah nestapa para TKW kita yang berada di mancanegara –termasuk Arab Saudi- ter-refleksi tiba-tiba. Berbagai perlakuan memilukan atas TKW kita menjadi hiasan berita yang tak habis-habisnya. Mulai dari siksaan majikan –disiram air panas, disetrika, tak diberi makan dan minum, kerja paksa, disuruh memakan sisa makanan anjing, tak dibayar upah dan masih banyak modus lagi- hingga perkosaan, pelecehan seksual, dijadikan pelacur atau pemuas nafsu suami atau anak lelaki Sang Majikan. Masya Allah.
Munculnya berbagai kasus yang menimpa para TKW kita cenderung disebabkan faktor personal majikan sendiri. Namun tak kalah pentingnya, faktor kultural yang berkaitan dengan tradisi, adat dan kebiasaan yang berlaku di negara tempat bekerja. Dalam memahami kultur dan antropologi ini akan banyak terkait soal yang sepele. Sebutlah cara duduk, menghidang makanan dan minuman, tersenyum, keramah-tamahan, bertutur-sapa atau menegur majikan yang berlawanan jenis. Kesemua itu amat berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi (communication skill) yang sangat ditentukan oleh pemahaman bahasa. Cross-culture memang selalu membuahkan cultural gap (kesenjangan budaya).
Ustadz Roslan yang memahami benar sistem nilai dan kultur kehidupan orang Arab atas pengamatan dan pengalaman keseharian. Ia langsung menceritakan bagaimana lemahnya pemahaman budaya (kultural) para TKW kita di Arab Saudi. Sebutlah, soal senyuman yang diajarkan di negeri asal sebagai keramah-tamahan. Padahal, di Arab Saudi sendiri, seorang perempuan yang secara mudah memberikan senyuman pada lelaki bisa ditafsirkan punya perhatian. Teori libido seksual Freud langsung secara mudah teraplikasi. Realitas yang banyak ditemukan, betapa banyak TKW kita yang diperkosa atau mengalami pelecehan seksual dari pihak keluarga majikan laki-laki.
Realitas para TKW kita selama ini memang sangat lemah dalam komunikasi khususnya bahasa Inggris yang dijadikan standar internasional. Setiap kali berkesempatan berkunjung di Singapura, saya selalu menyaksikan di pusat perbelanjaan di kawasan Orchard Road, betapa dominannya para TKW asal Filipina yang begitu lancar berbahasa Inggris. Sebaliknya, pada suatu kesempatan chatting di Indonesia Room, saya beberapa kali bertemu para TKW kita di Hongkong dan Taiwan. Waktu diajak ngomong dalam bahasa Inggris langsung mengaku tak bisa berbahasa Inggris. Lalu saya tanya, bagaimana komunikasi dengan majikan? “Ya, pakai bahasa isyarat,” jawab mereka. Saya benar-benar termenung karena bagaimana mungkin mereka bisa bekerja efektif dan berprestasi di mata majikan bila tak mampu menjelaskan secara rinci dalam bahasa verbal.
Kemampuan berbahasa Inggris bisa jadi menjadi faktor penentu dasar bagi para TKW untuk bersaing di luar negeri. Akan lebih baik lagi bila penguasaan bahasa asing milik negara tujuan dapat membekali mereka. Tapi, sulit berharap terlalu banyak dalam soal ini. Sebab, rata-rata TKW kita memang berpendidikan SMA ditambah ketrampilan yang diperlukan saat bekerja di rumah majikan seperti menjadi babby sitter, pembantu rumah tangga atau pelayan toko.
Pengalaman para TKW kita yang dikirim ke negara jiran, Malaysia dengan perlakuan yang memilukan, justru tak hanya menanggung beban perlakuan para majikan. Tapi, oknum pengerah tenaga kerja di tanah air sendiri dengan segala jaringan sindikatnya tak henti-hentinya melakukan pemerasan dan penipuan. Mulai pungutan uang dengan berbagai dalih hingga pemerasan saat dalam perjalanan pergi dan pulang atau dijerumuskan menjadi pelayan seks di tempat-tempat hiburan baik di negeri sendiri maupun di negara tetangga itu.
Pertumbuhan tempat-tempat hiburan di sepanjang pantai timur Sumatera –terutama Batam, Bintan, Karimun, Selatpanjang – dan perbatasan Malaysia-Kalimantan selaras dengan meningkatnya aktifitas trafficking. Sebagian besar para pelayan hiburan di kawasan-kawasan itu mengaku ditipu dengan dalih padamulanya akan dipekerjakan di Malaysia atau Singapura.
Jeritan para TKW kita di perantauan seperti yang dialami Nirmala Bonat di negeri jiran memang tak akan berhenti sepanjang communications skill dan cultural gap tidak dibenahi secara gradual dan sistematik. Kita masih bangga dapat ‘mengeskpor’ TKW dengan pertimbangan punya pasar dan menjadi sumber devisa. Tapi, kurang berkaca dalam hal kerugian im-material yang jauh lebih mahal yakni kehormatan dan harga diri.***

‘SAPI PERAH’ DI KANDANG PENDIDIKAN KITA

Dear All,
Every year, milion people face the critical problem for their children education. Finising the school or class has succesfull story but in same time they come to a big problem especially for the poor family. How do they to choose a good school for their children. I was interest with a controversial book : Orang Miskin Dilarang Sekolah. So, tha'ts seriously problem in our country. The government wish realize the school no charge but the other side, the school authority still take the illegal fee from the parent of students. I just say, there are many bandits in our school authority...Enjoy this article:

RAMAINYA kutip-mengutip illegal di negeri kita bagai sudah menjadi budaya yang sulit dihapus. Kebiasaan itu berlangsung sejak lama dan kini terus diwariskan sebagaimana pola pewarisan. Orang yang pernah dikutip untuk suatu urusan, dipastikan akan mengutip pula saat urusan tersebut berada di tangannya. Tentu saja, soal besaran dan modus kian beragam karena selalu dipikirkan secara pragmatis. Namun yang pasti, kecenderungan meningkat tak dapat dielakkan.

Kutipan-kutipan ilegal itu berlangsung di hampir semua tempat aktifitas kehidupan. Mulai di sepanjang jalan raya, pertokoan, parkir, perkantoran, terminal hingga sekolah, lembaga yang mulia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Bila tindakan kutip-mengutip secara illegal ini berlangsung seru dalam dunia pendidikan, tentu amat membuat gerah hati. Sebab, pendidikan itu memang tugas mulia baik secara sosial-budaya, lebih-lebih lagi menurut agama. Orang yang mendapat sentuhan pendidikan yang sempurna dipercaya dapat menimba ilmu pengetahuan sehingga terhindar dari kebodohan. Dan kebodohan (kefakiran) amat dekat dengan kekufuran (mengingkari keberadaan Allah). Bukankah ajaran agama menyatakan bahwa orang yang berilmu pengetahuan mempunyai kedudukan lebih tinggi dibanding orang yang tak berilmu?

Indonesia sudah mencanangkan Program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun. Artinya, setiap anak-anak Indonesia harus melewati jenjang pendidikan SMP meski di banyak negara sudah mencapai jenjang SMA. Oleh sebab itu, tugas dan kewajiban pemerintah memberikan fasilitas pendidikan murah -layaknya digratiskan- bagi setiap anak-anak Indonesia usia sekolah. Keterbatasan dana pemerintah membangunan sekolah-sekolah negeri mulai dari SD hingga SMA tersebut merangsang munculnya keswadayaan masyarakat untuk mendirikan sekolah-sekolah swasta. Tentu saja, dalam praktiknya, biaya pendidikan di sekolah negeri dan swasta mempunyai perbedaan yang signifikan.

Apalagi, Indonesia yang menjadi bagian dalam program Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan PBB mengharuskan semua anak usia SD dapat menyelesaikan pendidikan dasar universal hingga tahun 2015 mendatang. Program Wajar 9 tahun ini akan mencakup populasi yang cukup besar yakni 40 juta orang anak Indonesia.

Saat-saat penerimaan siswa baru (PSB), tradisi kutip-mengutip ini memang tak terhindarkan. Pengutipan uang dalam jumlah tertentu dengan dalih untuk uang pendaftaran, uang pembangunan, uang bangku dan uang lain-lain seolah-olah dipandang sebagai ‘gengsi’ untuk menaikkan pamor sekolah. Walaupun pada hakikatnya tetap saja untuk meraup dana illegal untuk meningkatkan kesejahteraan pihak sekolah baik secara institusi maupun individual.

Selama musim penerimaan siswa baru (PSB) tahun 2007 ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) Divisi Monitoring menemukan 131 kasus pungutan liar (pungli) di sejumlah kota di Indonesia. Penyebabnya sederhana: tidak ada aturan resmi dari pemerintah yang mengatur PSB. Besaran pungli itu antara Rop. 250 ribu - Rp. 7 juta dengan dalih untuk pakaian seragam, formulir pendaftaran, pembangunan dan lembaran kerja siswa.

Menurut Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, Ade Irawan, pungutan loiar umumnya dilakukan setelah dua bulan proses oleh sekolah. Pasalnya bila dilakukan dalam tahap proses seleksi pengawasan umunya masih ketat. Ternyata, sekolah telah membuat list, daftar besaran biaya yang harus ditanggung murid dan harganya bisa ditawarCelakanya lagi, ada di antara sekolah negeri yang memberlakukan biaya pendaftaran ulang. Seperti yang terjadi di SMAN 61 Jakarta Timur yang mewajiubkan biaya lapor diri sebesar Rp. 409 ribu (iuran bulan Juli Rp. 295 ribu, iuran OSIS Rp. 90 ribu dan koperasi siswa Rp. 24 ribu). Lain pula di SMAN 68 Jakarta Pusat yang mewajibkan siswa saat lapor diri membayar yang Komite untuk bulan juli sebesar Rp. 150 ribu. Di SMAN 1 Bengkulu, wali murid diminta pihak sekolah membayar sumbangan sebesar Rp. 1,35 juta (sumbangan awal Rp. 500 ribu, biaya praktik 3 bulan Rp. 285 ribu, iuran Komite Sekolah 3 bulan Rp. 105.000, OSIS 1 tahun Rp. 90 ribu dan pakaian batik Rp. 130 ribu dan pakaian jurusan Rp. 125 ribu serta pakaian olahraga Rp. 80 ribu). .(Suara Pembaruan, 18/7).

Di SMAN 2 Tambun, Bekasi, wali murid diwajibkan membayar uang pembangunan sebesar Rp. 500 ribu. SMAN 4 Harapan Jaya dikenakan tarif sebesar Rp. 1.598 ribu untuk iuran BP3, buku LKS dan seragam. Lain lagi di SDN Mangunjaya VI yang mengenakan pungutan karena usia anak yang kurang satu bulan dari batas usia minimun dengan besaaran Rp. 100 ribu. Begitu pula di SMAN 8 Karawaci, RAPBS dikenakan Rp. 3 juta. Hal senada diberlakukan di SMN 1 Rp. 750 ribu, SMAN 1 Rp. 2,4 juta, SMAN 2 Rp. 2,4 juta dan SMAN 7 Rp. 1,8 juta.

Di Riau, kutip-mengutip PSB ini tak kalah seru. Sebuah SD Negeri di Tangkerang, Pekanbaru mewajibkan biaya masuk sekolah swebesar Rp. 500 ribu. Sementara di SD Negeri 033 Tampan mewajibkan biaya daftar ulang sebesar Rp. 600 ribu (biaya seragam, buku tulis, peralatan tulis- kotak pensil, penghapus, penggaris dll) serta buku Lembar Kerja Siswa. Uang ini harus dilunasi dalam waktu 20 hari. (Riau Pos,10/7).

Gubernur Riau, HM Rusli Zainal memerintah Kadis Diknas untuk menindaklanjuti informasi adanya pungutan yang dibebankan pada siswa baru.”Jangan ada pungutan apa pun jika tidak ada ketentuan yang mengaturnya,” tegas Rusli.

Hiruk-pikut pungutan liar saat PSB ini bukannya tidak direspons oleh otoritas terkait. Di Surabaya, Komisi D DPRD setempat memanggil tiga Kepala Sekolah masing-masing SMK 8, SMPN 38 dan SMAN 17 untuk mengklarifikasi informasi adanya pungutan liar di sekolah-sekolah tersebut. Sementara di Manado, tiga Kepala Sekolah dari sekolah favorit dicopot oleh Walikota Manado karena terbukti melakukan pungli saat PSB tahun ini. Ketiganya pimpinan SMAN 1, SMK Negeri dan SMPN 8.

Adanya kutipan liar di sekolah-sekolah negeri ini sangat mengiris perasaan karena pemerintah sejak tahun 2005 silam sudah berbaik hati mengucurkan dana Bantuan Opersaional Sekolah (BOS) untuk mengurangi beban orang tua siswa. Bila tahun 2006, besaran dana BOS total mencapai Rp. 10,2 triliun mencakup 41,3 juta anak maka pada tahun 2007 ini meningkat menjadi Rp. 11,8 triliun bagi 41,9 juta anak. Dasar perhitungan dana BOS per siswa per tahun tersebut untuk jenjang SD/ Madrasah Ibtidaiyah sebesar Rp. 235 ribu dan jenjang SMP/ Madrasah Tsanawiyah sebesar Rp. 324 ribu.

Berdasarkan kebijakan Depdiknas, dana BOS tersebut digunakan untuk komponen biaya alat tulis, daya dan jasa, perbaikan dan pemeliharaan, pembinaan siswa, pembinaan, pemantauan, pengawasan dan pelaporan, peralatan, bahan praktek dan keperluan lain-lain seperti rapat pengurus dan kegiatan Komite Sekolah.

Sekolah gratis? Tampaknya hanya bakal jadi lip service saat kampanye-kampanye Pilkada di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota. Begitulah praktik ‘sapi perah’ di kandang pendidikan kita yang tak akan cepat berakhir. ***

ENTERPRENEURSHIP GOVERNMENT

Fakhrunnas MA Jabbar

ENTERPRENEURSHIP GOVERNMENT

SUATU kali saya berkesempatan punya waktu panjang berbincang dengan seorang pejabat penting di pemerintahan. Si pejabat mengeluhkan kinerja aparat kepala dinas/ badan di lingkungan kerjanya. Padahal, jauh hari ketika jabatan strategis itu ditawarkan kepada mereka sudah diikuti target-target yang harus dicapai untuk memperkuat performa pemerintahan. Jadi semacam ‘kontrak politik’yang dibuat dari ke hati sebagai komitmen moral.

Dalam perbincangan itu, tak tergambar jelas bagaimana pertanggungjawaban itu bisa diminta kembali ketika masa jabatan telah dilewati 1-2 tahun. Si Pejabat di posisi puncak ini hanya agak mengeluh karena komitmen-komitmen yang sudah dibuat sebelumnya tak sepenuhnya bisa dibuktikan orang-orang kepercayaannya.

Lantas saya pun mencoba menganalisis kenapa situasi seperti itu bisa terjadi dalam realitas pemerintahan kita. Orientasi pemerintahan kita selalu bukan didasarkan pada kompetensi melainkan senioritas masa tugas dalam kepangkatan di jalur birokrasi. Apabila ada pejabat senior di daerah yang memiliki kepangkatan tinggi setara dengan Eselon II, misalnya, biasanya mau tidak mau diberi jabatan sebagai Kepala Dinas/ Badan sebagai sikap menghargai atau menghormati. Walaupun bidang tugas kedinasan yang dikomandoinya tak ada kait-mengait dengan latar-belakang pendidikan keilmuannya. Misalnya, jangan heran bila jabatan Kepala Dinas Kehutanan dijabat oleh seorang berdisiplin ilmu perikanan atau sarjana ekonomi.

Selain itu, posisi Kepala Dinas/ Badan seolah-olah disetarakan dengan jabatan politis sehingga peneunjukannya boleh jadi sangat disarati aspek-aspek balas budi atau balas jasa. Bisa dimafhumi bila penempatan posisi Kepala Dinas/ Badan di suatu daerah usai proses Pilkada mencerminkan hubungan sebuah lokomotif dengan gerbong. Artinya, ‘kabinet’ pemerintahan di daerah akan sangat ditentukan oleh ‘orang-orang’ yang sehaluan dengan Kepala Daerah.

Politik balas budi inilah yang selalu ‘mencederai’ jalannya pemerintahan baru karena penempatan para pejabat yang lebih didasarkan hubungan emosional belaka. Padahal, dalam tradisi Dinasti Cina masa silam, dikisahkan, apabila seorang raja sudah menempati posisinya maka para tim sukses sengaja dilenyapkan karena suatu ketika akan menggerogoti kekuasaan denbgan alasan minta imbal jasa.

Ada anekdot yang beredar di kalangan birokrat kita terutama di daerah-daerah perihal pengisian jabatan-jabatan penting pemerintahan ini. Sebagai birokrat karir, bukannya tidak ada penjenjangan sekolah atau pendidikan yang harus dilewati. Jenjang pendidikan yang bernuansa kepemimpinan ini dimulai dengan SPAMA (tingkat dasar/ pertama), SPAMEN (tingkat menengah) dan SPATI (tingkat tinggi). Biasanya apabila seseorang sudah meraih sertifikat SPATI ini hanya menunggu sejengkal lagi untuk menempatyi posisi yang pantas dalam struktur pemerintahan.

Alkisah, ada seorang birokrat senior yang sudah bersertifikat SPATI selama belasan tahun, tak kunjung diberi jabatan Kepala Dinas/ Badan. Situasi ini dari ke waktu menjadi siksaan batin baginya karena diperolok-olokkan oleh rekan sekerja yang masih muda-muda pula.

“Pak, SPAMA, SPAMEN dan SPATI saja tak cukup sekarang ini. Masih ada satu jenjang sekolah lagi yang belum Bapak tempuh,” olok teman-teman sekerjanya.

“Ah, sekolah macam apa lagi yang harus saya lewati. Soal kepiawaian dan kepemimpinan, saya siap untuk diuji,” tangkis birokrat malang ini.

“Ternyata jenjang sekolah yang tertinggi itu, bukan SPATI. Sekolah yang masih kurang pada Bapak adalah SPAHAM (baca :sepaham)…” ujar teman-teman mudanya sambil tertawa. Si Birokrat tua ini pun ikut pula tersenyum getir.

Pola penempatan pejabat yang bersifat subyektif itulah yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan birokrasi. Apalagi, pola kerja yang diciptakan tanpa target-target yang jelas dengan dukungan kerja keras dan disiplin yang tinggi. Andai saja, pelaksanaan pemerintahan kita diperkaya dengan pola-pola penjenjangan kepangkatan dan jabatan di perusahaan atau institusi swasta, niscaya tingkat keberhasilan seorang pejabat akan lebih terukur dan profesional. Inilah pola enterpreneurship government yang mestinya menjadi wacana yang perlu diwujudkan.

Perusahaan-perusahaan swasta di era global sudah menerapkan konsep dan target keberhasilan yang benar-benar terukur. Seseorang yang dirpomosi menjadi pimpinan departemen mulai superintendent, manajer, GM (general manager) atau Direktur lebih dulu diberi target besar departemen melalui KPI (key performance indicator). Setelah itu, KPI ini dikerucutkan menjadi balance score card (BSC) yang berisi skoring atas apa yang harus dicapai melalui departemen yang dipimpin bersama staf. Secara personal, pimpinan departemen ini harus membuat kontrak kinerja (performance contract-PC) untuk jangka waktu setahun ke depan. PC ini benar-benar berisi kontrak atas kinerja yang harus dicapai mulai dari aspek finance, costumer satisfaction, succession dan empowering para staf.

Tingkat pencapaian PC itulah yang dijadikan dasar pemberian bonus atau promosi yang dibahas dalam Management Development Review (MDR) yang meneroka setiap pimpinan, staf atau karyawan untuk prospek dirinya ke depan. PC boleh dikatakan semacam rapor yang menjadi pegangan obyektif bagi atasan dalam mempromosikan atau menempatkan seseorang di jenjang jabatan perusahaan. Tentu saja, pertimbangan-pertimbangan aspek kepribadian dan moral menjadi bagian tersendiri yang dibahas dalam MDR tersebut. Hebatnya lagi, proyeksi ke depan seseorang staf sudah terbaca sejak dini sesuai dengan potensi yang dibedah melalui analisis SWOT (strengh, weakness, opportunity dan threat) yang lazim dipergunakan di mana-mana.

Andai saja proses suksesi dalam birokrasi kita menggunakan pendekatan enterpreneurship government (pemerintahan bergaya swasta) ini dapat diterapkan, niscaya tidak diperlukan lagi pemaksaaan ‘kontrak politik’ oleh rakyat di awal kekuasaannya. Sebab, ‘rapor’ yang dikemas di dalam PC tadi secara individual memberikan keleluasaan bagi seorang pejabat untuk mengukur diri dan memposisikan dirinya apakah perlu melanjutkan jabatannya atau lebih baik mengundurkan diri akibat kinerjanya yang buruk.***