Monday, August 20, 2007

Dear All,
On August, 17, 2007 is our Independent Day. This is my opinion abt the meaning of independent for people.
Enjoy it!

KOPI PAGI
Fakhrunnas MA Jabbar

MENJADI MANUSIA MERDEKA

ADA hal menarik ketika rombongan Gubernur Riau, HM. Rusli Zainal saat beranjangsana ke Lembaga Pemasyarakatan Pekanbaru. Di depan Rusli pula, Ruskin Har, mantan Sekretaris DPRD Riau tiba-tiba berucap :”Meski saya berada di sini, tapi saya merasa merdeka!” Sebuah pernyataan yang kaya makna dan bisa jadi memantulkan kesadaran pada banyak orang tentang batasan kata ‘merdeka’ itu, Sejak lama telah diperbincangkan, seperti apakah arti kemerdekaan itu yang sebenarnya?
Tafsiran merdeka boleh dilakukan semua orang sesuai pemahamannya yang paling akrab dengan keberadaannya di tengah kosmik kehidupan. Seorang petani akan berkata bahwa merdeka baginya ketika hasil tanamannya dapat dipanen sesuai musim dan mendatangkan uang banyak kala dipasarkan. Seorang nelayan akan merasa merdeka apabila dia bias melaut menangkap ikan tanpa gangguan badai dan gelombang. Setelah semalaman, nelayan itu pulang bawa hasil tangkapan yang banyak untuk dijual guna mendapatkan uang untuk belanja sehari-hari dan keperluan rumahtangga lainnya. Seorang pedagang baru merasa metrdeka apabila usaha dagangnya memperoleh untung yang besar tanpa adanya pungutan kanan-kiri yang tidak resmi. Seorang pegawai menyebutkan makna merdeka sebagai situasi kerja yang nyaman dengan keseimbangan tugas dan kewajiban hingga awal bulan menerima gaji beserta tunjangan-tunjangan lainnya.
Semua orang terlahir ke dunia untuk menjemput sesuatu yang asasi dalam wujud merdeka itu. Bayi yang baru keluar dari rahim ibundanya langsung meronta dalam berlumuran darah sebagai pernyataan sikap dan perasannya ingin merdeka. Berada dalam kandungan ibunda selama 9 bulan 10 hari –usia kandungan normal rata-rata- dirasakan para bayi sebagai belenggu yang sangat membatasi dirinya. Saat bayi dibedung dengan potongan-potongan kain perlengkapan bayi agar terhindar dari rasa dingin, tetap saja meronta-ronta ingin dilepaskan dari bedungan kain itu. Perjalanan hidup manusia di rumah tangga memang tak terlepas dari upaya pembebasan dirinya dari satu keadaan yang membelenggu ke keadaan merdeka lainnya.
Masa kanak-kanak kala dikenang di usia remaja alangkah indahnya. Tapi, tanyailah semua anak-anak –termasuk diri kita- ketika menjalani masa kanak-kanak tersebut betapa tersiksanya karena dipasung oleh peraturan-peraturan yang dilontarkan para orangtua. Pasungan aturan itulah sesungguhnya menjadi proses alamiah penanaman nilai moral, agamis dan sosial yang harus tumbuh mekar hingga usia tua. Anak-anak yang tidak mengalami proses ini niscaya akan tampil dalam sosok yang kering dan kurang mampu bersosialisasi dengan lingkungannya. Perasaan seperti ini juga terjadi kala seorang remaja cenderung memberontak di batas usia pubertas sebagai pernyataan diri yang merasa sudah dewasa. Pemberontakan jiwa semacam itu sesungguhnya tak lain dari implementasi ingin meraih kemerdekaan jiwa.
Dalam segala hal, merdeka hanya akan muncul apabila seseorang padamulanya merasa tertekan, terjajah atau terbatas ruang geraknya oleh faktor-faktor eksternal di luar dirinya. Seseorang yang hidup tanpa adanya tantangan sesungguhnya akan merasa tidak merdeka. Sebab, tak bakal ada pemberontakan atau nyali untuk merebut sesuatu yang bebas. Kemerdekaan anak-anak di ceruk kampung saat memperebutkn layang-layang terasa lebih bermakna dibanding anak-anak yang terlahir dalam sebuah keluarga kaya-raya yang beroleh segalanya tanpa ada perjuangan sama sekali.
Situasi memperebutkan kemerdekaan dalam wujud kepuasan sangat dirasakan oleh para pemburu satwa atau para petualang alam seperti pendaki gunung, penyelam atau penikmat terjun payung. Apa enaknya bila seorang pemburu melakukan perburuannya di dalam kebun binatang. Atau, seorang penyelam hanya dibolehkan menyelam di akuarium raksasa. Atau pula, seorang penerjun payung tidak dibiarkan terjun bebas tanpa ikatan tali. Konon pula, di usia remaja, anak-anak muda akan merasa tertantang untuk merebut cinta kasihnya dari lawan jenis yang juga diperebutkan para pesaing lain.
Cerita Romeo dan Juliet yang ditulis oleh William Shakespeare tidak akan pernah jadi kenangan banyak orang apabila kisah-kasih di antara keduanya bagai garis datar belaka. Begitu pula, roman Siti Nurbaya karya Marah Roesli yang legendaries itu tidak akan menarik sama sekali apabila Samsul Bahri secara mudah mendapatkan citi Siti. Keberadaan Datuk Maringgih, lelaki tua yang menjadikan Siti sebagai ‘pembebas’ ikatan utang-utang orangtuanya justru menjadi penting untuk mempertegas komitmen perjuangan Samsul Bahri. Siti akan menikmati kemerdekaannya ketika mampu mempersembahkan cintanya yang agung buat Samsul Bahri.
Semua bentuk tekanan atau penjajahan baik secara fisik maupun mental merupakan blessing in disguese (hikmah tersembunyi) yang melahirkan semangat perjuangan untuk merebut sesuatu yang bermakna merdeka. Indonesia yang kini genap berusia 62 tahun sebagai negeri merdeka harus menghadapi tekanan luar biasa saat dijajah 350 tahun oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Kekaisaran Jepang. Nikmat kemerdekaan terasa lebih bermakna bila dibanding tiba-tiba dihadiahkan begitu saja tanpa tumpahan adrenalin dan semangat berjuang.
Tanpa adanya penjajahan Belanda dan Jepang, boleh jadi perjalanan bangsa Indonesia menjadi amat berbeda. Jangan-jangan, adrenalin kaum muda Indonesia masa itu justru akan banyak tercurah untuk menghadapi bangsa sendiri. Jangan-jangan perang saudara akan menjadi solusi untuk menunjukkan bahwa kita punya energi lebih yang terbungkus dalam semangat perjuangan sebagaimana dialami suku-suku asli di pedalaman rimba hingga kini.
Saatnya kita merenung ketika kemerdekaan bangsa dapat diarih dengan segala bentuk pengorbanan namun secara pribadi, boleh jadi, masih ada di antara kita yang belum merasa benar-benar merdeka. Masih ada sekatan psikis yang membelenggunya dan tak pernah dapat ditepis dengan mudah. Sudahkah kita benar-benar menjadi manusia merdeka? Renungkanlah…! ***