Wednesday, January 23, 2008

SI JELITA, PENGGODA INVESTOR

Dear Lovely Reader,

Indonesia has seriously problem related for growing up the economical growth and people welfare. One of economical growth factor is investment development. Many business man and institution doubt to come in to our country caused security problem and corruption issue and high risk. All investments want to get the good facilities such as tax holiday and infrastructure. In my mind, any 4 strategic facilities that investment wishing are: jalan (the way access), listrik (electic), telekomunikasi (telecomunication) and air (water). That way will passionate to all investment for coming...


MENYEBUT kata ‘Jelita’ pastilah imaji semua orang tertuju pada sosok seorang perempuan muda yang molek. Perempuan seperti ini bakal jadi tumpuan dan dambaan hati para lelaki. Ibarat kembang yang mekar bakal selalu dikerubungi banyak kumbang. Para kumbang itu sudah pasti tertarik karena ada sari madu yang ditawarkan kembang secara alamiah.
Dalam pembangunan investasi di mana-mana para investor bakal bersedia datang bila ada daya tarik yang ditawarkan berupa isentif0insentif dan ketersdiaan fasilitas sarana dan prasarana yang mendukung. Sebab, pertumbuhan investasi yang tinggi memiliki korelasi terhadap banyak aspek pembangunan yang dapat ditandai melalui tingkat pertumbuhan ekonomi. Kebijaklan pengembangan investasi yang pas niscaya akan berdampak positif terhadap penekanan angka pengangguran, ketersediaan lapangan kerja dan peluang kerja yang pada gilirannya bermuara pada penekanan angka kemiskinan.
Kebijakan Gubernur Riau, HM. Rusli Zainal yang sejak awal kepemimpinannya mengusung Program K2i (Pemberantasan Kemiskinan dan Kebodohan serta Pembangunan Infrastruktur) patut diacung-jempolkan. Sebab, semua aspek pembangunan infrastuktur semestinya akan mempermudah aspek seluruh masyarakat untuk hidup dan berusaha sehingga ‘musuh’ semua orang berupa kemiskinan dan kebodohan itu dapat ditekan. Kebijakan Pemerintah Provinsi Riau ini semakin bergema dengan motto pembangunan ekonomi yang juga diusung Rusli yakni ‘pro bisnis, pro investasi’. Hal ini begitu menggema ketika digelarnya Riau Investment Summir (RIS), Desember ini.
Apa yang dapat disiratkan dari jargon ‘pro bisnis, pro investasi’ ini tentulah terkait dengan upaya mendatangkan investor sebanyak-banyak dalam membangun Tanah Melayu, Provinsi Riau ini. Riau tentu tak hendak jadi cibiran lirik lagu Kolam Susu-nya Koes Ploes : “..orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat batu dan kayu jadi tanaman..” Sementara, di lopak-lopak bekas pertambangan bukannya kolam susu yang ditemukan melainkan genangan raksasa tempat berkembang-biaknya nyamuk yang mengamukkan malaria dan demam berdarah. Begitu pula, tongkat kayu memang tak bakal jadi tanaman lagi karena kawasan hutan konservasi yang diluluh-lantakkan oleh para penebang liar (illegar logger) yang tak bertanggungjawab karena memang tak punya dokumen perizinan yang sah.
Provinsi Riau memang harus terus dibangun. Trigger yang amat menentukan terkait ketersediaan dukungan modal (investasi) yang besar terkait proyek-proyek besar infrastruktur yang membuka akses dari kawasan-kawasan terisolir selama ini. Oleh sebab itu, diperlukan strategi yang bijak untuk mendatangkan opera investor yang boleh jadi ada di mancanegara atau di dalam negeri sendiri.
Lantas, apa yang dapat menggoda investor datang? Pada hakikatnya, itulah Si Jelita alias jalan, elektrik, telekomunikasi dan air. Ini namanya infrastuktur dasar. Semestinya, para investor datang untuk menanamkan modalnya di suatu wilayah, tak harus pusing lagi memikirkan infrastuktur dasar itu. Seorang kolega saya bercerita bagaimana Pemerintah Arab Saudi sejak beberapa dasawarsa silam saat mengalokasikan kawasan industri telah mempersiapkannya dengan prasarana dasar tadi. Jalan akses, instalasi sumber air bersih, telekomunikasi dan listrik sudah tersedia jauh-jauh hari. Dengan begitu, barulah para investor akan tertarik untuk datang.
Sementara yang banyak terjadi di Indonesia, para investor disambut dengan penuh keraguan terkait aspek kepastian hukum dan kenyamanan berusaha. Dokumen perizinan yang dimiliki pihak industri selalu dengan mudah dimentahkan oleh kekuatan-kekuatan non-hukum atau tekanan social yang luar biasa. Aksi massa berupa demo dan sejenisnya yang tak terkendali dengan motif-motif yang beragam justru begitu mudahnya menihilkan status hukum sebuah industri. Akibatnya, apa yang terjadi saat pabrik sepatu Nike hengkang dari bumi Indonesia beberapa tahun silam justru meninggalkan trauma mendalam bagi semua pihak. Para tenaga kerja yang jumlahnya puluhan ribu orang maupun trauma bagi para investor lain yang sedang berusaha atau pun yang berniat datang.
Iklim kondusif di bidang sosial dan politik benar-benar menjadi kata kunci untuk membukakan pintu bagi kedatangan para investor. Harus ada jaminan hokum dari pihak pemerintah terkait perikehidupan dalam segala aspek sehingga membuat kalangan dunia usaha menjadi nyaman. Hal ini memiliki multiplier effect terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi dalam jangka panjang. Ingat, tak ada suatu daerah pun yang bisa tumbuh dan berkembang tanpa sentuhan investasi. Selanjutnya, tinggal bagaimana menjadikan keberadaan investasi harus berdampak langsung terhadap pengurangan angka kemiskinan dan kebodohan sebagai komitmen nyata dunia usaha mewujudkan ‘tanggungjawab sosial perusahaan’ (corporat social responsibility).
Sekadar membanding, bagaimana negara-negara lain memberikan kemudahaan bagi investor untuk mengembangkan usahanya. Sejumlah negara yang terkatagori sebagai development country seperti Vietnam, Cina dan Brasilia telah menerapkan ‘pro bisnis, pro investasi’ ini secara nyata. Di Vietnam dan Cina, misalnya, para investor diberikan tax holiday selama 6 tahun asal berkomitmen untuk menyerap tenaga kerja tempatan dalam pengembangan investasinya. Di Brasilia, para pengusaha kehutanan justru diberikan hak memiliki kawasan konsesi hutanan tanaman industri (HTI) dengan status hak milik untuk ukuran luas ratusan ribu hektare. Hal ini mereka lakukan senmata-mata untuk mendapatkan kepastian hyukum bagi para investor.
Kondisi social politik Indonesia yang belum kondusif memang telah menjadikan Indonesia di urutan 128 untuk katagori negara yang memiliki kenyamanan berusaha. Ini bermakna, betapa rendahnya nilai jual Indonesia di mata para investor mancanegara. Apa lagi, amat terasa, di negeri ini dunia investasi itu ditempatkan di ‘wilayah abu-abu’: ada saatnya disayang, ada pula saatnua untuk diganyang..Oh…***
Data Otorita Batam, total nilai investasi secara akumulatif sampai April 2007 sebesar 12,76 miliar USD. Jumlah tenaga kerja di Batam 252.667 orang tahun 2006 dengan jumlah penduduk 713.960 orang. Kontribusi pajak untuk pemerintah pusat sebesar Rp. 1,54 triliun tahun 2006

MENZALIMI BANGSA SENDIRI

Dear All Lovely Reader,
There are many tragedy and synicsm situation in our country. A people kill the others by easily caused the light reason. The other side, many people have no appreciation to others. Where is the ethics and norm position which created by religion and custom?
This article is a contemplation about our humanity problem here...



KEGEMARAN MENZALIMI BANGSA SENDIRI

BELASAN tahun silam, saya pernah membaca sebuah berita di suratkabar tentang perkembangan ilmu biologi di AS. Sejumlah ilmuwan berhasil menimbang berat nyawa manusia. Kalau tak salah hanya 0,001 gram. Cara pengujiannya sederhana. Tim peneliti ini menjadikan sebagai obyek. Pasien-pasien itu berada di atas timbangan khusus yang dengan mudah diketahui penurunan berat badannya ketika sudah menghembuskan napas terakhirnya.
Apa makna semua itu? Begitu ringannya berat nyawa seseorang sehingga tragedi kemanusiaan begitu mudah terjadi di mana-mana. Pembunuhan, peperangan, perkelahian atau tindakan saling melenyapkan jnyawa hanya gara-gara persoalan sepele. Sedihnya, pelaku kejahatan kemanusiaan itu tak lain orang-orang terdekat dalam hubungan keluarga atau sekurang-kurangnya bangsa sendiri.
Sudah sejak lama di negeri yang dulunya punya nilai peradaban kemanusiaan yang tinggi tiba-tiba semakin mudah menzalimi bangsa sendiri. Apa yang ditayangan sejumlah TV swasta dari hasil investigasi yang menggunakan hidden camera kamera tersembunyi) tentang pemalsuan berbagai produk makanan, obat-obatan dan komsetika membuat hati menjadi terenyuh dan pilu. Tak ada lagi produk yang tak dapat dipalsukan dengan segala tipu-helah yang tak tanggung-tanggung.
Siapa duga, minuman Aqua dan jenis lainnya yang dijajakan di pinggir jalan besar kemungkinan produk palsu yang tidak higienis sama sekali. Belum lagi, minuman botol atau penganan lainnya yang menggunakan zat pewarna tekstil yang sangat membahayakan kesehatan. Lain lagi, produk kosmetik dan peralatan mandi seperti sampho dan sabun cair yang dibuat serampangan dengan bahan-bahan yang tidak sehat sehingga bukannya makin membersihkan diri tapi justru membuat tubuh kian gatal-gatal.
Belum hilang dari ingatan kita bagaimana penggunakan formalin (zat pengawet mayat) atau zat borax untuk mi basah yang banyak beredar di pasaran. Konon, efek formalin ini terhadap organ-organ tubuh membuat kondisinya menjadi kaku atau berdampak pada munculnya kanker. Belum lagi produk-produk makanan lainnya yang juga disepuh dengan formalin termasuk ikan dan daging yang setiap wkatu di makan secara turun turun-temurun. Akumulasi zat pengawet itu dalam jangka panjang di dalam organ-organ vital tubuh, amat sulit dibayangkan.
Seorang teman sempat berseloroh, kenapa bangsa kita tidak lagi memiliki sensitifitas perasaan yang memberi nilai peradabannya? “Jangan-jangan, hati kita sudah benar-benar membeku karena pengaruh jangka panjang formalin itu. Jangan-jangan pula, hati kita sudah mati alias tak bernyawa lagi karena digerus zat pengawet mayat itu…” kata sang teman.
Dalam beberapa waktu terakhir, negeri kita dihebohkan oleh berita peredaran produk makanan dari Cina yang jelas-jelas mengandung formalin atau zat kimia berbahaya lainnya. Bonbon warna-warni yang biasa dipajang secara menarik di supermarket-supermarket selama ini ternyata ‘monster’ yang setiap saat siap menggerogoti imunitas tubuh terutama anak-anak yang rentang kesehatannya.
Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari hanhya dapat mengimbau agar masyarakat mewaspadai produk Cina. Sebab, dari sekitar 17 ribu produk yang masuk sebagain besar tak punya izin. 70 persen dari bahan baku obat yang masuk ke Indonesia berasal dari Cina. Sayangnya bahan baku itu tak terkontrol oleh Departemen Kesehatan dan BPOM. Penarikan produk Cina bermasalah itu memerlukan dana yang cukup besar pula.
Pemalsuan yang paling fatal justru terjadi dalam dunia obat-obatan yang banyak menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya bila disantap dalam dosis yang berlebihan. Hasil investigasi TV swasta menunjukkan obat-obatan yang tak terpakai lagi, saat dibuang ke tong sampah ternyata dipungut oleh para pemulung yang dijual pada agen-agen pemalsu obat. Bayangkan bila obat-obatan yang sudah kadaluwarsa tiba-tiba diminum oleh orang yang sakit. tentulah bukan kesembuhan yang akan didapat melainkan kematian.
Untuk obat-obat palsu begini, kalau pun ingin dibuat iklan publiknya cukup mencantumkan kalimat begini :”Bila sakit berlanjut, hubungi Dinas Pemakaman..” He he.
Siapa pelaku tindak pemalsuan itu? tak lain adalah bangsa sendiri yang tega menzalimi saudara-saudara dan sanak keluarga serta kerabatnya yang tersebar di mana-mana. Andai saja, anak kandung mereka sendiri yang jadi korban, penyesalan apakah yang dapat diungkapkan karena sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian pengeluaran eh, tak berguna.
Masyarakat sebagai konsumen dari produk-produk konsumtif itu benar-benar tak berkuasa untuk mengelak dari kejahatan-kejahatan pemalsuan yang semakin menggila ini. Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), institusi pemerintah yang bertugas melakukan pengawasan atas perederan obat dan makanan di negeri, nyaris tak bisa menyaingi kecepatan kerja para pemalsu yang kini jaringannya sudah sampai ke mana-mana. Seperti peredaran narkoba dan obat-obat terlarang yang sudah sampai di ruang-ruang kelas Sekolah Dasar.
Begitu pula, inisiatif Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga tak berdaya menghadapi gerakan sporadis para pemalsu obat dan makanan yang tak kunjung berhenti. Sampai kapankah semua ini bisa berakhir? Upaya yang paling nyata hanya dapat dimulai dari rumah tangga. Pengawasan langsung para orangtua amat menentukan untuk mengawasi gerak-gerik yang mencurigakan dari anak-anak yang menjadi korban atau kecanduan obat dan makanan yang berbahaya ini.
Bagaimanakah status hkum dalam agama soal penggunaan bahan pengawet seperti formalin dan sejenisnya? MUI Jateng mengeluarkan fatwa bahwa makanan yang menggunakan formalin, boraks atau pun zat berbahaya haram hukumnya bila dikonsumsi. Kalau sudah merebak ke wilayah spiritual agama ini, dosa sebesar apa lagi yang mesti ditanggung para pemalsu yang menzalimi bangsanya sendiri? ***

Tuesday, January 22, 2008

ROBIN HOOD, HUZRIN HOOD AND ROKHMIN HOOD

Dear Lovely Reader,
Any similar thing between Robin Hood, Huzrin Hood and Rokhmin Hood. Robin was a hero for his people caused his hard co

ROBIN HOOD, HUZRIN HOOD, ROKHMIN HOOD,

MASIH ingat Robin Hood? Tokoh legendaris yang suka mencuri dan menjarah harta orang-orang kaya dan membagi-bagikannya pada orang-orang miskin. Fenomena Robin Hood ini memang sempat ‘meracuni’ paradigma kebajikan yang semestinya harus bersumber dari sesuatu yang bersih dan akuntabel. Manalah mungkin ‘membersihkan’ sesuatu dengan menggunakan air yang kotor. Namun, pendapat yang berbelah itu pun seolah-olah bisa ‘memaafkan’ perangai Robin ‘Si Pangeran Maling’ ini karena dibalik kejahatan yang dilakukannya terkandung niat untuk membantu orang-orang yang tak beruntung dalam hidupnya. Pendapat ini tentu saja ingin menepis anggapan bahwa penjahat pun sebenarnya masih punya hati nurani untuk berbuat baik kepada orang lain.
Di Indonesia, fenomena Robin Hood bak dikait-kaitkan dengan dua tokoh publik yang tersandung kasus hokum tindak korupsi. Tokoh pertama, Huzrin Hood –ini nama yang sebenarnya- mantan Bupati Kepulauan Riau yang berjasa dalam memperjuangkan Provinsi Kepulauan Riau namun didakwa tidak bisa mempertanggungjawabkan dana bantuan LSM yang nilainya miliaran rupiah. Konon, dana fiktif itu dipergunakan Huzrin untuk membiayai perjuangan mewujudkan Provinsi Kepulauan Riau. Bila dilihat modus Huzrin ini hampir senada dengan apa yang pernah diperbuat Robin Hood dalam kapasitas dan kualitas yang berbeda.
Tokoh kedua, Rokhmin Dahuri, Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang tersandung kasus Dana Non Bujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP senilai hampir Rp. 35 miliar. Konon, berdasarkan pengakuan Rokhmin, Dana DKP itu ‘dibagi-bagikan’ kepada sejumlah Capres 2004 atau Tim Suksesnya. Rokhmin justru menyebutkan angka-angka rupiah yang sudah didistribusikan dengan nilai yang bervariasi. Apa yang dilakukan Rokhmin, di mata pendiri Partai Uni Demkrasi Indonesia (PUDI), Sri Bintang Pamungkas punya analogi dengan Robin Hood sehingga patut digelar sebagai ‘Rokhmin Hood’ pula.
Dalam sejarah peradaban umat manusia, memang selalu ada ‘martir’ untuk memperjuangkan nasib rakyat banyak. Para pahlawan bangsa pada hakikatnya merupakan martir yang telah merelakan dirinya untuk eksistensi suatu negara dan bangsa. Martir selalu saja muncul untuk suatu komunitas dalam skala yang berbeda-beda. Kedalaman kualitas martir ini sangat ditentukan oleh ketulusannya dalam berkorban.
Ketulusan Robin Hood sebagaimana selalu digemakan dalam legenda yang diceritakan secara turun-temurun, tentu saja memiliki nilai ketulusan yang luar biasa. Harta benda yang dicuri dan dijarahnya sepenuhnya dia gunakan untuk kepentingan rakyat miskin. Oleh sebab itu, ketokohan Robin Hood secara global dipandang sebagai kepedulian yang tulus dalam mengangkat harkat dan martabat orang-orang tak berpunya. Kebajikan Robin benar-benar mampu menenggelamkan kejahatan yang dilakukannya dalam mendapatkan harta-benda yang disumbangkannya itu.
Huzrin dan Rokhmin memang tak mungkin disamakan dengan Robin Hood. Masih banyak parameter tindakannya yang perlu ditelisik apakah benar semua hasil korupsi yang dituduhkan padanya dipergunakan sepenuhnya untuk perjuangan rakyat banyak. Meski publik semakin tahu bahwa setidak-tidaknya sebagian dari tindak korupsi yang ditengarai dilakukannya telah dipergunakan untuk’bagi-bagi’ rezeki pada pihak lain. Perjuangan keras Huzrin bersama tim suksesnya, misalnya untuk mewujudkan Provinsi Kepulauan Riau di masa lalu tentulah sangat ditopang oleh dukungan dana yang sangat besar. Boleh jadi, sebagian dana APBD yang dikelolanya telah dialihkan untuk kepentingan perjuangan yang kelak inikmati oleh rakyatnya. Tapi jalan cerita perjuangan menuju Provinsi Kepri ini ternyata menemukan realitas lain: Huzrin dituduh melakukan tindak korupsi dan harus mendekam di dalam penjara. Bagi sebagian rakyat Kepulauan Riau, tentulah Huzrin telah jadi martir yang jasa-jasanya patut dikenang.
Lain pula kasus Rokhmin Dahuri. Rokhmin ditengarai telah melakukan tindakan melawan hokum karena menghimpun dana non-bujeter dari para rekanan yang berurusan melalui departemen yang dipimpinnya. Lebih dari itu, dana non-bujeter tersebut ternyata telah dipergunakan untuk keperluan yang tak terkait langsung dengan misi DKP. Bahkan, secara terus terang, Rokhmin dalam kesaksiannya di pengadilan justru menyatakan sebagian dana itu –antara Rp. 20 juta-400 juta) telah dibagi-bagikan kepada kandidat Capres tahun 2004 baik langsung atau pun tidak langsung mulai dari Amien Rais, Megawati, SBY hingga Solahuddin Wahid.
Bagi sebagian orang, keterus-terangan Rokhmin dalam mendedahkan aliran dana DKP dengan menyebut sejumlah nama besar yang telah menikmatinya dapat dipandang bagaikan jurus ‘drunken master’ (pendekar mabuk). Arah bola yang digelindingkan Rokhmin benar-benar tak menentu. Apa yang ada dalam pikiran Rokhmin boleh jadi amat berbeda dengan wacana publik. Sebab, dalam kasus-kasus suap atau sogok yang melibatkan pemberi dan penerima suap tersebut, selalu sulit mendapatkan barang bukti. Mana ada oknum penerima suap atau hadiah sekali pun yang secara sukarela bersedia menandatangani tanda terima. Semua ini terjadi atas dasar konspirasi besar yang dibungkus oleh kepercayaan semua di antara kedua pihak.
Dalam situasi darurat, distribusi ‘dana haram’ secara konstitutif seperti dana DKP terpaksa dikuak selebar-lebarnya. Maksudnya agar publik menjadi mafhum bahwa uang tersebut justru tidak dinikmati sendiri sehingga trigger kasusnya tak tertuju pada Rokhmin sendiri. Tindak korupsi berjamaah tentulah mempunyai makna sosilogis ketimbang korupsi yang dinikmati sendiri. Mungkin boleh dikatakan, modus membagi-bagi uang korupsi pada banyak pihak sebagai benatuk ’money laundry’ secara sosial.
Betapa pun ada perbedaan-perbedaan antara skandal Robin Hood, Huzrin Hood dan Rokhmin Hood ini, biarlah hukum yang menetapkan kebenarannya dalam konteks duniawi. Sedangkan dari aspek ukhrowi dan spiritual, serahkan jasa pengadilan Tuhan yang akan menetapkan keberadaannya sebagai konsekuensi pertanggungjawaban secara individual. Bukankah setiap pemimpin haus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya pada suatu hari kelak. Robin, Huzrin dan Rokhmin tentulah telah menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan orang banyak yang telah memberikan kepercayaan padanya saat mendapatkan amanah jabatan yang diembannya.***

mmitment to help them. Although, he was a thieft

MELANGKAH PASTI KE DEPAN

Dear All,
Every New Year, all people will make the evaluation with their performance while to show their new commitment to become the best one in next year.
Moving forward...congratulations
Happy New Year 2008
KOLOM

MELANGKAH PASTI KE DEPAN, MENOLEH JUGA KE BELAKANG
PERGANTIAN waktu selalu ditandai dengan perubahan tekad dan semangat. Momentum itu sering pula dijadikan sebagai tonggak baru dalam kehidupan. Bila pergantian tahun dalam seumur hidup kita sudah berlangsung puluhan kali, cobalah hitung sudah berapa banyak tonggak yang sudah dipancang di ranah bermain di taman kehidupan ini.
Tak terasa, dalam beberapa hari terakhir di awal tahun 2008 ini terdapat dua momentumpergantian waktu yang amat penting. Pertama, datangnya Tahun Baru 2008, mulai 1 Januari yang ditandai dengan pesta kembang api dan pendedahan renungan demi renungan yang memberikan penyadaran akan arti penting waktu. Kedua, Tahun Baru Islam, 1 Muharam yang ditandai dengan perayaan dan keramaian yang bernapas Islam dengan semangat kebersamaan, kesederhanaan dan ketulusan.
Betapa pentingnya arti waktu bagi setiap orang. Ajaran Islam sejak lama telah mengingatkan setiap orang bahwa waktu dikiaskan dengan banyak hal. Ada kiasan berbunyi: waktu adalah pedang, siapa yang lengah dengan waktu akan terpancung sendiri. Bahkan dalam Al Quran terdapat sebuah surat tentang waktu yakni Wal Asyri (Demi Masa).
Andai kita hubungkan bekas telapak kaki yang sudah dilangkahkan selama setahun, berapa panjang lintasan yang terbentang di depan kita. Setiap bekas telapak kaki itu menyisakan kenangan demi kenangan yang boleh dicatat atau dibuang begitu saja. Tentulah kenangan yang baik patut dipajang agar menjadi tonggak prestasi yang perlu ditingkatkan di masa depan. Begitu pula,kenangan buruk perlu dijadikan cermin agar di masa depan tidak terulang kembali.
Waktu telah merangkai kenangan demi kenangan di dalam hidup kita. Tak ada seorang pun yang bisa terlepas dari momentum kenangan itu. Berbahagialah orang yang memiliki kenangan manis sepanjang hidupnya. Dan betapa tidak beruntungnya orang yang didominasi oleh kenangan-kenangan buruk belaka.
Namun, Tuhan dengan segala Maha-Adilnya selalu memberikan keseimbangan kenangan baik dan buruk pada diri seseorang. Di antara kenangan seperti itulah semua orang berupaya untuk memperbanyak kenangan baik agar hidupnya bisa lebih bermakna
Kenangan baik biasanya akan memberikan motivasi yang lebih tinggi dalam mencapai prestasi yang gemilang. Ada hal-hal yang kurang tentu perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Sebab, tak ada orang yang ingin merugi sepanjang hidupnya karena ketidak beruntungan belaka.
Dalam hal ini, Rasulullah sudah men egaskan bahwa orang yang hari ini nasibnya lebih buruk dari hari kemartin adalah orang-orang yang malang. Sementara orang yang nasibnya hari ini dan kemarin sama, itulah orang-orang yang merugi. Sedangkan orang yang nasibnya hari kemarin lebih baik dari hari ini, itulah orang yang beruntung.
Semua orang pastilah ingin menjadi orang yang beruntung. Dan untuk menjadi orang yang beruntung itu diperlukan tekad dan kerja keras sepanjang masa. Bukankah, hidup ini memang hanya tersedia buat orang-orang yang bekerja keras karena hidup hanya bisa berubah dengan tindak nyata. ***

ADA APA DENGAN ILLEGAL LOGGING RIAU?

Dear All,
Suddenly, Illegal Logging issue in Riau became a biggest case related the forestry indsutry in Indonesia. Why?


ADA APA DENGAN
ILLEGAL LOGGING RIAU?

ISU pemberantasan illegal logging di Riau bagaikan banjir bandang yang lambat surut. Banyak pihak yang kini tersadai dan terapung-apung di tengah gelombang ketidakpastian penegakan hukum dalam penyelesaian kasus itu. Semua pihak terkait merasa paling benar karena didukung argumentasi masing-masing yang dapat dipertanggungjawabkan. Situasi ini menjadi berlarut-larut karena tak ada persepsi yang sama dalam menengahi kasus yang melebar di tataran dan wacana nasional. Bahkan, isu ini menggelinding jauh bernuansa global di tengah dunia sedang kemaruk memikirkan pemanasan global dan perubahan iklim.
Tentu saja, banyak dampak yang menyertai aksi pemberantasan illegal logging yang banyak memakan waktu, memakan korban dan terganggunya aktifitas kehidupan banyak orang yang selama ini menggantungkan harapan hidupnya pada sumberdaya hutan. Secara nasional, kebelum-jelasan akhir aksi penyelamatan hutan ini akan berdampak langsung terhadap citra negatif Indonesia di mata dunia internasional. Apalagi, Conference of Party (COP) XIII di Bali yang baru berlangsung bulan Desember tahun lalu benar-benar mengangkat tema Perubahan Iklim dan Pemanasan Global (Climate Change and Global Warming) diikuti 10 ribu orang, justru memerlukan tindak-lanjut butir-butir yang terkandung di dalam Road Map of Bali. Semua isu tersebut menjadi momen menentukan dalam menempatkan Indonesia dalam kontribusi dan konstelasi kerusakan lingkungan dalam skala internasional.
Selain itu, haru-biru aksi pemberantasan illegal logging yang terkesan kurang terkoordinasi secara harmoni ini juga berpengaruh langsung terhadap iklim investasi. Banyak kalangan investor mancanegara yang bakal berpikir dua kali untuk berinvestasi di negeri yang diagungkan sebagai jamrud khatulistiwa atau ‘sepotong surga’ di dunia ini. Investasi jangan hanya dipandang sebagai pemasukan devisa belaka. Lebih dari itu, investasi yang besar akan memiliki multiplier and snow ball effect bagi memacu laju pertumbuhan Indonesia. Secara langsung, investasi juga bakal menekan angka pengangguran dan mengurangi kemiskinan.
Secara holistik, hutan diciptakan Allah Yang Maha Kuasa tentulah untuk kesejahteraan umat manusia. Apa gunanya hutan yang lebat tapi tidak bermanfaat bagi miliaran orang di seluruh belahan dunia. Oleh sebab itu, manusia sebagai 'khalifah fil ard' (pemimpin di muka bumi) yang telah dibekali akal dan pikiran, harus dapat memanfaatkan seluruh potensi sumberdaya alam termasuk hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Adanya sistem sosial yang mengatur hubungan antar manusia dengan Maha Pencipta dan lingkungan, memungkinkan alam terkembang ini dibagi secara proporsional agar memberikan manfaat bagi kehidupan. Oleh sebab itu, kawasan hutan yang terbentang luas dengan segala kelengkapan ekosistem flora, fauna, tanah,.air dan udara mestilah dibagi-bagi secara proporsional menurut fungsi dan kegunaannya.
Di Indonesia, kawasan hutan diamanahkan kepada Departemen Kehutanan dan Lingkungan Hidup agar ditata secara bijak yang telah melahirkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) secara nasional. Selanjutnya kebijakan ini diimplementasikan dan dikoordinasikan melalui Tata Ruang Provinsi dan Kabupaten(RTRWP/RTRWK). Penanganan masalah ini dilakukan para pejabat yang berkompeten. Semestinya, tiadak ada pihak yang meremehkan kapasitas dan kemampuan para pejabat di Departemen tersebut dalam mengelola kawasan hutan agar tetap lestari bagi masa depan kehidupan manusia Indonesia. Bukankah Rasulullah pernah mengatakan: serahkanlah segala sesuatu pada ahlinya. Kalau tidak, tunggulah kehancurannya.
Ketika Dephut mengeluarkan izin pemanfaatan kawasan hutan dengan pola-pola yang sudah dipertimbangkan secara profesional seperti Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) dan sebagainya, harus dipandang sebagai sebuah keputusan normative yang memiliki kekuatan hukum yang menjadi landasan berpijak semua pihak terkait di bidang industri dan usaha yang berbasis kehutanan.
Munculnya gebrakan pemberantasan illegal logging yang dilakukan pihak aparat hukum kepolisian memang patut diacung-jempolkan. Tapi sayang, pendekatan yang dilakukan tampaknya kurang terkoordinasi dengan institusi yang berkompeten yakni Departemen Kehutanan. Malah, ironisnya, Menteri Kehutanan, MS Kaban yang sangat gencar melakukan aksi pemberantasan illegal logging sejak awal kepemimpinannya justru menghadapi arus balik yang tak terduga-duga. Kaban tiba-tiba jadi sasaran tembak untuk dijadikan sebagai tersangka pelaku illegal logging. Padahal, publik tahu bahwa Kaban sejak awal kepemimpinannya di Dephut amat gencar mempertanyakan kelanjutan proses hukum para tersangka pelaku kejahatan kehutanan yang dilakukan aparat kepolisian namun tak jelas kelanjutannya.
Selanjutnya, Gubernur dan sejumlah bupati di Riau bakal diseret sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan dan keputusan pemanfaatan sumber daya hutan yang patut dijajal ke meja hijau. Muara akhir dari bidikan senjata hukum terhadap isu illegal logging ini tak dapat dielakkan akan melibatkan sejumlah dunia usaha yang bergerak di bidang kehutanan.
Tidak samanya persepsi tentang definisi illegal logging antara pihak kepolisian dan aparat kehutanan, membuat makin runyamnya penuntasan kasus pemberantasan illegal logging ini. Sementara sejumlah industri di bidang kehutanan seperti perusahaan pulp dan kertas yang telah berkontribusi bagi negara berupa devisa, pajak dan retribusi serta menampung ratusan ribu tenaga kerja baik langsung maupun tak langsung, meski sudah punya legalitas perizinan dan dokumen, tiba-tiba menjadi stagnan karena belum adanya kepastian hukum yang tegas terkait isu yang menjadi salah satu focus pemerintahan Presiden SBY ini.
‘Kebuntuan’ proses hukum pemberantasan illegal logging ini yang padamulanya amat bernuansa teknis tiba-tiba berpindah ke domain politik. Semua orang tahu, bila hukum didekati secara politik dipastikan akan melibatkan kekuasaan yang tak habis-habisnya. Lihatlah, sekarang, Presiden SBY menugaskan Menko Polkam untuk memimpin Tim Pemberantasan Illegal Loggng Riau yang bermakna ada kesan ‘ketidakpercayaan’ atau sikap terlalu berhati-hati terhadap proses hukum yang sudah dilakukan sebelumnya. Bahkan Presiden SBY juga tak tanggung-tanggung telah meminta institusi penting sekaliber Lemhanas utuk mendapatkan 'second opinion' tentang hasil dan masukan semua pihak yang telah bekerja keras dalam menghimpun data dan informasi terkait fenomena kasus illegal logging Riau.
Apabila pandangan lebih ditukikkan, patut kita bertanya kenapa hanya Riau yang dijadikan 'kelinci percobaan' kasus illegal logging di Indonesia. Sementara, maraknya kasus illegal logging tak kalah serunya dibanding apa yang terjadi di Papua, Kalimantan, Jambi atau Sumut. Sudah begitu 'manis'kah kawasan hutan Riau hingga dikerubuti banyaki 'semut' yang ingin mencicipi rasa manis hutannya?
Tuduhan praktik illegal logging yang ditujukan pada banyak perusahaan dan tuduhan kekeliruan oleh pihak pemerintah melalui departemen teknis terakit dalam mengeluarkan izin pemanfaatan suberdaya hutan, memang harus disikapi secara bijak dan tidak sembrono. Dephut bersama dinas-dinas terkait telah melakukan tugasnya dengan mengedepankan asas normative berpatokan pada peraturan dan perundang-undangan. Kalau pun ditemukan ada cacat celanya mestinya harus dibedah dengan 'pisau' hukum yang berorientasi pada kesalahan tindakan administratif. Lain halnya bila perusahaan kehutanan itu melakukan penebangan hutan di kawasan yang tidak berizin atau kawasan hutan yang peruntukannya bagi kelestarian lingkungan hidup atau konservasi. Bila hal ini tetap dipaksaan dengan pendekatan pidana semata niscaya akan memunculkan polemik hukum saat diajukan ke pihak kejaksaan dan pengadilan baik di PN, PT dan MA.
Kita memang masih harus belajar banyak dalam menyikapi kasus pemberantasan illegal logging ini bila ingin mendapatkan kepastian hukum yang didukung oleh semua pihak . Tak ada keputusan hukum yang bersifat mutlak karena keterbatasan manusiawi para penegak hukum secara personal yang mesti diuji dengan obyektifitas yang paling mendekati kebenaran. Jangan biarkan ironi pemberantasan illegal logging menjadi permainan di mata publik, agar keputusan hukum mempunyai wibawa sebagaimana mestinya.***

GURU

Dear All Lovely Readers,
Remember the teacher, remember to Omar Bakri of Iwan Fals song. There are many people were be sadly..but a bit people wanna do to grow up their welfare..

GURU, PAHLAWAN TANPA TANDA-TANDA?

SAYA termasuk orang paling sedih apabila ada sahabat atau orang lain memperkenalkan seseorang sebagai "ini bekas guru saya". Pasalnya, dalam soal guru, tak ada bekas guru apalagi guru bekas. Sebab, ilmu yang diajarkan guru sejak masa muda dulu selalu saja dibawa. dikembangkan dan diwariskan dari masa ke masa. Ilmu berhitung yang kita dapatkan dibangku SD dulu tetap saja menjadi titik pangkal yang menjadikan kita pintar menghitung secara matematik atau statistik. Ilmu aerodinamik yang dikembangkan seorang BJ Habibie tetap saja berpangkal pada hitungan dasar 1+1 didapatkannya lewat guru kampung yang diimajinasikan sebagai 'Oemar Bakri',
Persoalannya, sejak dulu hingga kini, nasib guru tak banyak berubah. Sindiran, cacian dan makian tetap ditujukan pada pemerintah sepanjang masa, namun keberadaan guru nyaris 'jalan di tempat'. Kita masih sering membaca di media bagaimana guru yang berprofesi mulia mencerdaskan kehidupan bangsa masih banyak yang bekerja menjadi tukang ojek, supir oplet, kernet angkot petugas cleaning service atau profesi di jalur 'grass root'. Meski sering kerja gambahan itu dapat menjatuhkan kewibawaannya sebagai orang yang terpandang di tengah masyarakat.
Tapi guru memang manusia biasa. Realitas hidup yang mesti dihadapinya untuk menyambung kehidupan keluarga, membuat dirinya harus mampu bertahan. Guru yang tak kuat memghadapi cobaan hidup dapat dipandang sebagai orang yang tak pantas gagal dalam hidupnya .Sebab, semua guru dalam pandangan publik nyatanya dianggap sebagai orang cerdas.
Dalam Puncak Nasional Hari Guru di Pekanbaru, belum lama berselang, yang dihadiri Presiden SBY, ribuan guru dari berbagai daerah di tanah air, boleh terhibur. Sebab, Presiden SBY juga memakai baju seragam guru denganm warna dan corak yang khas. Tapi setelah upacara usai, para guru yang sempat bertepuk ria bersama para petinggi negeri ini, selalu kembali ke habitatnya dengan rasa gundah gulana. Selalu ada kecemasan yang menyelubungi dirinya ketika menghadapi realitas hidup sehari-hari, mulai persoalan kekurangan uang belanja, uang sekolahanak-anak atau utang-piutang yang melilit pinggang. Siapakah yang peduli akan nasib mereka?
Di masa lalu, Presiden Soeharto yang berkuasa di masa Orde Baru selama 32 tahun sempat memberikan gelar kehormatan bagi para guru dengan sebutan 'Pahlawan Tanpa Tanda Jasa'. Gelar ini terkesan amat ironis dan memperlihatkan aroma kurang ikhlas. Bagaimana mungkin,.seorang yang dipandang berjasa tetapi tidak mendapatkan 'balasan' atas sumbangan dan pengorbanannya. Dalam dunia bisnis amat kental prinsip 'reward and punishment' yang selalu menjadi pagar dan morivasi bagi karyawan yang bekerja dengan menjunjung prestasi dan reputasi.
Profesi guru hari ini ternyata tak hanya sekadar 'Pahlawan Tanpa Tanda Jasa' tetapi lebih tersuruk lagi sebagai 'Pahlawan Tanpa Tanda-tanda' Profesi guru bagaikan kuburan massal yang tak bertanda apa-apa. Terasa ada tetapi tak jelas sosok bayangnya karena tenggelam dalam lindasan perputaran sejarah zaman.
Padahal, di negeri orang, profesi guru begitu mulianya dan ditempatkan istimewa bersama profesi-profesi lain. Kita masih ingat bagaimana apresiasi Kaisar Tenno Haika di Jepang,.saat bom atom di Nagasaki dan Hoiroshima dijatuhkan pihak sekutu pada Perang Dunia II, di saat genting masih mencoba bertanya berapa jumlah guru yang masih tersisa? Begitu pula di negeri jiran, Malaysia, profesi guru justru memperoleh pendapatan dan penghasilan yang tinggi sebagai apresiasi pemerintah terhadap tugas mulia guru.
Di Indonesia, nasib guru masih menimbulkan tanda tanya. Tak banyak kisah sukses para guru di negeri ini yang dapat memberi motivasi pada generasi berikutnya agar bercita-cta jadi guru. Akibatnya, profesi guru di negeri ini belum punya nilai jual yang tinggi. Anehnya, kebijakan pemerintah yang membuka-tutup-buka Fakultasd Keguruan dan Ilmu Pendidikan, makin memurukkan posisi guru.Banyak ironi yang muncul, satu sisi, kita mengalami kekurangan tenaga guru tapi di sisi lain para guru honor di desa-desa tak jelas status dan nasibnya.
Lantas, terjadilah pemandangan yang tak menarik pandangan mata: di mana-mana para guru berdemo, turun ke jalan untuk memperjuangkan nasib hidup mereka. Semakin lama demo berlangsung maka semakin berkurang pula penmghargaan puib;lik atas profesi guru yang semestinya dipandang mulia itu.
Guru yang miskin secara materialistis dipastikan akan berpengaruh pada kualitas keguruannya. Tak mungkin seorang guru yang masih bergulat memenuhi 'basic need'nya akan dapat membuat satuan acara pelajaran (SAP) sebagai bahan persiapan mengajar, pemenuhan syarat silabus dan penyiapan alat peraga dengan baik.
Akibatnya, guru tak lebih dari sebuah profesi yang serba bekekurangan dalam hidupnya. Jangan heran bila minat anak-anak muda menjadi guru terus menurun dari waktu ke waktu. Bila hal ini terus berlangsunmg lama maka niscaya di suatu saat nanti akan terjadi 'krisis guru'. Sulit dibayangkan apabila kaderisasi guru akan mengalami stagnasi.
Mari tenungkan lirik lagu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang terasa manis dikumandangkan, sejak dinyanyikan tapi sakit bila direfleksikan pada realitas hidup:

terpujilah wahai engkau, para guru kami
Dirgahayu Hari Guru.+++

DONGENG RAKYAT

Dear Lovely Reader,
Once more, the biggest hope for our legislative member...
KOLOM

DONGENG RAKYAT
Oleh Fakhrunnas MA Jabbar


Di Kerajaan Barantaka hiduplah ribuan rakyat di bawah kepemimpinan seorang raja yang suka berkuasa sewenang-wenang. Merasa diperlakukan tidak adil, maka pemuka-pemuka rakyat berhimpun dan akhirnya membentuk lembaga Rakjat Jelata (Raje) yang bertugas menyalurkan aspirasi dan perjuangan rakyat. Padamulanya Sang Raja tidak menerima kehadiran lembaga tersebut, namun setelah adanya masukan-masukan dari para stafnya, keberadaan lembaga tersebut diakui juga. Mulanya, Laraje sangat kritis dan tajam dalam menyikapi kebijakan-kebijakan kerajaan. Beberapa tahun kemudian, Laraje mulai kehilangan taring setelah raja menemukan ‘formula baru’ dengan memberikan fasilitas dan kemudahan bagi petinggi dan anggota BPR.
Selain itu, Raja pun membuat tradisi baru dengan menghadiahkan minuman khas organik bagi semua anggota Laraje yang katanya berfungsi meningkatkan stamina tubuh dan vitalitas kerja. Minuman khas itu sengaja diciptakan oleh Kepala Tabib Kerajaan yang sangat piawai. Bertahun-tahun hal itu berlangsung sehingga semua anggota Laraje benar-benar tersugesti dan memperlihatkan stamina tubuh yang luar biasa. Ajaib, semenjak tradisi baru itu berlangsung, para anggota Laraje memang semakin kehilangan sikap kritisnya.
Rakyat mencium adanya kolusi terselubung antara raja dengan Laraje sehingga terjadilah unjuk-rasa rakyat secara besar-besaran. Unjuk rasa yang berujung pada amuk massa itu menguasai dan merusakkan Istana Raja dan gedung perkantoran termasuk gedung Laraje. Sebagian anggota Laraje ada yang tewas terinjak-injak namun masih ada pula yang melarikan diri. Kemarahan dahsyat rakyat itu telah menumbuhkan sifat kanibalis dalam diri mereka sehingga tubuh anggota Laraje yang mati itu dirobek untuk mengambil bagian hatinya. Alangkah terkejutnya merka ketika akan mengunyahnya, hati itu begitu keras sekali Hampir semua hati para anggota Laraje benar-benar mengeras bak batu.
Usai amuk-massa itu, pergunjingan pun berkembang di seluruh keajaan soal ‘hati batu’ para anggota Laraje. Ketika kasus ini ditanyakan pada Kepala Tabib Kerajaan, diperoleh jawaban yang menggelikan. “Tepat sekali., hati yang membantu itu memang disebabkan minuman hasil ramuan khas yang bertahun-tahun diminum oleh para anggota Laraje. Raja menginginkan agar mereka benar-benar kebal perasaan…” kata Kepala Tabib Kerajaan.
Seluruh rakyat di Kerajaan Barantaka itu benar-benar tersulut marah kembali setelah menyadari betapa para anggota Laraje sudah kehilangan sensitivitas atas setiap kebijakan yang dibuat Raja. Kepercayaan yang semula begitu penuh diberikan kepada perwakilan mereka serta-merta dicabut secara sepihak. Laraje pun dibubarkan dan tak diakui lagi.
Dongeng rakyat ini boleh terjadi di mana dan kapan saja. Wakil rakyat yang dipilih secara demokratis-langsung semestinya benar-benar mengemban amanah rakyat yang diwakilinya agar selalu mendapat dukungan dan simpati. Apabila amanah itu telah dilencengkan, niscara dukungan itu akan tercabut sendiri dan mereka tak akan dihargai lagi.
Ramai-ramai soal PP 37/ 2006 yang terlalu berpihak pada kepentingan para wakil rakyat di negeri ini mencerminkan kekurang-arifan baik pihak eksekutif maupun legislatif. PP tersebut jelas merupakan produk pemerintah dan manfaatnya bagi para wakil rakyat. Secara kasat-mata, semua orang bisa melihat adanya upaya ‘main mata’ atau kolaborasi antara kedua pihak agar tidak saling mengkritisi. Padahal, pemerintah tahu persis banyak kejanggalan atau kekurang-patutan atas diterbitkannya PP tersebut. Misalnya, pemberian rapel tunjangan protokoler dan komunikasi sebagai konsekuensi berlaku surutnya PP. Ini tak lazim dilakukan untuk urusan begini. Belum lagi, tudingan banyak pihak, PP tersebut seolah-olah melegalkan tindakan korups bagi kalangan legislatif di tengah suasana negeri ini ingin berbenah diri dan ‘bersih-bersih’ dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Lebih dari itu, PP tersebut muncul ketika rakyat kecil sedang merintih menahan perih atas derita kehidupan yang kian susah.
Akibatnya, reaksi rakyat atas ‘pesta pora’ para wakil rakyat di daerah itu begitu sangat negatif. Tudingan pada wakil rakyat pun tak tanggung-tanggung sebagai tindakan ‘melukai hati rakyat’ seperti diungkapkan Ketua Perhimpunan Masyarakat Madani, Ismet Hasan Putro. Selain itu, tak sedikit pula rakyat yang mencaci-maki para wakilnya sebagai ‘sudah kebal perasaan’ atau ‘mengidap penyakit mati rasa’. Tak cukup kata-kata untuk melukiskan kekecewaan rakyat atas perolehan rezeki nomplok bagi para wakil rakyat yang rata-rata bisa memperoleh Rp. 60 juta – 200 juta. Bila dijumlahkan seluruhnyabisa mencapai Rp. 14 triliun. Suatu jumlah yang tak sedikit bila dibandingkan kebutuhan dana untuk pembangunan negeri yang kian porak-poranda ini.
Syukurlah, pemerintah akhirnya menyadari reaksi keras rakyat atas pemberlakuan PP 37/2006 yang kontroversial itu. Revisi pun dilakukan secara seksama. Belum jelas hasil revisi itu dibuat, rakyat pun dikejutkan oleh reaksi balik para wakil rakyat melalui sejumlah institusi perwakilan mereka dengan berunjuk-rasa mendatangi Pimpinan MPR/ DPR RI untuk mengadukan keluh-kesah mereka. Susana ini benar-benar terasa kontras di tengah sebagian besar rakyat yang tinggal di ibukota Jakarta sedang menghadapi musibah banjir atau membenahi harta-benda mereka pasca-banjir. Pertanyaan mendasar yang muncul kemudian di dalam setiap hati rakyat kecil tak lain: bagaimanakah detak suara hati-nurani sesungguhnya?
Wakil rakyat di negeri ini sejak dulu ditempatkan pada posisi yang sangat mulia dan terhormat. Perhatikan saja dalam setiap pertemuan atau perjumpaan, rakyat akan menyebut sapaan lembut dan penuh kepercayaan : ‘para wakil rakyat yang terhormat’. Penekanan kata ‘terhormat’ itu menunjukkan adanya titipan amanah dari rakyat yang diwakili agar bnar-benar bisa mengemban kepercayaan sesuai dengan hati nurani rakyat. Bincang-bincang soal kata ‘terhormat’ ini mengingatkan saya pada sebuah cerpen ‘Bapak Wakil Rakyat Yth di Jakarta’ karya sastrawan Hamid Jabbar (Alm). Saya beruntung sekali bertemu Hamid dan menjelaskan maksud cerpen itu. “Saya hanya ingin memperjelas ahwa Bapak-bapak Wakil Rakyat itu hanya terhormat di Jakarta saja. Di luar daerah itu, entahlah…” ucap Hamid sambil terbahak-bahak. Entah serius, entah main-main…Mana kutahu!.****

PAK PEJABAT, TAK ELOK BERTELAGAH

Dear Lovely Reader,
Everey day, we got an disharmony between our leader in the country. While, according to Stpehen R. Covey, the founder of 7th and 8th Habit, the leader should be a model of their people.

PAK PEJABAT, TAK ELOK BERTELAGAH

PEJABAT itu laksana gajah. Rakyat itu ibarat pelanduk. Kata pepatah bila gajah bertelagah, pelanduk pasti mati terjepit Inilah kiasan yang molek bagaimana situasi yang terjadi bila para pemimpin asyik bertelagah justru akan menimbulkan kebingungan di kalangan rakyat. Bila rakyat sudah bingung karena sulit mencari pemimpin panutannya maka situasinya ibarat : anak ayam kehilangan induk. Akibatnya, rakyat pun berkecai-kecai. Konflik horisontal dan vertikal pun tak bisa dihindari.
Pejabat publik di jajaran birokrasi pada hakikatnya adalah pemimpin. Ia ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah dari rakyat yang dipimpinnya. Oleh sebab itu, pejabat semestinya menjadi panutan pula bagi rakyat. Hal ini senapas dengan konsep ulil amril minkum dalam Islam yang menempatkan pemimpin sebagai sumber tauladan. Keteladanan itulah yang memberikan ketajaman aura kharisma yang terpancar dari dirinya
Apa pun gerak dan tindak para pejabat kita tentulah selalu menjadi sorotan rakyat atau publik yang dipimpinnya. Pantas bila rakyat mkenaruh harapan besar pada semua pejabat yang diberi kewenangan mengatur birokrasi pemerintahan. Sebab muara keberhasilan kepemimpinannya mestinya dinikmati oleh rakyat. Sebab, dana pembangunan yang dikelola oleh para birokrat memang berasal dari kekayaan sumberdaya alam yang sepenuhnya milik rakyat. Filosofi itu amat penting dijiwai oleh jajaran birokrat untuk menghindari munculnya kesombongan kekuasaan. Bahkan kekuasaan yang berada di tangan para birokrat tak lebih dari titipan sementara yang diamanatkan oleh rakyat melalui prosedur birokrasi dan konstitusional.
Mencermati perjalanan birokrasi kita di era reformasi yang ditandai banyak perubahan mendasar -kebebasan dalam arti luas, penyelenggaraan pemilihan umum dan kepala daerah secara langsung- makin membuka terjadinya pertelagahan antara para pejabat publik. Motifnya tak lain berebut soal kekuasaan dan kesempatan untuk memperlihatkan siapakah yang paling eksis. Bius kekuasaan memang sudah menjadi sesuatu yang dominan dalan kehidupan umat manusia. Oleh sebab itu, siapa pun akan mempertaruhkan segala daya dan upaya untuk meraihnya. Tak mustahil melalui cara-cara yang tak halal sekali pun sebagaimana pernah ditengarai oleh Machiavelli.
Inilah tak moleknya persaingan hidup sesama manusia. Kalau tak dahsyat, manalah ada ungkapan Latin : homo homini lupus (yang kuat memakan yang lemah) bak hukum rimba saja. Begitu pun, pepatah Arab menyebutkan : al insanun hayawanun natiqah (manusia itu tak lebih dari hewan yang berakal). Oleh sebab itu, jangan heran bila persaingan antar umat manusia sedekat apa pun hubungannya bisa berakhir dengan cara-cara yang sangat tidak terhormat. Tragedi pertelegahan para pejabat yang semula berada dalam satu tim untuk merebyut sebuah posisi jabatan, boleh jadi berakhir secara tragis.
Dalam filem lama, The Great Wall -informasi ini saya peroleh dari Pak Syarwan Hamid- dikisahkan bagaimana seorang Raja yang baru menduduki singgasana berkat dukungan para orang-orang dekatnya. Namun, ketika struktur kekuasaan disusun, ternyata Sang Raja membuat keputusan yang mencengangkan. Raja itu tiba-tiba berubah pikiran sehingga langsung memerintahkan agar orang-orang dekatnya sesama berjuang agar dibunuh. Alasannya? Justru orang-orang dekat yang sudah banyak tahu ‘rahasia’ kehidupan dan perjuangan Sang Raja, suatu saat akan menjadi orang pertama yang akan menggulingkan atau membuka borok-boroknya.
Pertelagahan yang terjadi di antara pejabat publik penting kita memang bisa bermula dari hal-hal kecil belaka. Tapi yang pasti, dalam kekuasaan melalui sistem parpol di negeri kita, persaingan mengibarkan bendera parpol masing-masing tak dapat disembunyikan. Sebutlah SBY yang bernaung di bawah bendera Partai Demokrat dan JK di bawah Partai Golkar, amat sulit dipastikan apakah masih berduet dalam menghadapi Pemilu 2009 mendatang? Kekuatan parpol yang sangat ditentukan oleh konstituen parpol masing-masing tak mungkin bisa dihadapi oleh sosok seorang pimpinan tertinggi parpol. Itulah namanya suara rakyat.
Terlepas dari latar apa pun soal terjadinya pertelegahan itu, namun yang pasti dibingungkan adalah rakyat. Sebab, sudah sangat lama rakyat menantikan perubahan-perubahan mendasar terkait peningkatan kesejahteraan. Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan negara menjamin kesejehteraan rakyat, kian terasa hanya sebagai lips service yang tak kering-keringnya diulang-ulang. Angka kemiskinan yang tak menurun secara signifikan menunjukkan secara nyata hasil-hasil pembangunan yang terus dilaksanakan menggunakan uang rakyat melalui APBN dan APBD, belum sepenuhnya menyentuh kepentingan rakyat. Banyak janji dan harapan sudah ditebar dalam rangkaian kampanye dan pidato-pidato kenegaraan dan pemerintahan di segala jenjang kekuasaan secara bertikal dan horisontal, namun kata-kata ‘makmur dan sejahtera’ bagaikan kata-kata hambar yang tak bermakna.
Oleh sebab itu, di tengah penantian panjang rakyat akan menikmati hidup yang lebih sejahtera, justru para pejabat yang mestinya bersatu-padu dalam memikirkan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat, malah bercekau pula sesamanya. Analogi ini bagaikan membangun istana pasir di tepi pantai. Sekali ombak menyibak, hancur leburlah istana pasir itu. Ombak garang memang terlalu banyak di negeri kita sehingga gerak pembangunan itu menjadi tidak efektif karena dikhianati oleh orang-orang yang berada sebarisan dalam kekuasaan yang sedang berjalan.
Pertelagahan dalam sejarah hidup umat manusia memang sudah berumur lama. Kisah Habil dan Qabil yang akhirnya saling berbunuhan hanya karena memperebutkan seorang perempuan yang bakal dijadikan isteri, memperlihatkan persaingan sudah menjadi fitrah alamiah. Tinggal, bagaimana membuat keseimbangan dalam menghadapi persaingan itu agar berjalan secara fair. Persoalannya persaingan yang muncul dalam banyak kasus di negeri kita justru sarat oleh motif-motif yang bersifat pribadi. Bahkan ada rasa sakit hati seseorang terhadap kesuksesan orang lain hanya karena rasa sinis dan prasangka buruk belaka (apriori).
Apriori? Cara-cara ini memang sangat tidak obyektif dan sangat dikendalikan oleh nafsu syaithaniyah belaka. Peristiwa kecil yang diwarnai oleh sikap apriori dapat terjadi dalam kisah berikut: Dalam sebuah pertandingan sepakbola di kampung, Ahmad, penyerang handal kesebelasan kampung tuan rumah berusaha memperlihatkan kehebatannya. Meski belum berhasil menggolkan gawang lawan, Ahmad terus mendapat teriakan dan dukungan penonton. Tapi di antara penonton itu terdapat Basrul, yang sejak awal permainan mencemooh diri Ahmad, dengan sangat sinis. Bila Ahmad tak berhasil menendang bola dengan baik, Basrul langsung berkomentar. “Suailah…rambut aja kribo,,hidung pesek..mana bisa menendang dengan baik..!” teriak Basrul. Apa hubungan rambut kribo dan hidung pesek dengan kepiawaian menendang bola? Bukan itu persoalannya. Ternyata Basrul sudah apriori sejak lama karena Masni, isteri Ahmad dulunya adalah kekasih Basrul. Masih apriori lagi? ***

THE NATION WITHOUT COMPETITIVENESS

Dear All,
One day, this year, i read a news about the list out of countries that have competitiveness in the world. One of criteria related with their security and safely for growing the investment value. Where is Indonesia position? Sorry to say, Indonesia in -around- 124 level to be investment address...I am remember with a joke of Pak Chaidir (Ketua DPRD Riau). Any 4 country group in the world based on their people basic character. First, the country that a lot speaking, but a bit doing. Second, the country that a bit speaking, a lot doing. Third, the country that a lot speaking, a lot doing. Fourth, the country that a bit speaking, a bit doing. Where is Indonesia position? Really, Indonesia is not include in all criteria. Why? Caused, Indonesia have special character: other thinking but other doing...

NEGERI TAK BERDAYA SAING

MALANG benar negeri kita. Dari waktu ke waktu setelah berganti pemerintahan yang satu ke pemerintahan yang lain, bak jalan di tempat belaka. Tak ada tanda-tanda yang menggembirakan. Baru ada sekelabat cahaya di angkasa, tiba-tiba pudar pula seketika. Ketika nilai tukar rupiah ke dolar AS mulai merambah ke wilayah di bawah Rp. 9000, bukannya fenomena ini serta-merta menggembirakan semua pihak. Sebab, nilai rupiah menguat ternyata menggelisahkan bagi para eksportir namun menggembirakan para importir.
Oleh sebab itu, muncul anekdot. Doa para eksportir berbunyi begini: “Ya Tuhan, perlemahlah terus nilai rupiah agar kami bisa terus melakukan ekspor dengan nyaman.” Tapi lain lagi doa para importir :”Ya Tuhan, perkuatlah nilai rupiah agar impor yang kami lakukan berjalan lancar…” Hukum kausalitas erupa ini tak akan pernah berklahir karena semua orang ada dan bekerja sesuai kepentingan dan misinya masing-masing. Para dokter tentu akan merasa produktif apabila banyak pasien yang sakit. Para rentenir akan nyaman bekerja apabila makin banyak orang yang miskin sebagai nasabah yang akan berutang. Para aparat hukum akan tertantang bekerja apabila para pelaku kejahatan masih selalu ada.
Laporan International Institute for Management Development (IMD) yang berpusat di Lausianne, Swis pertengahan Mei 2007 ini mjengeluarkan Buku Tahunan daya Saing Dunia (World Competitiveness Yearbook) yang membentangkan nilai rating daya saing 55 negara di dunia. Survei IMD ini memakai 323 kriteria dari empat kelompok indikator yakni kinerja ekonomi, efisiensi birokrasi, efisiensi bisnis dan ketersediaan infrastruktur. Untuk indikator ekonomi, rata-rata negara yang disurvei memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5% per tahun.
Mau tahu di mana posisi negeri kesayangan kita, Indonesia? IMD menempatkan Indonesia di urutan ke-54 dari 55 negara yang disurvei. Bahkan di jajaran 13 negara Asia saja, Indonesia justru menempati urutan nomor buncit. Ini bermakna Indonesia berada di bawah negara Filipina dan Thailand. Sementara yang menempati posisi teratas di tingkat Asia adalah Singapura. Sedangkan untuk peringkat 20 top dunia negara yang mempunyai daya saing tertinggi adalah Amerika Serikat, Singapura dan Hongkong. Negara China berada di urutan ke-15.
Siapa pun yang memiliki kesadaran nasional yang tinggi akan terkesima menyaksikan kinerja negara kita di antara negara-negara dunia. Kinerja ini selalu memiliki kedekatan dengan business ethic dan good governance (pemerintah yang bersih dan berwibawa). Bercerita soal korupsi di Indonesia, barangkali bakal jadi ‘never ending story’. Selalu saja ada kisah yang mengejutkan bila kasus-kasus baru tindak korupsi terungkap ke permukaan. Siapa duga, kasus non-bujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang dimpimpin oleh Menteri Rokhmin Dahuri -masa itu- senilai 35 milyar -kira-kira- justru telah meluber ke mana terutama kalangan para politisi.
Realitas posisi Indonesia di antara negara-negara dunia yang mempunyai daya saing baik tentu saja semakin menyurutkan hati kita untuk mendapatkan investasi yang sebesar-besarnya dalam membangun negeri ini. Investasi memang tetap menjadi instrumen penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, baik Presiden maupun para Kepala Daerah setingkat Gubernur dan Bupati/ Walikota selalu berdalih mencari investor lantas bepergian ke luar negeri dengan serombongan tim yang ‘kebesaran’. Padahal hampir semua provinsi dan kabupaten/ kota itu sudah membuat website yang memuat informasi peluang investasi dan prosedur yang harus dilakukan dengan biaya yang amat besar pula. Bahkan ada pemerintah daerah yang mengalokasikan sampai belasan miliar rupiah untuk menubuhkan website dimaksud. Maklumlah, untuk teknologi informasi yang canggih seperti itu harus menyewa tenaga ahli IT dan pembelian peralatan hardware dan software yang selalu dikesankan amat mahal-hal-hal….
Padahal enggannya investor datang ke negeri ini selain terkait basic need of investment yakni prasarana jalan sebagai akses, listrik, telekomunikasi dan fasilitas air bersih melainkan hak mendasar yakni jaminan keamanan dan kenyamanan. Sudah lazim di negeri ini, untuk suatu urusan perizinan selain memerlukan waktu yang berbulan-bulan juga ‘keseraman’ menghadapi banyak meja birokrasi. Masing-masing meja birokrasi itu tegak dengan keangkuhan kekuasaannya yang cenderung bisa dijinakkan dengan ‘uang pelicin’. Saya masih ingat, di era Orde Baru dulu, seorang nelayan kapal motor yang ingin menangkap ikan di laut dalam proses pengurusan izin usahanya harus melewati 15 mata rantai birokrasi mulai dari RT hingga Dinas Perikanan dan Adpel.
Syukurlah, hampir semua pemerintah daerah termasuk Provinsi Riau di bawah kepemimpinan Gubernur Riau, HM. Rusli Zainal segera memberlakukan pelayanan satu atap dalam proses perizinan-perizinan investasi. Hal ini diungkapkan Rusli Zainal di depan 20 Duta Besar negara-negara sahabat di Departemen Luar Negeri belum lama ini saat memberikan presentasi tentang peluang bisnis dan investasi di Provinsi Riau.
Sejak terjadinya huru-hara awal reformasi di negeri ini, Mei 1998 silam, memang kegerahan para investor yang sudah mengembangkan usaha dan bisnisnya di Indonesia amat terkait soal kenyamanan dan keamanan. Aset yang bernilai triliunan rupiah di negeri ini bagai tak terlindungi saat kekuatan massa hendak merebut atau merusaknya. Inilah biang persoalan yang selalu membuat para calon investor merasa was-was untuk menanamkan modalnya meskipun Indonesia pernah digemakan ke masyarakat dunia sebagai ‘negeri zamrud khatulistiwa yang indah dan penduduknya ramah-ramah pula.’ Keramahan itulah yang kini terasa kian mahal karena hari-hari kita seperti ditayangkan lewat TV dan halaman suratkabar banyak berlalu dengan unjuk-rasa dan huru-hara.
Oleh sebab itu, tahun lalu, Indonesia pernah ditempatkan di urutan ke 135 dari 179 negara di dunia sebagai negara tujuan investasi. Andaikan posisi ini tak berubah lebih baik lagi, apalah maknanya road show yang dilakukan oleh para birokrat kita ke mencanegara untuk menjajakan peluang dan daya tarik investasi di mancanegara itu? Ibarat seorang pedagang obat keliling yang menjajakan obat pembasmi penyakit panu sementara di sekujur tubuh penjual itu dipenuhi panu berbagai ukuran seperti Kepulauan Indonesia. He he….***

Fakhrunnas MA Jabbar adalah budayawan, tinggal di Pekanbaru.
Komentar : klik www.fakhrunnasjabbar.blogspot.com atau email: fakhrunnas_jabbar@aprilasia.com