Monday, February 16, 2009

THE SLANK MIRROR

Dear Lovely Reader.
Do you remember about a Slank song that make mostly our legislative member could be angry? Slank, a famous music group in Indonesia 'attack' the bad attitude our legislative. Wanna know abt it's lyric? Read this.


KETIKA grup musik Slank melantunkan kembali lagu Gossip Jalanan dibuat tahun 2004 dan dirilis pertamakali tahun 2004 silam, kalangan DPR RI benar-benar kebakaran janggut. Idiom ‘mafia di senayan’ yang disebut dalam lirik lagu itu dipandang telah menghina dan merendahkan derajat para wakil rakyat yang berkantor sehari-hari di Gedung MPR/ DPR di kawasan Senayan. Bahkan, Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR, Gayus Lumbuun secara terang-terangan kepada pers menyatakan ingin menggugat grup Slank atas tuduhan penghinaan.
Ihwal perseteruan DPR dengan Slank ini benar-benar mengingatkan kita pada cerita klasik tentang seorang perempuan yang berwajah buruk rupa. Saat perempuan ini menatap wajahnya di cermin yang memperlihatkan keburukan wajahnya tiba-tiba ia menjadi marah. Lalu secara emosional membanting-banting cermin itu hingga hancur berantakan. Sesudah itu, ia tertawa terbahak-bahak bak kesurupan karena merasa bahagia karena tak akan pernah melihat wajah buruknya.
Kisah itu kelak melahirkan kata bijak dalam pepatah Melayu : wajah buruk, jangan cermin dibanting. Makna simboliknya, bila kita memang punya kesalahan atau kekurangan secara nyata jangan salah orang lain yang mengeritik kita. Persepsi orang tentang diri kita adalah apa yang kita perbuat. Bila watak buruk yang selalu ditampilkan, pastilah persepsi buruk yang akan kita terima. Siapa menabur angin akan menuai badai, kata kiasan yang lain. Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak akan percaya. Terlalu banyak kata-kata bijak dan kearifan lokal (lokal) yang memberikan pencerahan pada pola pikir kita bila ingin dijadikan sumber kebenaran dan kesadaran.
Cerita soal cermin dan wajah buruk itu amat berlawanan dengan sebuah mitologi Yunani yang kini dikenal dengan sikap narsisme. Diceritakan, ada seorang pemuda tampan yang jatuh cinta pada dirinya sendiri ketika menatap dirinya di bayangan permukaan air (narcis). Ia terlalu bangga dengan ketampanannya. Lama-lama, ia memutuskan untuk merangkul bayangan dirinya itu sehingga terjun ke dalam air tersebut hingga tenggelam. Atas kehendak Dewa, tubuh laki-laki tampan itu tiba-tiba berubah jadi sekuntum bunga yang kelak dinamakan bunga narcissus.
Hidup dengan segala keragaman profesi dan sifat telah menumbuhkan pembagian tugas dan peran yang bertujuan menciptakan keseimbangan. Tak ada orang yang semestinya merasa angkuh dan sombong betapa pun hebat dan tinggi jabatannya. Selalu ada langit di atas langit. Kiasan ini menunjukkan tak ada seorang pun yang berkasa di atas dunia selain Allah Maha Pencipta.
Kritik yang disampaikan seseorang atas pihak lain bukannya tak beralasan. Semua bentuk kritik dalam segala kapasitas dan dosis harus dipandang sebagai upaya untuk memperbaiki diri dan citra diri. Tak perlu merasa sakit hati apabila kritik itu mempunyai alas-dasar. Apa yang dilakukan Slank lewat lagu Gossip Jalanan –ternyata semua lirik lagu itu berangkat dari gossip-gosip yang bermunculan di tengah-tengah masyarakat di kalangan orang-orang jalanan dengan segala umpat-cacinya- merupakan portet dan realitas sosial yang tak dapat dipungkiri.
Terkait kemarahan pihak DPR atas lirik lagu Slank itu, ternyata tak lepas dari selentingan isu yang berkembang di tengah-tengah masyarakat secara berkesinambungan generasi. Tak ada orang yang lupa bagaimana munculnya plesetan kepanjangan dari akronim yang sangat menusuk perasaan terdalam kita seperti UUD menjadi Ujung-ujungnya Duit, KUHP menjadi Karena Uang Habis Perkara dan sejenisnya. Siapa pengarang orisinal dari plesetan-plesetan seperti itu? Jawabnya: Anonimus (tak ada pengarang).
Bila seniman berkarya bertolak dari realitas dan potret sosial yang mengilhaminya maka karya seni semestinya harus bermakna bagi kehidupan. Bila sebuah lirik lagu bisa mengubah karakter atau memberikan semangat dan prestasi berarti karya seni benar-benar mempunyai peran konkret bagi kehidupan. Tidak lagi sebagai banyak tuduhan yang tak menyukai seni yang memvonis bahwa para seniman hanya beronani dengan dirinya sendiri.
Di Indonesia, banyak seniman yang sudah membuktikan bahwa karya seni ciptaannya dapat mengubah keadaan yang berlaku. Buktinya, banyak pejabat dan pemangku kepentingan lain yang berupaya memberangus karya-karya seni itu berupa pelarangan buku seperti dialami Pramoedya Ananta Toer, WS Rendra dan lain-lain. Pementasan teater WS Rendra yang fenomenal seperti Burung Condor dan Panembahan Reso di masa Orde Baru dulu terpaksa dihentikan atau dilarang dan berurusan dengan pihak berwajib. Hal yang sama dialami oleh teaterwan N Riantiarno dengan Opera Ikan Asin atau Ratna Sarumpaet dengan pentas teater Marsinah. Begitu pula lagu-lagu yang dikumandangkan oleh Iwan Fals, Franky Sahilatua, Gombloh dan masih banyak lagi.
Dalam karya puisi, tak sedikit pelarangan peredaran dan pementasan karya puisi yang ditulis oleh penyair-penyair Indonesia seperti Taufik Ismail, WS Rendra, Hamid Jabbar, F. Rahardi, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri dan sebagainya. Bisa dimaklumi bila seorang negarawan sehebat John F. Kennedy pernah berucap kira-kira begini:”bila negara dipenuhi oleh korupsi maka puisilah yang akan membersihkannya.”
Lirik lagu pada hakikatnya juga adalah sebuah puisi. Puisi Gossip Jalanan yang disuarakan Slank ketika disikapi secara controversial oleh kalangan DPR justru makin menjadikan lagu itu semakin dicari. Bahkan, Ketua KPK, Antasari Azhar bagai memperlihatkan perlawanannya pada sikap kontradiktif DPR dengan mendatangi markas Slank. Bahkan, Antasari dan Slak menandatangani pernyataan dan tekad perlawanan pada tindakan korupsi di negeri ini.
Mari renungkan lagi puisi Gossip Jalanan itu. Ternyata tak hanya kalangan legislatif yang disindir. Juga penegak hukum, tentara, politisi, pejabat bahkan kelompok agama sekalian.

Pernahkah lo denger mafia judi/ Katanya banyak uang suap polisi/ Tentara jadi pengawal pribadi
Apa lo tau mafia narkoba/ Keluar masuk ui jadi Bandar di penjara/ Terhukum mati tapi bisa ditunda
Siapa yang tau mafia selangkangan/ Tempatnya lender-lendir berceceran/ Uang jutaan bisa dapat perawan
Kacau balau…2x negaraku ini

Ada yang tau mafia peradilan/ Tangan kanan hukum di kiri pidana/ Dikasih uang habis perkar
Apa bener ada mafia pemilu/ Enah gaptek apa manipulasi data/ Ujungnya beli suara rakyat
Mau tau gak mafia di senayan/ Kerjanya buat peraturan/ Bikin UUD ujung-ujungnya duit
Pernah gak denger teriakan Allahu Akbar/ Pake peci tapi kelakuan bar-bar/ Ngerusakin bar orang ditampar-tampar…***

CHILDREN

Dear Reader,
How is imprtant the children for you?
Many tragedy about the children in our country


PRIA bertubuh tegap itu tiba-tiba mengayunkan pisau ke leher bocah lelaki berusia 15 bulan. Kepalanya langsung terpenggal dan bercucuran darah. Peristiwa naas itu disaksikan langsung oleh ibu korban. Penyebabnya berawal dari pertengkaran antara keluarga yang mencapai puncaknya di supermarket. Pemenggal sadis itu tak lain adalah paman bocah tak berdosa. Ini terjadi di negara Suriah seperti diberitakan Arab News 4 Maret lalu.
Lagi-lagi anak yang jadi korban pelampiasan dendam dan kekerasan sepanjang waktu. Tak terhitung, berapa juta jiwa anak-anak di dunia yang mengalami nasib tragis baik akibat kekerasan dalam rumah tangga maupun peristiwa kriminal dan peperangan yang tak pernah henti. Anak-anak sering pula dijadikan sandera untuk meloloskan hajat seseorang.
Ihwal keberadaan anak dalam kehidupan ini, sudah disinggung oleh Kahlil Gibran lewat sebuah puisi yang sebagian liriknya berbunyi begini: anakmu bukanlah anakmu/ mereka adalah putra-putri kehidupan... Pada hakikatnya, anak memang milik Allah Yang Maha Kuasa. Orangtua hanyalah tempat titipan belaka. Numpang lewat belaka. Makanya anak selalu dipandang sebagai amanah Allah. Bahkan Kahlil Gibran dalam puisi yang sama menegaskan: kau bisa ambil raganya, tapi bukan jiwanya...
Namun, dalam kehidupan ini, anak yang begitu didambakan secara tiba-tiba bisa saja berubah jadi musuh bagi sebagaian orang tua. Masih ingat, tiga dasawarsa silam, bagaimana seorang anak bernama Ari Hanggara yang mati disiksa ayah kandungnya sendiri. Memang sejak itulah keberadaan anak yang terlahir dari darah-daging ayah dan ibunya dirasakan semakin tidak nyaman lagi. Anak-anak di mana-mana semakin sering menjadi obyek pelampiasan kekerasan dari orangtuanya sendiri.
Belum lagi, mitos ibu tiri yang makin menyudutkan keberadaan anak di tengah keluarga. Dalam banyak cerita fiksi dan kejadian nyata, ibu tiri selalu dilukiskan sebagai penyiksa bagi anak yang terlahir bukan dari rahimnya. Tapi, anak memang sewaktu-waktu dapat menjadi obyek pelampiasan kemarahan dan sakit hati salah seorng dari ayah atau ibu atau pula kedua-duanya sekaligus.
Seorang anak yang dilahirkan suci dan tanpa dosa bagaikn sepotong kertas putih tanpa bercak sedikit pun, semestinya diberikan hak dasarnya untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan dasar (basic need) yang paling asasi. Boleh jadi, anak terlahir ke muka bumi ini bukan kehendak dirinyamelainkan akibat tindak perbuatan kedua orangtuanya. Tapi misteri agung di balik kelahiran seorang anak sebenarnya tak lain berupa jalan takdir dari Allah yang tak seorang pun dapat membantahnya.
Anak-anak yang lahir tiap detik sepanjang waktu dari sebuah proses legal maupun illegal merupakan jalan fitrah yang sudah sepantasnya. Ayah dan bunya harus bertanggungjawab terhadap eksistensi anak tersebut hingga menjangkau masa depannya yang terbaik. Tapi tak semua anak bernasib baik menjalani takdirnya. Betapa banyak anak yang hidup terlantar sehingga jadi anak jalanan akibat tidak adanya rasa tanggungjawab kedua orangtuanya. Bahkan banyak pula anak yang sengaja dieksploitai oleh orangtuanya untuk mendapatkan keuntungan secara mudah.
Di sisi lain, anak-anak selalu merasa terancam hidupnya di tengah ergulatan hidup yang tak menentu. Kasus peperanganyang terjadi di banyak penjuru dunia telah membuat jutaan anak-anak menjadi terlantar, terluka bahkan meregang nyawa tanpa rencana. Banyak pula anak-anak yang menjadi korban kekerasan di dalam rumah tangga yang diperankan oleh orang-oran yang terdekat di dalam hidupnya mulai dari ayah, ibu, saudara-saudara hingga paman dan bibinya.
Hasil penelitian para dosen sebuah perguruan tinggi terhadap susu bubuk dan makanan bayi yang diduga mengandung bakteri, memperlihakan begitu lemahnya perlindungan pada anak-anak dalam banyak aspek. Oleh sebab itu, keberadaan Undang-undang Perlndungan Anak yang ditindaklanjuti dengan terbentuknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di segala jenjang struktural, dapat disikapi secara bijak. Betapa selama ini, anak-anak kurang mendapatkan perlindungan yang sepantasnya sehingga terlalu banyak hak-hak dasar mereka terabaikan di tengah carut-marut kehidupan.
Anak-anak memang terbilang makhluk yang serba salah karena selalu menjadi obyek dari ketidakberesan keadaan atau sistem. Ketika mereka diperlakukan secara tidak wajar oleh pihak eksternal, tentu masih ada kedua orangtuanya yang akan membela. Tapi, andaikan yang memperlakukan mereka itu tak lain orangtua kandung mereka sendiri, lantas mereka akan berlindung ke mana? Sudah terlalu banyak kisah tragis seperti kasus Ari Hanggara beberapa dasawarsa silam yang terus berlanjut hingga sekarang. Makanya, kekuatan nyali UU Perlindungan Anak benar-benar menjadi suluh bagi menerangi kasus-kasus tersembunyi terkait dengan kekerasan terhadap anak di rumah-rumah dan sekolah-sekolah.
Apa jadinya bila orang yang semestinya melindungi mereka tetapi justru menjadi pelaku kejahatan terhadap anak-anak itu sendiri. Perlakuan kasar yang dilakukan para orangtua dan guru-guru di sekolah baik sengaja atau tidak sengaja, harus menjadi renungan bersama. Ternyata masih ada monster menakutkan yang mengelilingi anak-anak di tempat-tempat yang semestinya akrab bagi kehidupan mereka.
Perlindungan terhadap anak memang hanya bisa dimulai dari rumah tangga. Oleh sebab itu, bila sepadang calon suami isteri ingin memulai sebuah kehidupan rumah tangga, hendaklah disadari buat apa rumah tangga itu dibangun dan bagaimana keberadaan anak kandung mereka bila terlahir kelak. Banyak pasangan muda suami isteri yang tidak faham bagaimana memelihara anak terutama di usia bayi dan bocah balita.
Seperti pernah terjadi di Kalimantan Selatan dua dasawarsa silam, seorang ayah muda teganya membanting bayi kandungnya sendiri hanya gara-gara si bayi menangis lama. Sementara si ayah masih dipengaruhi alkohol yang diminumnya setelah begadang semalam suntuk. Masih banyak lagi kisah tragis lain yang terkait perlakuan tak wajar pada anak-anak yang tak berdosa.
Berbahagialah anak-anak yang berada di bawah sentuhan lembut kasih sayang orangtua. Tapi seberapa banyak pula anak-anak malang yang terpaksa dibuang ke dalam kardus karena orangtuanya tidak menghendaki kelahirannya atau dianggap hanya mempersulit kehidupannya. Terkutuklah orangtua yang menyia-nyiakan anak kandungnya hanya atas alasan kebencian atau menganggap anak dipandang membawa sial bagi kehidupannya. ***

DEMOCRACY IS EXPENSIVE THING IN OUR COUNTRY

Dear All,
A politician is death. Many people kill him. Democracy is blooding...
I am really sad..

BERHATI-HATILAH menilai kinerja para anggota legislatif kini. Kritik dan sindiran tajam yang dilontarkan banyak pihak selama ini tiba-tiba menjadi arus balik. Kasus kematian tragis Abdul Aziz Angkat, Ketua DPRD Sumut setelah dianiaya para pengunjuk rasa dari kelompok perjuangan Provinsi Tapanuli, 4 Februari 2009, telah menumbuhkan kesadaran baru.
Seharusnya para wakil rakyat kita perlu mendapat perlindungan keamanan. Kalau perlu mereka juga diasuransikan agar saat terjadi penganiayaan atau perlakuan kelompok-kelompok yang menyerangnya dengan risiko yang tak bisa diduga.
Menjadi wakil rakyat di era reformasi memang perlu banyak perhitungan dan pertimbangan. Sudahlah perjuangannya untuk menempati posisi terhormat itu memerlukan pengorbanan dana, tenaga dan pikiran yang cukup besar ditambah pula bila sudah duduk di singgasana kekuasaan harus benar-benar ‘bersih’. Wakil rakyat harus bisa jadi cermin panutan di mata rakyat yang berharap banyak pada pengabdian dan pemikirannya. Rakyat sudah terlalu lama menderita meski negeri ini sudah merdeka lebih dari setengah abad.
Para oknum wakil rakyat yang tersandung kasus hukum dan criminal itu cukup banyak. Puluhan anggota legislatif mulai dari jenjang DPR RI hingga DPRD Kabupaten/ Kota harus berurusan dengan hukum dan masuk bui. Sebutlah sejumlah nama yang terlibat dalam kasus gratifikasi, pemerasan atau korupsi dalam kasus BLBI, Pelabuhan Bintan (Kepulauan Riau) dan Tanjung Api-api (Sumsel) proyek pengadalan kapal Departemen Perhubungan dan masih banyak lagi.
Perkembangan demokrasi di negeri ini terkait keberadaan para wakil rakyat bukan lagi sekadar arus balik. Tapi sudah jadi arus bolak-balik. Dulu, di masa Orde Baru para sebagian wakil rakyat dipandang sebagai orang pilihan yang tahunya hanya 5 D (datang, duduk, dengar, diam dan duit). Kemudian di era reformasi, wakil rakyat kita berupaya memperbaiki citra seiring makin kuatnya pengawasan baik formal maupun formal dari pihak eksternal.
Rakyat mulai optimis dan menaruh harapan lebih agar proses legislasi (pengadaan undang-undang) bisa lebih obyektif, tanpa intrik dan gratifikasi. Sebab, dulunya di masa Orde Baru, sudah jamak diketahui publik, untuk sebuah undang-undang, oknum-oknum anggota dewan itu melakukan ’tawar-menawar’ dengan pihak eksekutif yang berkepentingan.
Barangkali, belum hilang dari kenangan, di masa Menaker Abdul Latief dulu –sekitar tahun 1980-an- saat membahas dan mengesahkan UU Ketenagakerjaan, sebagian besar panitia kerja yang tak lain para wakil rakyat itu justru diajak ‘studi banding’ di Singapura. Pembahasan undang-undang tersebut sampai-sampai dilakukan di sana. Mereka dilayani bak raja sehingga undang-undang yang dihasilkan ditengarai sesuai dengan apa yang sudah direncanakan.
Melahirkan sebuah Undang-undang di negeri ini menjadi barang mahal. Sebab, selain adanya kemungkinan ‘main mata’ antara pihak legislatif dengan eksekutif juga ditengarai adanya kepentingan pihak ketiga yang terkait dengan undang-undang tersebut. Boleh jadi institusi pemerintah sendiri, organisasi, badan hukum atau pihak lainnya. Lihat saja, UU tentang Mahkamah Agung (MA) yang akhirnya meloloskan batas usia maksimum Hakim Agung yang disetujui menjadi 70 tahun.
Belum lagi, ‘negosiasi’ yang bisa terjadi dalam hal penetapan struktur badan atau institusi yang menjadi kewenangan pihak DPR RI. Uji kelayakan (fit and proper test) kadangkala bisa pula menjadi ajang tawar-menawar sebagaimana terjadi dalam kasus fit and proper test direksi Bank Indonesia. Mantan Anggota DPR, Agus Condro mengaku pihaknya bersama sejumlah anggota legislatif yang lain menerima aliran dana Rp. 500 juta dari kandidat –waktu itu- Miranda Goeltom.
Kematian tragis Abdul Aziz Angkat –Ketua DPRD Sumut- saat terjadinya unjuk rasa besar-besaran oleh massa pendukung Provinsi Tapanuli memang mengejutkan semua orang. Ternyata menjadi anggota legislatif itu bukannya tanpa risiko. Begitu pula memperjuangkan sesuatu yang mulia seperti pemekaran wilayah mestilah dilakukan secara santun, tertib dan beradab.
Namun, dalam proses negosiasi memperjuangkan sesuatu sering ditimpali proses komunikasi yang tidak pas. Gaya lugas dan buka-bukaan (low context) sering beradu dengan gaya yang sama kerasnya. Inilah yang sering memicu terjadinya konflik atau pertengkaran terbuka. Bahkan tak jarang berakhir dengan rusuh. Atas nama ketersinggungan atau keterhinaan, sesorang atau suatu kelompok dapat melakukan apa saja. Bila hal ini terjadi maka emosi massa akan sulit dikendalikan.
Padahal, banyak ajaran yang beradab dimiliki masyarakat agama dan kultural kita. Cara-cara santun dan diplomatis sering membuahkan hasil yang gemilang. Dalam budaya Melayu, proses komunikasi itu dilukiskan dalam ungkapan : ibarat menarik rambut dalam tepung, tepung tak tumpah dan rambut pun tak putus. Begitu hati-hati dan bijaknya.
Menegakkan demokrasi di negeri yang baru sebelas tahun menjalani hidup reformastif memang selalu memunculkan banyak friksi dan guncangan. Gaya demokrasi terpimpin di masa Orde Lama dilanjutkan demokrasi sentralistik dengan segenap kebijakan yang bersifat monolitik di era Orde Baru tiba-tiba banting stir ke gaya reformasi. Segalanya serba terbuka. Bom waktu demokrasi satu per satu pun meletus dalam berbagai corak dan warna.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung (free election) melengkapi Pemilihan Legislatif yang semakin proporsional-terbuka tentu menumbuhkan berbagai keterkejutan (shock) di kalangan rakyat. Era keterbukaan telah memunculkan banyak harapan yang berlebihan sehinga euphoria massa pun tak terhindarkan. Berbagai Pilkada untuk Gubernur dan Bupati/ Walikota di negeri ini tekah mencoreng wajah demokrasi kita. Sebutlah kasus Pilkada Gubernur Maluku Utara, Jawa Timur dan sejumlah pemilihan Bupati/ Walikota di Indonesia.
Demokrasi terasa menjadi barang mahal. Demokrasi kadangkala harus dipertaruhkan dengan penderitaan, keringat, darah dan nyawa. Inilah yang sering terjadi di negara-negara berkembang yang baru ‘belajar’ berdemokrasi secara bebas dan terbuka. Padahal, demokrasi bebas telah disalah-tafsirkan sehingga menimbulkan ekses-ekses yang tidak sedap bagi perjalanan bangsa.
Wakil rakyat yang menghuni ‘Rumah Legislasi’ DPR memang tidak masanya lagi duduk enak di singgasana kekuasaannya. Sudahlah bereforia di masa-masa wakil rakyat mereguk kemewahan dengan fasilitas dan tunjangan yang beragam di masa lalu. Kini saatnya hidup lebih realistic karena jutaan pasang mata rakyat menyaksikan apa dikerjakan para wakil rakyat bagaikan dalam sebuah akuarium raksasa dengan kaca bening dan transparan. ***

OH PALESTINA

Dear Lovely Reader,
Really..i am crying for children, mother and people of Palestine...
May Godbless them...
Where is mankind feeling of Isareli?

SEORANG penyair terkenal Palestina sekitar dua dasawrasa silam pernah menulis puisi yang sangat menyentuh perasaan dan hati nurani. Bunyinya salah satu baitnya kira-kira begini:
burung punya rumah, namanya sarang burung
ayam punya rumah, namanya kandang ayam
tapi di mana rumah orang-orang palestina?

Begitulah negeri Palestina yang sudah ada sejak lama hingga kini tak kunjung jelas nasibnya. Keberadaannya sebagai negara pun, tak kunjung mendapatkan pengakuan dunia internasional. Perjuangan rakyat Palestina bersama salah seorang tokoh utamanya, Yasser Arafat hingga akhir hayatnya, memag tak kunjung menampakkan hasil yang diimpikan. Arafat yang berjuang di bawah bendera PLO tidak mudah menyatukan komponen bangsanya melawan seteru utama, negara Yahudi, zionis Israel.
Bahkan pertikaian sesame organisasi pejuang Palestina seperti kelompok keras Hamas, bisa lebih banyak dibanding kontak senjata dengan bangsa Israel sendiri. Darah tidak hanya tumpah saat melawan musuh mereka, Israel tetapi justru saling bunuh di kalangan para pemimpin dan aktifis pejuang Palestina menjadi berita dan cerita yang tak menyedapkan. Sering terjadi pimpinan organisasi pejuang Palestina itu dibunuh atau membunuh sesamanya.
Sementara perjuangan rakyat Palestina yang didukung kekuatan militer apa adanya dipastikan tak akan dapat menekuk kekuatan besar Israel yang didukung oleh negara-negara jaringan lobi Yahudi terutama Amerika Serikat dan sejumlah negara sekutu lainnya di Eropa. Situasi hari-hari Palestina tak pernah nyaman. Anak-anak di bawah usia tiba-tiba jadi cepat dewasa karena terlibat di dalam perlawanan terhadap bangsa Israel melalui gerakan intifadah –perlawanan dengan melempar batu- yang sering justru dibalas oleh serdadu Israel dengan letupan senjata M-16 dan senjata caliber besar lainnya.
Di sisi lain, solidaritas negara-negara Arab yang mestinya berpihak penuh pada Palestina ternyata tak kunjung wujud. Negara-negara kuat di kawasan Timur Tengah seperti Arab Saudi Mesir, Libya dan beberapa lagi ternyata kini cenderung memperlihatkan sikap moderat belaka. Sebab, ketergantungan negara-negara itu dengan negara adi kuasa AS sangat membungkam sikap mereka. Bayangkan saja, AS dengan mudah memiliki pangkalan militer di Arab Saudi. Libya di bawah penguasa Moammer Khaddafi yang dulunya sangat keras menentang Israel dan AS kini juga memilih jalan bungkam. Tekanan AS ternyata sangat ampuh menekan orang kuat Libya itu.
Pemegang tali-teraju kepemimpinan Palestina pun siluh berganti dari kelompok-kelompok dominan di sana. Arafat mewakili Al Fatah memang termasuk yang paling lama diberi kepercayaan memimpin perjuangan rakyat Palestina. Namun, kepemimpinan Arafat yang yang dipandang oleh kelompok garis keras, Hamas terlalu moderat atau ‘lunak’ selalu mendapat cercaan dan perlawanan dari kalangan Hamas.
Perjanjian damai Israel-Palestina yang diprakarsai oleh Presiden AS, Jimmy Carter –masa itu- dipandang Hamas sebagai sikap tak terpuji Arafat karena mau berdamai dengan bagsa Yahudi yang telah mencaplok tanah air orang-orang Palestina. Setelah wafatnya Arafat, kepemimpinan negeri Palestina pun beralih ke tangan kelompok Hamas. Waktu itu, para pemimpin dunia dan analis politik internasional sudah bisa memprediksi bahwa perdamaian sementara di kawasan Timur Tengah khususnya Palestina akan terusik kembali.
Ketika Palestina dipimpin oleh kelompok Hamas setelah memenangkan Pemilu beberapa tahun silam, hubungan Israel-Palestina kembali memanas. Kontak-kontak senjata semakin sering terjadi. Bahkan, Jalur Gaza dan Tepi Barat yang pernah dikuasai Israel bertahun-tahun kemudian atas tekanan dunia internasional berhasil dikembalikan kepada bangsa Palestina, namun tetap saja mendapat control ketat Israel.
Dan kini, Gaza pun meletus. Gencatan senjata yang diprakarsai Mesir pada Juni 2008 silam memang berakhir 19 Desember 2008 lalu. Memang, Hamas memulai perlawanan dengan menembakkan roket dari Gaza kea rah Israel di penghujung tahun 2008 lalu. Meski roket-roket itu tidak mengenai sasaran yang diharapkan di negara Israel, namun hal itu sangat membuat berang para pemimpin Israel. Sudah pasti, Israel pun melakukan serangan balasan melalui udara Gaza yang sempat menewaskan 227 orang pada serangan pertama itu. Dan, setelah lebih dua minggu serangan udara yang diperkuat serangan darat Israel, tak kurang dari seribu orang bangsa Palestina terutama penduduk sipi kalangan anak-anak dan kaum perempuan telah terbunuh.
Peperangan Israel-Hamas memang berlangsung tak seimbang. Sebab, isolasi yang dilakukan Israel selama dua tahun terakhir cukup membuat rakyat Gaza menderita dan pemenuhan kebutuhan logistik pemerintah Hamas dan orang-orang Palestina sendiri menjadi terhalang. Perlawanan Hamas memang tak akan pernah berakhir karena sudah memasuki ranah ‘dendam sejarah’ yang tak mudah diakhiri.
Ketika para pemimpin dunia mengecam serangan membabi-buta Israel itu yang diikuti olehdemonstrasi besar-besar di hampir semua negara, Israel tetap saja tak bergeming. Israel pun punya dendam sendiri terhadap Hamas. Sayangnya korban sipil yang tak berdosa terus saja berjatuhan. PBB sebagai badan dunia yang bertanggungjawab terhadap perdamaian dunia ternyata tak berkutik sama sekali. Sekjen PBB, Ban Ki-Moon terkesan begitu lemah saat berhadapan dengan pengaruh AS di lembaga Dewan Keamanan yang memveto keputusan perlunya gencatan senjata di Gaza.
Kembali solidaritas negara-negara Arab yang tergabing di dalam Liga Arab kembali dipertanyakan. Di saat digelar pertemuan tingkat tinggi Liga Arab di Doha, Qotar awal Januari 2009 ini, ternyata Mesir sendiri pun tak hadir. Sementara negara-negara Arab lainnya seperti Suriah dan Iran yang pro-Hamas tampak bersemangat memprovokasi pertemuan itu untuk membantu dan melindungi perjuangan Hamas. Presiden Iran Ahmadinejad memang menjadi bintang dalam pertemuan yang dihadiri Pemimpin Hamas, KIhaled Messal.
Solidaritas Arab kini memang tak lagi kompak sebagaimana Perang 6 Hari tahun 1967 yang dimenangkan Isarel pada masa itu. Dulu, Raja Arab Saudi, Faisal al Saud bisa berdiri tegak saat melakukan embargo minyak pada AS. Waktu itu karikatur majalah Time memperlihatkan keperkasaan Faisal yang digambarkan berdiri tegak pinggang sambil memegang ujung pompa minyak sementara Presiden Richar M Nixon, duduk bersimpuh minta tolong.
Kita hanya bisa berdoa bagi kemenangan orang-orang Palestina lewat rakaat tahajjud atau sholat ghaib dan kiriman doa-doa sendu yang selalu tenggelam dalam deru bom dan senjata yang menyalak siang-malamdi Gaza. ***

Thursday, February 12, 2009

POLITICAL CONSPIRACY

Dear All,
Corruption case in Indonesia will never ending. Every day, medias told us about it. Corruption practice is not just in executive but also in legislative board. Any political conspiracy that involve some institution by individually or group.
I wanna sing a song : The Sadly Story on Sunday...on Monday..on Tuesday..Wednesday..on Thursday..on Friday...on Saturday..on Sunday again and again.. He he

KASUS aliran dana Bank Indonesia senilai Rp. 35 miliar yang dibidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sedang merebak di publik, menyadarkan semua pihak betapa mudah terjadinya konspirasi politik di negeri ini. Dana sebesar itu ditengarai telah dialirkan ke oknum-oknum anggota DPR-RI –sebuah lembaga perrwakilan rakyat yang sangat terhormat dan prestisius- hanya untuk memuluskan amandemen UU Bank Indonesia.
Rasanya pantas bila sejumlah petinggi BI mulai dari Gubernur Burhanuddin Abdullah, Direktur Hukum Oey Hoey Tiong dan Kepala Biro BI, Rusli Simanjuntak ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Ditambah pula, sejumlah mantan anggota Komisi IX DPR RI periode 1999-2004 terkait-kait pula dalam kasus yang sama.
Kebenaran hukum dan tajamnya pedang keadilanlah yang dapat memuaskan hati nurani rakyat yang hanya menyaksikan di luar gedung bergengsi bila proses hukumnya berjalan normatif. Tangan mencengcang, bahu memikul... begitulah tamsil Melayu menempatkan arti sebuah tanggungjawab dalam setiap tindakan yang dapat merugikan kepentingan rakyat banyak.
Kasus BLBI ini memang bukanlah peristiwa pertama yang ditengarai adanya konspirasi politik di negeri ini. Di masa Orde Baru dulu, ketika Menaker Abdul Latief berkepentingan meloloskan UU Tenaga Kerja –masa itu- publik dibuat heboh dengan kegiatan ‘jalan-jalan puluhan anggota legislatif di Singapura dengan dalih untuk membahas materi UU tersebut. Kemudian, publik pun tahu, hampir semua produk UU yang dibahas di lembaga legislatif diwarnai isu tak sedap soal adanya ‘biaya siluman’.
Konspirasi politik di negeri ini memang bakal jadi nyanyian panjang yang melibatkan angka-angka fulus yang fantastis. Semua orang tahu kalau di masa Pilkada Gubernur dan Bupati/ Walikota dengan sistem tak langsung, benar-benar menjadi masa keemasan para anggota legislatif dalam mengisi ‘pundi-pundi’ pribadinya. Bila proses memilih pemimpin diawali dengan cara-cara ‘money politic’ semacam itu, dapat dibayangkan bagaimana kualitas kepemimpinan atau jalannya pemerintahan di tangan orang yang menempuh cara-cara yang tidak pantas tersebut.
Dalam banyak kasus, sebagian oknum kepala daerah harus melakukan konspirasi politik baru selama masa pemerintahannya untuk mengembalikan ‘modal besar’ yang sudah dikeluarkan dalam proses Pilkada. Konspirasi ini kian melebar dengan melibatkan pihak-pihak lain yang berkepentingan termasuk oknum pengusaha yang menginginkan ‘jalan pintas’ dalam melaksanakan operasional usahanya. Atau pula, konspirasi sesama aparat pemerintah lintas-departemental dengan maksud mendapatkan fulus secara tidak sehat.
Apa jadinya amanat rakyat bila orang-orang yang mengemban amanat itu justru lebih mendahulukan kepentingan pribadi dibanding kepentingan rakyat yang harus diperjuangkannya. Semua orang jadi mafhum apabila cita-cita mensejahterakan rakyat di negeri ini menjadi mimpi panjang yang tak ada ujungnya.Apalagi, penggunaan dana pembangunan selama ini untuk perbaikan dan peningkatan infrastruktur ekonomi dan sosial melalui APBN dan APBD tak sepenunya efektif. Bahkan, begawan ekonomi Indonesia, Sumitro Djojohadikusumo tiga dasawarsa silam sudah menengarai sekitar 30 persen dana APBN/ APBD tersebut ‘menguap’ begitu saja.

THE LAND BURNING 'CULTURE'

Dear Lovely Reader,
Any nice joke. In Indonesia just has not two season but became three season. That are Dry Season, Wet Season and Haze Season. Haze season show us that land burning has still be culture for a part people. According to my friend, right now, only 2-3 people of local community that doing it. But the problem, that the people are still burn the land are friend of the 2-3 people. Oh, Indonesia...

SEJAK maraknya kebakaran lahan di Indonesia yang menimbulkan jerebu (kabut asap) telah menjadikan negeri ini begitu populer di mata dunia internasional. Indonesia tiba-tiba dijuluki sebagai negara ‘pengekspor asap’. Atau, negeri yang tak mampu mengelola kawasan hutan secara bijak. Citra buruk ini terus saja berlanjut di tengah pertelingkahan pendapat yang tak habis-habisnya soal kerusakan dan penyelamatan lingkungan yang melibatkan semua pihak.
Fenomena jerebu pula yang telah mengakrabkan semua lapisan masyarakat dari perkotaan hingga pedesaan terkait sejumlah jargon. Sebutlah, hotspot, no burning, global warming, climate change, carbon trade dan masih banyak lagi. Tentu saja istilah short time, tidak ada kait-mengaitnya dengan isu jerebu ini. He he.
Datangnya musim jerebu kali ini dipastikan akan menyengat sensitivitas masyarakat dunia dan pemerhati lingkungan. Apalagi, COP XIII di Bali pada bulan Desember 2007 lalu dengan thema Climate Change (Perubahan Iklim) yang melahirkan Road Map of Bali, justru sedang menunggu implementasinya secara global.
Persoalannya, kenapa selama COP XIII berlangsung, kebakaran lahan tidak terjadi dan jerebu pun seolah-olah bersembunyi? Sebab, semua pihak mulai dari aparat keamanan hingga petugas dinas terkait dan lapisan masyarakat sama berjaga-jaga atau bersiaga. Ini membuktikan, budaya ‘basa-basi’ memang masih menjadi tabiat yang melekat pada diri bangsa ini. Setelah pengawasan tak diperlukan, maka banyak pihak berkepentingan melanjutkan tradisi bakar lahan baik dalam skala kecil maupun luas.
Data pantauan satelit National Oceanographic and Atmospheric Administration (NOAA) 18 pada 19 Februari 2008 menunjukkan hotspot (titik panas, bukan titik api) di Pulau Sumatera sejumlah 163 hotspot, namun 89 hotspot di antaranya berada di Provinsi Riau. Padahal, sebagian besar provinsi di pulau Swarna Dwipa ini memiliki kawasan hutan dengan masyarakat hutan tradisionalnya. Apa yang salah dengan Riau?

Local Wisdom Melayu
Maraknya hotspot (titik panas, bukan titik api) yang mencuat sejak hampuir satu dasawrasa terakhir dan merebak di mana-mana, membuat Menteri Kehutanan, M. S. Kaban merasa gamang dan kelabakan juga. Tahun lalu, dalam sebuah pertemuan di Riau, Kaban menanggapi soal hotpsot itu dengan sebuah kelakar. Suatu kali, satelit memantau hotspot di Indonesia ini pada siang dan malam hari itu berbeda sangat signifikan. Jumlah hotspot pada malam hari ternyata jauh lebih banyak disbanding siang hari.
“Para ahli pun mencoba menganalisis data hotspot itu. Bahkan, foto citra landsat itu pun diperbesar (zoom). Tahu-tahunya, hotspot malam hari itu bersumber dari para tukang sate. Maklumlah, sensitivitas peralatan satelit itu bisa mendeteksi panas yang bersumber dari pembakaran daging sate..” ucap Kaban yang membuat para hadirin tertawa lebar.
Provinsi Riau dengan dominasi budaya Melayu mempunyai kawasan hutan cukup luas memang memiliki kearifan lokal (local wisdom). Dalam masyarakat Petalangan –salah satu puak Melayu- sudah dianut dan diimplementasikan sejak lama bagaimana pemanfaatan sumberdaya hutan sesuai klasifikasinya. Khusus kawasan hutan produksi yang menjadi sumber lahan dan sumber bahan baku kayu bagi kehidupan masyarakatnya diatur sedemikian rupa. Sistem ladang berpindah-pindah yang diawali dengan penebangan kawasan hutan melalui sistem rotasi, telah dapat menyelamatkan kerusakan lingkungan di kawasan hutan. Persebatian hidup antara masyarakat tradisional dengan alam lingkungannya terjaga begitu rapi dalam jangka waktu yang panjang.
Tradisi membakar lahan dalam proses land clearing sudah berlangsung sejak masyarakat tradisional ini memanfaatkan kawasan hutan sebagai sumber nafkah penghidupan. Penebangan kayu hutan pun tidak dilakukan secara sporadis melainkan hanya menggunakan peralatan sederhana seperti beliung, kapak atau pun parang.

Perda Karhutla
Realitas inilah yang membuat pihak legislatif dan pemerintah daerah Provinsi Riau berinisiatif melahirkan Perda tentang Pedoman Pengendalian Kebakaran Hutan, Lahan, dan Dampak Lingkungan Hidup (Karhutla) yang disikapi publik secara kontroversial. Kenapa? Perda tersebut membolehkan masyarakat petani tradisional untuk membuka lahan dengan cara membakar dengan luas maksimum dua hektare saja. Semangat Perda itu dinilai sangat tidak mendidik masyarakat karena melegitimasi mereka untuk membakar lahan yang pasti berakibat pada kerusakan lingkungan. Apalagi dalam implementasinya, bila pembakaran lahan seluas dua hektare itu dilakukan secara sporadis justru dipastikan minimbulkan wabah jerebu yang luar biasa.
Polemik soal Perda Karhutla di provinsi Riau ini memang tak dapat dielakkan. Semua pihak yang berkepentingan saling adu argumentasi yang tak habis-habisnya. Ketua DPRD Riau, Drh. Chaidir, MM secara tegas menampik tudingan macam-macam yang sangat memojokkan pihak pembuat kebijakan dan masyarakat petani tradisional. Apalagi, Perda itu dibuat dan didukung oleh mekanisme implementasinya yang paling aman bagi aspek lingkungan.
"Kita melahirkan perda tersebut demi kepentingan masyaraikat banyak dan sebelum perda itu disyahkan, sudah dibahas secara seksama dampaknya," kata Chaidir pada media saat Perda Karhutla tersebut disosialisasikan. Menurut dia, perda itu dibuat sebagai benuk keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat tradisional untuk mengelola lahan yang dimiliknya.
Sejiwa itu dengan Wakil Ketua DPRD Riau, Suryadi Khusaini ‘membela’ Perda Karhutla itu dengan mengedepankan asas hukum yang lebih mendasar. ‘’Perda itu kita susun antara lain berdasarkan semangat UUD 45 yang
menghargai hak-hak dan tradisi yang hidup dalam masyarakat,’’ kata Suryadi.
Namun, Menteri Negara Lingkungan Hidup. Rachmat Witoelar menolak mentah-mentah Perda Karhutla yang sudah disetujui pihak DPRD Riau yang dianggapnya ‘sesat’ itu.
"Perda Riau itu sesat, karena membolehkan orang membakar sampai dua hektar hutan atau lahan," kata Rachmat usai membuka Lokakarya Sistem Penataan dan Penegakan Hukum di Bidang Lingkungan Hidup pada tahun 2005.
Menurut Rachmat Witoelar, pihaknya sedang bekerja keras untuk membahas Perda Karhutla tersebut dengan Menteri Dalam Negeri agar meninjau ulang keberadaan peraturan hukum itu.
Senada dengan itu, Menteri Kehutanan MS Kaban dan Kapolda Riau memberikan reaksi penolakan. Menteri Kehutanan keberatan terhadap salah satu isi pasal Perda tersebut yang membolehkan masyarakat membakar hutan dalam membuka lahan maksimal dua hektar.
Menurut Kaban, kebijakan itu bertentangan dengan kebijakan "zero burning" alias pembakaran nol persen yang diperjuangkan selama ini. Sedangkan di sisi Polda Riau, mereka telah memberi sinyal tidak akan menggunakan Perda Karhutla dalam menangani kasus-kasus pembakaran hutan.
Bila dilihat dari aturan hukum, Perda Karhutla ini bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi yaitu UU No19 tahun 2004 tentang Kehutanan, Di dalam pasal 3 Ayat (3) Perda tersebut dinyatakan diperbolehkannya masyarakat tempatan melakukan pembakaran hutan maksimal 2 hektare per kepala keluarga.
Departemen Dalam Negeri (Depdagri) meminta pembatalan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) yang telah disyahkan DPRD Riau.

No Burning Lahan HTI
Polemik soal kebakaran lahan dan jerebu ini terus berkembang menjadi wacana publik. Bahkan, ada pihak yang terang-terangan menuduh pihak perusahaan perkebunan besar dan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang menjadi biang keladinya. Di Provinsi Riau saat ini terdapat kawasan perkebunan kelapa sawit seluas 1,8 juta hektare dan kawasan HTI yang dikelola dua industri pulp dan kertas dengan total luas sekitar 700 ribu hektare.
Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit dengan cara membakar memang bukan hal yang mengejutkan lagi. Sebab, pembukaan lahan yang paling mudah dan murah melalui cara pembakaran. Bahkan, perbandingan biaya pembukaan lahan dengan cara membakar bisa lebih hemat empat kali lipat di banding cara-cara no burning (tanpa bakar). Proses hukum terhadap sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang divonis oleh pihak pengadilan, menunjukkan adanya kecenderungan pembakaran lahan oleh perusahaan perkebunan tersebut.
Di sisi lain, pembukaan lahan di kawasan HTI mempunyai pola yang berbeda. Proses land clearing di konsesi HTI yang sudah memperoleh legalitas dari pemerintah melalui Departemen Kehutanan lebih mengutamakan aspek lingkungan. Seperti industri pulp dan kertas PT Riau Andalan Pulp And Paper (Riaupulp) yang beroperasi di Provinsi Riau sejak tahun 1994 sudah memberlakukan No Burn Policy (Kebijakan Tanpa Bakar). Ini bermakna tiga tahun lebih awal mempraktikannya karena kebijakan no burn dari pemerintah baru dikeluarkan tahun 1997.
Bagi Riaupulp, pembukaan lahan tanpa bakar justru sangat menguntungkan karena cabang kayu yang berdiameter kecil masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pulp, ranting-ranting dan dedaunan dibiarkan jadi serasah dan humus di samping berfungsi dapat menahan proses erosi saat hujan turun. Namun, cara no burn itu tidak menimbulkan api dan asap yang dapat membahayakan bagi kesehatan.

Bakar Lahan dan ‘Musim Banjir’
Masyarakat tradisional di negeri ini sangat menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam dan fenomena alam. Musim yang silih berganti antara musim hujan dan kemarau menjadi titik-pijak melakukan aktifitas dalam memenuhi sumber penghidupannya. Itulah sebabnya, pada musim kemarau ketika kawasan hutan sangat kering kerontang dimanfaatkan oleh petani tradisional untuk membuka lahan dengan cara membakarnya.
Sebaliknya, pada musim hujan, para petani memanfaatkan waktunya untuk bercocok-tanam. Sebab, di musim hujan tanah pertanian mereka menjadi gembur dan subur sehingga saatnya untuk ditanami. Bersamaan dengan itu, pemanfaatan sumber bahan baku kayu di kawasan hutan diwujudkan melalui penebangan pohon-pohon besar atau pembalakan yang semula hanya digunakan untuk pembuatan tiang dan papan bagi pembangunan rumah tempat tinggal atau fasilitas desa. Pada musim hujan inilah mereka secara mudah menghanyutkan potongan kayu balak itu dari kawasan hutan karena adanya genangan banjir akibat curah hujan dan lupan air sungai. Inilah yang disebut masyarakat desa sebagai ‘musim banjir’ atau musim penebangan kayu di hutan.
Para petani tradisional memang sangat bersebati dengan kawasan hutan. Sebab, hutan dapat berfungsi sebagai sumber mata pencaharian, apotik hidup, sumber bahan baku kayu untuk pertukangan dan perumahan dan ranah menebar nilai-nilai budaya yang terus dipelihara seperti tradisi mantera.
Ketergantungan petani tradisional pada hutan telah menumbuhkan aturan-aturan yang mengandung kearifan local dalam menjaga kelestarian hutan. Itulah sebabnya, tradisi membakar lahan yang berlangsung hingga kini dilakukan semata-mata untuk mempertahankan hidup bukan untuk menguak sumber kekayaan yang berlimpah-ruah.
Amat jarang didengar terjadinya kebakaran hutan yang luas selama berminggu-minggu. Hal ini disebabkan tradisi pembakaran lahan yang dilakukan melalui upacara-upacara tradisional yang mendekatkan hubungan spiritual mereka dengan Tuhan Pencipta Alam. Di samping itu, masyarakat petani ini melakukan pengawasan dan penjagaan yang ketat agar nyala api pembakaran tidak merebak lebih luas tanpa kendali. Belum lagi, aturan-aturan adat-tradisi yang memberlakukan hukuman moral bagi masyarakat yang melakukan pengrusakan lingkungan termasuk kawasan hutan yang harus terus dilestarikan.

Dilema Jerebu
Persoalannya kemudian, pemanfaatan kayu di hutan tidak hanya sebatas kebutuhan melainkan sudah berubah untuk mendapatkan sumber kekayaan. Celakanya, masyarakat desa di kawasan hutan itu hanya ‘diperalat’ untuk menjadi pelaku penebangan yang dimodali oleh para tauke yang membekalinya dengan uang dan peralatan. Bila kawasan hutan sudah rusak maka kawasan itu langsung dialih-fungsikan menjadi kawasan perkebunan yang dibersihkan dengan cara membakar. Beginilah dilema kerusakan hutan, kebakaran lahan dan maraknya jerebu yang datang secara musiman dan berkala.
Pembalakan liar yang marak belakangan ini terus ditangani pihak aparat hukum untuk mencegah kerusakan lingkungan khususnya kawasan hutan yang lebih parah lagi. Namun, kasus kebakaran lahan yang terus saja terjadi meski sudah ‘dipagar’ dengan berbagai aturan bagai sulit dihentikan. Bila kasus kebakaran lahan itu hanya dilakukan oleh para petani tradisional di lahan-lahan pertanian mereka yang luasnya hanya sekitar dua hektare, tentulah efek jerebu tidak akan sedahsyat ini.
Persoalannya, siapa sebenarnya yang melakukan pembakaran lahan dalam skala besar-besaran? Kecurigaan dapat dialamatkan ke pihak-pihak berkepentingan dengan usaha perkebunan, kehutanan dan pemilikan lahan yang sangat luas. Tindakan hukum yang sudah dan terus dilakukan diharapkan dapat menimbulkan ‘efek jera’ sehingga tidak diulangi atau diikuti oleh pihak-pihak lain yang ingin berspekulasi pula.
Cukup sudah penderitaan akibat jerebu yang sangat mengganggu aktifitas kehidupan dan menimbulkan berbagai penyakit. Seperti terungkap dalam data-data: selama tahun 2006 silam tercatat 12.000 orang terkena ISPA (Infeksi saluran pernapasan akut), 3000 orang terkena diare dan 10.000 orang menderita diare.
Kita jadi teringat lirik sebuah lagu The Mercys di tahun 1970-an yang berbunyi:
Aku..tak sanggup lagi
Menerima semua ini
Aku tak sanggup lagi
Menerima semuanya….
+++

WHEN THE WEDDING GIFT FOLLOW THE HONEY MOON

Dear All,
This is just old story. KPK warn all Government Officer that should be carefull to get the wedding gift. They will monitor and check it detailly. In my mind...this was not just bride will go to 'honey moon' but also 'the gift'. Ah, surprise...he he!


HELAT usai, piring pun pecah.
Rumah siap, penokok pun berbunyi.


Kata bijak Melayu ini bagai sefaham dengan apa yang dilakukan Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid yang meminta KPK memeriksa dan mengidentifikasi kado-kado perkawinan yang diterimanya pada pesta perkawinan di TMII, 12 Mei lalu. Hidayat tak mau dipergunjingkan soal kado dan hadih yang diterimanya di tengah-tengah kebahagiaan yang sedang dipetiknya kala menikahi perempuan pilihan pendamping hidupnya, dr Diana Abbas Thalib. Bila pesta usai, semestinya tak ada lagi tanda tanya apa pun yang menyertainya kelak. Apalagi, meragukan pemberian orang lain yang bisa saja terkatagori sebagai gratifikasi atau suap.
Temuan KPK atas kado-kado perkawinan Hidayat tersebut berupa uang tunai baik dalam rupiah maupun uang asing senilai Rp. 191 juta. Sumbangan itu terdiri atas uang tunai Rp. 130 juta, cek senilai Rp. 12 juta, sumbangan uang tunai dalam bentuk uang asing senilai 5.000 ribu dolar AS dan 500 dolar Singapura. Kasus ini benar-benar menjadikan kado perkawinan pun ikut-ikutan ‘berbulan madu’ di kapal pesiar yang bernama KPK.
Langkah Hidayat ini patut dipuji di tengah gersangnya nilai keteladanan para pemimpin bangsa ini yang sebagian besar asyik-maksyuk mengumpul kekayaan sebanyak-banyaknya. Inisiatif Hidayat untuk meminta pihak KPK ‘mengaudit’ kado-kado perkawinannya mulai dari amplop (angpao), karangan bunga atau barang-barang sekaligus menjadi alat kalibrasi dan introspeksi bagi para pejabat publik yang pernah menyelenggarakan pesta-pesta sejenis baik pesta perkawinan maupun pesta ulang tahun, pesta perpisahan atau pisah-sambut dan perayaan lainnya.
Orang masih ingat beberapa tahun lalu ketika petinggi negeri ini juga menyelenggarakan pesta perkawinan yang sempat menimbulkan gunjingan soal adanya kado berupa mobil mewah. Meski soal ini sudah diklarifikasi ke publik, namun tetap saja menyisakan sejuta tanda tanya dalam pikiran publik soal benar atau tidaknya itu. Tak terhitung lagi pejabat publik dalam berbagai jenjang dan tingkat yang telah menyelenggarakan perayaan serupa yang melenggang tanpa terusik oleh pemeriksaan KPK atau badan audit keuangan negara lainnya.
Tampaknya, pemeriksaan kado perkawinan Hidayat-Diana yang dilakukan KPK ini menjadi awal kebangkitan mengkritisi soal kekayaan para pejabat publik kita. Negeri ini sudah lelah mengutak-atik soal arti perting good governance yang cenderung hanya menjadi wacana belaka.
Ingat saja, di masa pemerintahan Orde Baru dulu banyak gebrakan pelaporan kekayaan pejabat, larangan pejabat melakukan perjalanan ke luar negeri atau pemeriksaan rumah dan mobil mewah. Belum lagi, bermunculan institusi auditor pemerintahan dengan segala sistem pengawasan yang terkenal dengan waskat (pengawasan melekat). Kadangkala, ‘waskat’ ini diplesetkan pula sebagai ‘pengawasan malaikat.’
Tapi pola ‘hangat-hangat tahi ayam’ selalu saja menjadi kebiasaan semua pihak di negeri ini. Mulanya bersemangat, lama kelamaan hilang tanpa berita. Oleh sebab itu, gebrakan KPK dalam mengaudit kado-kado perkawinan para pejabat publik ini wajar bila disikapi rakyat dengan perasaan skeptis. Apalagi di tengah keraguan rakyat atas pola pemeriksaan dan audit yang dilakukan institusi berwenang mulai dari KPK, BPK, inspektorat vertikal dan horisontal serta berbagai badan audit lainnya yang sering terkesan masih ‘tebang pilih.’
Ihwal kado perkawinan yang ditengarai sebagai gratifikasi memang sudah saatnya dijadikan obyek penyelidikan pihak berwenang seperti KPK. Apalagi, batasan nilai uang berupa kado tersebut sudah ditetapkan Mahkamah Agung sepanjang tidak melebihi nilai Rp. 1 juta. Sedangkan KPK sendiri sedang merumuskan kisaran yang dibolehkan antara Rp. 500 ribu- Rp. 1 juta. Meskipun, jumlah perolehan uang kado tersebut masih cukup besar andai saja dari 3000 tamu terdapat 500 orang saja yang memberi kado uang tunai dan cek senilai Rp. 1 juta maka uang yang terhimpun akan mencapai Rp. 500 juta. Sebuah jumlah yang cukup fantastis bila diukur dari kesejahteraan rakyuat Indonesia rata-rata.
Ukuran pantas atau tidaknya nilai kado yang diberikan pada pihak pejabat publik yang menyelenggarakan pesta atau perayaan sebenarnya dapat dilihat dari seberapa jauh nilai kepentingannya bagi kedua pihak. Para pemangku kepentingan (stake-holder) pasti bisa mengukur nilai hubungan tersebut. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal perizinan tentu saja akan dipandang memiliki nilai konflik kepentingan pada pejabat publik terkait. Rasa keadilan yang tertanam di hati sanubari masing-masing akan lebih lugas berbicara tanpa perlu diungkapkan lewat retorika.
Keteladanan yang sudah diperlihatkan Hidayat Nur Wahid benar-benar jadi setetes air di padang oase kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini yang terasa sudah lama kering. Kejadian ini benar-benar mengingatkan semua orang atas keteladanan yang pernah ditunjukkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dikisahkan, bagaimana anak kandungnya saat ingin menghadap dan berurusan di kantor pada malam hari, terlebih dulu menanyakan apakah hal yang ingin dibicarakan terkait urusan pribadi atau negara. Begitu si anak menyatakan urusan pribadi, lantas Khlaifah Umar memadamkan lampu di ruang kantornya.
Bila ingin berkaca pada realitas kehidupa berbangsa dan bernegara kita pada hari ini, sebarapa banyak pejabat publik yang menggunakan kendaraan dinas, rumah dinas atau fasilitas kantor lainnya yang justru digunakan untuk kepentingan di luar dinas. Bahkan, tak terkira para pejabat publik yang memiliki 2-3 mobil dinas yang sering lalu-lalang di ruang publik tanpa merasa malu. Apalagi, soal uang negara yang digunakan untuk keperluan non-dinas atau dikorupsi secara sembunyi-sembunyi.
Negeri ini memang sangat membutuhkan figur teledananan yang dapat menyejukkan kegersangan hati rakyat yang terus memelas karena kebijakan-kebijakan pemerintah yang tak mampu mengangkat kesejahteraan mereka. Sudahlah harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi ditambah pula efek ganda (multiplier effect) kenaikan harga BBM dan nilai inflasi yang tinggi. Terus, uang negara yang dialokasikan lewat APBN dan APBD justru digerogoti dengan berbagai dalih yang kelak terkatagori sebagai tindak korupsi, manipulasi dan penggelembungan biaya (mark up). ***

CHINESE NEW YEAR IN MALAY LAND

Dear Lovely Reader,
Happy Chinese New Year 2560. Gong Xi Fa Cai.
I have an experience to know about Chinese people and culture. So, right now, i am sharing with you all. Life is be colorfull. Pluralism. Thanks.


SAYA merasa beruntung karena di masa belia dulu dapat bersentuhan langsung dengan kebudayaan China. Sebagian teman sekolah saya semasa SMP dan SMA merupakan keturunan China. Maklumlah, Pulau Bengkalis –tempat saya melewatkan masa-masa pendidikan sekolah menengah itu- di awal tahun 1970-an masih dipandang wilayah yang terisolir dengan penduduknya mayoritas keturunan China. Pusat perkotaan sangat dominan dihuni oleh pengusaha-pengusaha China yang menempati ruko-ruko berjajar di sepanjang ruas jalan kota. Konon, sebelum itu, ada sejumlah ruas jalan yang ‘dikuasai’ preman China sehingga tidak memungkinkan orang-orang Melayu atau pribumi lainnya leluasa melewatinya.
Di masa-masa itu pula, saya mulai tahu bagaimana perayaan Imlek yang tanggalnya selalu berubah-ubah menurut tahun masehi. Datangnya Hari Raya Imlek masa itu bermakna pula selama sepekan orang-orang Melayu dan pribumi lainnya harus bersabar karena sulit untuk membeli barang-barang keperluan. Sebab, semua pertokoan atau pusat belanja sudah dipastikan tutup.
Namun, setiap datangnya perayaan Imlek memberikan sebuah tontonan menarik bagi kebanyakan orang. Dipastikan, ada arak-arakan keliling kota yang mengusung berbagai properti ritual Kong Hu Cu dengan atraksi para ahli agama mereka yang menusukan pedang runcing dari pipi kiri ke pipi kanan. Atau, aksi memukul-mukulkan bola berduri bak durian yang diberi rantai ke sekujur tubuh. Lebih dahsyat lagi, adegan mencencang tubuh sendiri dengan pedang tanpa terluka sedikit pun.
Selanjutnya, laiknya perayaan agama Islam yang selalu diagungkan sekali dalam setahun, perayaan Imlek bagi orang-orang China ditandai dengan pemasangan atribut ritual dengan menyilangkan tebu panjang di kiri-kanan pintu masuk. Di hari-hari awal Imlek, biasanya dipajang di halaman rumah sesajian berupa buah-buahan dan telur yang didominasi warna merah. Semula, sesajian itu sempat di’curi’ anak-anak pribumi dengan semangat bukan untuk mengganggu kesakralan ritual Imlek melainkan hanya iseng untuk mencicipi sebagian buah-buahan dan sesajian yang ada.
Saling kunjung baik sesame warga China maupun dari kalangan pribumi sebagai penghormatan atas pertemenanan yang disusupi semangat kerukunan, berlangsung meriah. Ada yang datang karena hubungan bertetangga namun banyak pula yang didasarkan atas hubungan baik sebagai kolega di sekolah atau tempat kerja. Rukun dan damai itu memang indah!
Kebudayaan jamak (multi-culture) itu memang nikmat yang memungkinkan terjadinya persilangan budaya (cross culture) yang memperkaya khasanah kehidupan. Keleluasaan untuk saling berhubungan dengan semangat saling menghargai dan menghormati semakin mempersempit ruang kecurigaan (prejudice) yang sejak lama sempat terbangun di negeri ini. Kecemburuan sosial karena perbedaan nasib dan keberuntungan dalam penguasaan sumber ekonomi, selalu menjadi biang terjadinya letupan rasial sebagaimana yang pernah terjadi di beberapa kota di tanah air.
Kebijakan yang terkait dengan orang-orang China di Indonesia mengalami pasang surut yang silih-berganti. Ada masanya, betapa sulit pengurusan status kependudukan bagi orang-orang China keturunan. Pernah pula, orang-orang China keturunan harus menggunakan nama Indonesia sebagaimana diperlihatkan para atlet dan orang-orang ternama di negeri ini seperti Rudy Hartono, Christianto Wibisono, Verawaty Fajrin dan masih banyak lagi,
Munculnya kebijakan semacam itu, tak terlepas dari latar belakang historis bangsa ini yang memiliki masa silam saat betapa mesranya hubungan Bung Karno selaku Presiden RI dengan para petinggi Negara China sehingga melahirkan ‘Poros Jakarta-Beijing’. Puncaknya, saat meletus Gerakan 30 September/ PKI yang sempat didukung oleh organisasi-organisasi yang dimotori oleh orang-orang China keturunan yang menjadi underbouw PKI di masa itu. Terbukti kemudian, banyak pula aktifis organisasi China itu yang ditengarai terlibat dalam kegiatan partai komunis yang meninggalkan bara-luka di kalangan masyarakat pribumi Indonesia.
Kedekatan para tokoh China di negeri ini dengan para oknum penguasa makin memperuncing dan mempertajam sikap kecurigaan terhadap etnik yang konon merupakan asal-usul nenek moyang bangsa Indonesia. Orang mudah menebak bila kedekatan oknum penguasa tersebut terkait budaya ‘semir’ atau ‘suap-menyuap’ yang didasarkan atas rasa kepercayaan (trusted). Apalagi, sudah jadi rahasia umum bila budaya ‘angpao’ (amplop) menjadi tradisi masyarakat China sejak dulu hingga kini. Belum lagi, budaya-ritual menebar ‘duit’ di laut atau membakar ‘duit’ di kelenteng atau rumah hunian ditafsirkan sebagai upaya memberikan ‘sesuatu’ pada penguasa (dewa) agar tidak mendapat kesulitan dalam perjalanan hidupnya.
Sebagai kelompok minoritas namun memegang kendali yang dominan di bidang perekonomian, orang-orang China keturunan di Indonesia dipastikan menjaga rasa kepercayaan ini. Itulah sebabnya, orang-orang China keturunan tidak akan pernah menyia-nyiakan kepercayaan dari pihak mana pun terutama kalangan oknum pejabat mengingat keberadaan mereka yang juga ingin aman dan nyaman dan tindakan keseharian.
Perayaan Imlek di tanah Melayu pada hakikatnya menjadi perbancuhan budaya yang sarat makna. Kebersamaan yang muncul dalam perayaan Imlek tersebut kian menyadarkan semua pihak betapa hidup ini sangat berwarna-warni (colorful) dan penuh keragaman (diversity). Suasana serupa inilah yang dapat mempersempit jurang budaya yang pernah melebar di masa silam.
Apa yang dilakukan pemerintah Malaysia dan Singapura dalam proses akulturasi dengan menempatkan semua unsur etnik berada sejajar dan diakui eksistensinya, patut menjadi benchmarking untuk mewujudkan masyarakat multi-kultural di negeri ini. Perlindungan (proteksi) terhadap hak-hak dan keberadaan orang pribumi memang tak dapat dihindari sebagaimana yang diterapkan Malaysia melalui ‘politik Bumi Putera.’ Itu pun harus dipertimbangkan jangan sampai menyentuh wilayah yang berbau diskriminasi agar tidak menimbulkan kecemburuan social dan kerusuhan rasial.
Budaya Melayu secara asasi telah memberikan laluan bagi para pendatang secara fisikal dan cultural agar ‘bersebati’ dengan nilai-nilai adat dan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Itulah bidal : ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’. Ini bermaka, siapa saja yang menghormati nilai-nilai budaya Melayu di tanah Melayu sendiri, niscaya mendapat ruang yang nyaman. Selamat Imlek tahun 2560.***

Wednesday, February 11, 2009

PHK, PULP AND ILLEGAL LOGGING ISSUE

SUDAH hampir dua tahun, isu illegal logging (illog) di Provinsi Riau bergulir tanpa ujung yang pasti. Proses hukum yang ditimpakan pada oknum-oknum pelaku mulai dari jajaran pejabat publik hingga pelaku industri kehutanan masih terus berjalan. Tim Penanggulangan Kasus Illog Riau yang dikoordinir oleh Menkopolhukkam dengan melibatkan belasan pejabat setingkat Menteri telah membuat simpulan-simpulan akhir. Namun, keputusan itu terkesan mandul sehingga tak bisa dilaksanakan sama sekali. Bahkan, , industri kehutanan khususnya pulp dan kertas di Provinsi Riau tetap saja mengalami stagnasi.
Kasus illog di Riau bagaikan banjir bandang yang muncul secara tiba-tiba, menyapu bersih tatananan proses izin kehutanan yang berlaku selama ini. Bagaimana mungkin, dokumen perizinan yang diterbitkan oleh instutusi resmi baik Departemen maupun Dinas Kehutanan pada level berjenjang dicurigai tidak punya asas legalitas setelah puluhan tahun berproses sesuai prosedur dan perundang-unadangan yang berlaku.
Bila memang ditemukan hal-hal yang janggal atas proses dan prosedur perizinan kehutanan selama ini, kenapa tidak dilakukan saja audit nasional atas semua perizinan industri kehutanan di Indonesia. Apalagi, wilayah yang berpotensi memiliki kawasan hutan dan peluang pemanfaatan hasil hutanan itu tidak hanya ada di Provinsi Riau. Sejumlah provinsi di Indonesia sampai saat ini masih memiliki pitensi hutan yang luar biasa sebutlah Jambi, Kalimantan dan Papua.
Jangan-jangan sebetulnya sorotan atas legalitas perizinan kehutanan yang diterbitkan selama ini di Provinsi Riau lebih bersifat kelemahan administratif belaka. Oleh sebab itu, kesalahan adnministratif semestinya didekati dengan tindkan atau sanksi-sanksi administartif pula.

Pendekatan holistik.
Pandangan holistik tentang pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam termasuk hutan bertolak pada amanah Allah bahwa alam hendfaklah dipelihara dan dapat digunakan untuk kesdejahteraan umat manusia. Oleh sebab itu, pihak pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengelola kekayaan sumberdaya hutan tersebut. Pengaturan wilayah melalui konsep Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang dijabarkan lagi melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) memungkinkan adanya kawasan hutan dengan peruntukannya masing-masing seperti Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Kawasan Konesrvasi dan sebagainya.
Industri kehutanan yang dikembangkan di Indonesia termasuk Provinsi Riau sengaja diundang untuk berinvestasi dengan segala kemudahan yang ditawarkan. Munculnya industri pulp dan kertas yang diawali berdirinya PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) lebih seperempat abad silam yang diikuti sepuluh tahun kemudian oleh industri PT Riau Andalan Pulp And Paper (RAPP) merupakan perwujudan sinergitas antara kebijakah Pemerintah Provinsi Riau dengan para investor.
Apalagi di masa itu, revolusi pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit (palm oil) memang sangat luar biasa. Sisa-sisa tumbangan kayu hasil land clearing yang cenderung hanya dibakar –pada waktu itu- seolah-oleh mendapat solusi dengan dimanfaatkan oleh industri pulp yang menggunakan bahan baku serpih berukuran kecil. Anehnya, wacana publik yang berkembang kemudian dikesankan seolah-olah industri pulp ‘rakus kayu’ karena pemanfaatan kayu-katyu berdiameter di atas 6 cm. Ini fakta yang pincang bagaimana sebenarnya industri pulp ikut menyelamatkan sisa-sisa tebangan land clearing yang biasanya dibakar namun ternyata bisa berbnilai produktif sebagai sumber bahan baku sementara.

Stagnasi perizinan.
Pembangunan pabrik pulp dan kertas dengan invetsasi triliunan rupiah tentu dimaksudkan dalam jangka waktu panjang. Apalagi retun of investment-nya butuh waktu lama dengan segala risiko bisnis termasuk aspek keamanan dan jaminan hukum dan perizinan. Salah satu dukungan yang diharapkan investor tentu saja terkait konsesi lahan sebagai sumber bahan baku jangka panjang.
Memang benar, industri pulp dan kertas di Riau mendapatkan konsesi kawasan HTI yang bersumber dari kawasan hutan alam sisa –bekas pemanfaatan HPH yang dikonversi menjadi kawasan IUPHHKT dengan tetap mempertimbangkan kawasan konservasi (biodiversity, satwa, green belt dll). Al hasil, konsesi HTI kepunyaan RAPP, misalnya, hanya bisa dikelola untuk kawasan tanaman akasia sekitar 50 persen lebih. Oleh sebab itu, pihak perusahaan harus bekerja keras membina hubungan kemitraan dengan perusahaan HTI mitra agar dapat memenuhi kekurangan lahan yang ada bagi keperluan HTI tersebut.
Dalam proses mendapatkan izin-izin kawasan HTI mitra inilah, proses legalitas perizinan itu digelindingkan yang mencuat ke permukaan dengan isu illog. Banyak orang yang tidak memahami esensi persoalannnya namun ikut berbicara dengan menuding sana-menuding sini. Padhal, Rasulullah sudah mengingatkan pentingnya arti profesionalisme dengan menyebutkan ‘serahkanlah segala sesuatu pada ahlinya, kalau tidak ya tunggulah kehancurannya.’
Persoalannya sangat ironis, bagaimana mungkin seseorang yang sudah mendapatkan kegalitas izin dari institusi terkait dengan konsekuensi membayar DR/ PSDH (Dana Reboisasi/ Provisi Sumberdaya Hutan), tiba-tiba dinyatakan bertindak illegal. Semestinya, pisau bedah yang digunakan melaljui pendekatan administratif sehingga nama baik pemerintahan tidak dicoreng sedemikian rupa. Akibatnya? Ketakutan nasional di kalangan para pejabat publik yang menerbitkan izin benar-benar mewabah. Stagnasi perizinan pun tak dapat dielakkan lagi yang berdampak pada gangguan iklim investasi.



Sumber Bahan Baku Lestari
Stagnasi perizinan bagi industri pulp dan kertas di Privinsi Riau ternyata mempunyai implikasi luas. Rencana penanaman HTI yang sudah diatur sejak awal berdiri PT RAPP tiba-tiba mengalami gangguan. Padahal, RAPP sudah memiliki kawasan HTI seluas 230 ribu hektare yang ditanam sejak tahun 1992 silam. Bahkan, sebagian sumber bahan baku perusahaan pulp dan kertas itu bersumber dari tanaman akasia dikawasan HTI tersebut.
Melalui research and development (R&D) bagian forestry, setiap tahun dijadwalkan daopat ditanam akasia seluas 50 ribu hektare. Sebenarnya, pola dan perencanaan penanaman akasia seperti ini memberikan kepastian sumber bahan baku bagi RAPP dalam jangka panjang sehingga target pemenuhan bahan baku sepenuhnya dari akasia –bila segalanya berjalan normal- dapat dicapai tahun 2010 mendatang. Namun, apa daya, stagnasi perizinan RKT pemanfaatan sisa kayu alam land clearing telah mengganggu jadwal penanaman sejak dua tahun terakhir. Kepastian hukum bagi dunia industri lagi-lagi menjadi mimpi buruk.
Ketika Krisis Global menghantam seluruh negara-negara dunia termasuk Indonesia, hampir tidak ada dunia industri yang dapat lolos dari kepungan krisis yang luar biasa itu. PT RAPP bagaikan sudah ditimpa tangga dua kali sehingga bebannya terasa kian berat.
Sumber bahan baku sementara dari sisa hutan alam land clearing tidak dapat mendukung sumber bahan baku pabrik dalam jangka panjang terus menggerus ketersediaan sumber bahan baku akasia. Akibatnya, seperti dtuturkan Dirut PT RAPP, Rudi Fajar, tanaman akasia yang dijadwalkan baru bisa dipanen dalam usia 7 tahun ternyata terpaksa dipanen lebih dini yakni saat uainya masih 4-5 tahun. Kualitas serat kayu yang dihasilkannya tidak memadai sehingga berakibat boros sumber bahan baku.

Tergantung RKT
Pertanyaan publik ketika RAPP menyatakan kekurangan bahan baku justru amat beragam. Sebagian besar menuding industri pulp dan kertas tersebut tidak mempunyai perencanaan pemenuhan bahan baku jangka panjang. Padahal, bagaimana mungkin perencanaan ini dapat dipenuhi oleh hambatan-hambatan proses penanaman HTI baru sangat tergantung pada proses izin RKT yang mengalami stagnasi sejak dua tahun terakhir.
Perencanaan produksi sejak awal juga sudah disesuaikan dengan kemampuan mesin pulp dengan kapasitas prloduksi terpasang yang disejajarkan dengan target pemenuhan sumber bahan baku. Tentu saja, tidak ada hal yang salah dalam perencanaan produksi, kemampuan mesin dan kapasitas produksi terbatas yang sudah disusun sejak awal berdirinya pabrik.
Proses produksi pabrik pulp dan kertas yang melambat akibat keterbatasan bahan baku sudah pasti akan menurunkan angka produksi. Asas efisiensi pun tetap berlaku agar tidak terjadi pemborosan modal. Ketika produksi pulp RAPP sudah menyentuh angka 40 persen sementara biaya produksi dengan segala over head cost-nya tetap, tak ada jalan harus disikapi dengan tindakan rasionalisasi. Bisa dimaklumi bila Manajemen RAPP melakukan tindakan PHK dan proses perumahan karyawan dengan harapan situasi krisis bahan baku dan krisis global dapat segera diatasi.

Benarkah Aset Daerah?
Dengar Pendapat Manajemen PT RAPP dengan Komisi B dan D DPRD Riau beberapa waktu silam diharapkan dapat menemukan solusi atas stagnasi perizinan, keterbatasan sumber bahan baku dan penurunan angka produksi pulp yang dapat menggerus modal.
Bila industri pulp dan kertas sebesar PT RAPP dipandang sebagai asset daerah yang ikut menyumbangkan kesempatan peluang kerja dan usaha serta sumber devisa bagi Negara dan daerah maka keberadaan semua industri di daerah ini perlu dijaga dan dipertahankan.
Negara sekuat AS pun tetap saja memberikan perlindungan pada sejumlah industri strategis yang kini ‘terduduk’ diterpa badai krisis global. Bahkan bantuan kucuran dana dari pihak pemerintah AS pun menjadi keniscayaan karena implikasi luas akibat tindakan PHK besar-besaran yang dilakukan sejumlah perusahaan raksasa tersebut seperti General Motor, Ford dan Chrysler.
Bagi RAPP, wujud bantuan dari pemerintah lebih diarahkan pada proses perizinan yang sangat menentukan kelangsungan pabrik yang telah dibangun dengan nilai investasi yang sangat besar. Apalagi, implikasi sosial ditutupnya pabrik pulp dan kertas bagi daerah sekitarnya dapat menimbulkan traumtik jangka panjang bagi masyarakat.
Lihat saja, pengurangan daya listrik bagi Kota Pangkalan Kerinci yang bersumber dari daya listrik PT RAPP selama ini dipastikan akan menjadi ibukota Kabupaten Pelalawan itu menjadi gelap gulita. Padahal, sumber listrik kota berasal dari turbin listrik yang terintegrasi dengan mesin pulp dan kertas yang ada. Artinya, sepanjang mesin pulp dan kertas masih bisa berfungsi maka aliran listrik pun masih dapat bekerja. Apalagi, sumber bahan bakar listrik bersumber dari kulit kayu (barking) yang dibakar untuk menghasilkan energi.
Sebenatrnya perencanaan sumber bahan baku lestari RAPP sudah dipersiapkan terjadwal dengan target pemenuhan sumber bahan baku dari HTI keseluruhan pada tahun 2010. Namun, stagnasi perizinan yang terjadi sejak dua tahun terakhir telah berakibat semakin sulitnya pencapaian target dimaksud sehingga perlu re-schedule lagi. Kemampuan RAPP dalam melakukan penanaman akasia dengan segala variestas unggul lainnya tak perlu diragukan.
Perusahaan hanya butuh penciptaan iklim kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya indsurti pulp dan kertas yang prospektif. Sebab, Indonesia termasuk ‘rising star’ bagi industri pulp dunia setelah berabad-abad didominasi oleh Negara AS dan Eropa. Bayangkan saja, AS saat ini mempunyai produksi pulp mencapai 56 juta ton per tahun sementara Indonesia baru sebesar 6 juta ton pulp. ***

VOICE AND VOTE

Dear All,
There are much voice surround of us. Voice can make be noise. Vote can change the future of some one. The election will be held based on voice and vote...

SEMUA orang punya kekayaan suara dalam makna realistik dan konotatif. Seorang penyanyi menjadikan suaranya sebagai sumber penghidupann yang amat bernilai dalam jangka panjang. Itulah sebabnya, penyanyi handal, tak akan mudah menyumbangkan suaranya di sembarang waktu dan tempat. Sebab, suara yang dimilikinya selalu dihargai dan dipelihara agar tetap punya nilai.
Suara bagi seorang penyanyi merupakan modal besar agar memberikan nilai sosial dan ekonomia sepanjang hidupnya. Begitu pentingnya arti suara bagi penyanyi, tak jarang seorang penyanyi professional tak bersedia tampil di panggung begitu menilai musik pengiringnya asal-asalan. Sebab, bila hal itu terus dipaksakan justru akan merusak reputasi dan profesionalisme yang dipeliharanya bertahun-tahun.
Begitulah, seorang penyanyi menempatkan kemolekan suaranya sebagai suara pilihan. Sang penyanyi memiliki hak prerogatif untuk memunculkan suaranya atau tidak. Suara pilihan memang harus selalu terjaga dan tidak mudah terhamburkan secara murahan. Oleh sebab itu, penyanyi akan selalu menjaga keutuhan suara dari segala gangguan yang dapat merusak kualitas suara.
Suara bagi seorang saksi dalam suatu kasus pengadilan mempunyai makna dan nilai yang lain lagi. Bahkan suara para saksi itu sangat mahal harganya. Itulah sebabnya ketika digelar sebuah lomba menyanyi di kalangan pengadilan dengan para peserta berasal dari pihak-pihak yang berperan dalam proses hokum, terjadi keanehan. Ketika perwakilan hakim, jaksa. Polisi dan tersangka tampil di panggung, secara lincah dan mudah mereka melantunkan suara emasnya. Tapi, seorang peserta terakhir, sejak awal berada di panggung hanya diam membisu, meskipun musik pengiring sudah berbunyi hangar-bingar. Para juri dan penonton makin penasaran.
Usai penampilan yang sangat mengecewakan itu, peserta lomba terakhir ini pun ditanyai wartawan terkait aksi diamnya di panggung.
“Kenapa Anda hanya diam dalam lomba mkenyanyi ini?” Tanya wartawan antusias.
Peserta lomba ini pun berterus terang.
“Maafkan saya karena telah mengecewakan banyak orang. Saya sengaja tidak bersuara karena sebenarnya saya ini perwakilan dari saksi pengadilan. Sebagai saksi, saya harus hati-hati ‘menyanyi’. Banyak kasus berantakan, karena para saksinya ‘menyanyi’ suka-suka…” jawab peserta lomba apa adanya.
Suara memang tidak hanya sekadar gerakan vibrasi yang meluncur dari mulut seseorang saat bersuara. Suara bisa jadi memiliki nilai kedaulatan yang mengguncangkan dunia. Suara yang terjaga dan terpelihara akan memiliki kewibawaan yang dihargai semua orang. Pepatah Melayu lama berbunyi : “mulutmu, harimau kamu..” Artinya, kata-kata (baca: suara) seseorang akan dapat mematikan diri sendiri atau orang lain bila tidak dipergunakan sebagaimana layaknya.
Suara (vote) dalam makna politis mempunyai dimensi lain lagi. Hak suara seseorang dalam setiap pemungutan suara (election) benar-benar bernilai sangat asasi. Tak ada bedanya suara seorang tukang becak dengan suara seorang presiden saat berada di bilik suara. Itulah sebabnya, asas Pemilu di semua negara akan bersifat langsung, umum, bebas dan rahasia. Saat seseorang berada di bilik suara, tak ada pihak mana pun yang dapat melakukan intervensi dalam bentuk apa pun.
Suara yang diberikan untuk memilih seorang pemimpin, tentulah bersifat sangat asasi. Tak ada yang dapat mengintervensinya. Apalagi pilihan dalam dunia politik mempunyai peluang kebebasan dalam menentukan sikap. Semua orang tahu, bagaimana Gubernur California, Arnold Schwarzeneger, aktor film laga merupakan pendukung Partai Republik yang beerseberangan dengan isterinya sendiri pendukung Partai Demokrat. Ternyata tak ada hal serius yang dapat mengganjal hubungan suami-isteri itu. Kenapa? Kematangan politik membuahkan hasil munculnya sikap toleransi yang demikian besar.
Di Indonesia, pengalaman dan kematangan politik kita masih perlu diasah dan diuji. Berbeda pendapat saja sudah bisa menimbulkan perkara panjang. Apalagi berbeda pendapatan. Ini negeri yang sedang berkembang dan terus berusaha menemukan jatidiri dengan tempaan pengalaman yang masih panjang. Menikmati kemerdekaan secara harfiah selama lebih setengah abad ternyata belum cukup mendewasakan kita. Masih diperlukan pembelajaran demi pembelajaran hingga kita menemukan makna kematangan politik itu yang terimplementasi di dalam kehidupan sehari-hari.
Suara dalam tataran politik kita diperebutkan demikian hebat dan dahsyatnya. Apalagi suara para pemilih pemula atau orang-orang yang berada di tataran grass root (akar rumput) yang lugu dan polos. Jauh dari trik dan akal-bulus yang mengharapkan keuntungan sesaat. Makanya, dalam demokrasi awal yang dimunculkan pada masa Yunani dulu, ada adagium : Lex populi…(Suara rakyat adalah suara Tuhan). Begitu tulusnya suara yang dimiliki rakyat yang belum tersentuh kepentingan-kepentingan yang mendangkalkan pikiran dan hati nurani.
Namun, dalam perkembangan demokrasi di mana-mana, cara-cara ‘Abu Nawas’ (baca: penuh tipu-daya) boleh saja terjadi. Cara yang paling mudah tak lain memberikan bingkisan atau iming-iming sesuatu yang dapat mengubah pilihan. Uang bisa jadi penentu kemenangan meski pun cara-cara begitu sangat tidak elegan. Tapi, demokrasi kita memang masih sampai pada batas-batas serupa itu. Sebab, bila kita tidak melakukan ternyata pihak lawan lebih agresif dan pro-aktif dalam merebut simpati kalangan rakyat kecil yang lugu.
Jangan heran, bila hasil sebuah Pilkada atau Pemilu bisa berbeda sangat signifikan dibanding upaya memperoleh dukungan suara melalui kampanye yang berapi-api dan berbusa-busa. Bahkan, perlu dipertanyakan, seberapa jauh arti penting kampanye bila dibandin ‘serangan fajar’ atau ‘tebar pesona’ yang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat kecil berupa BLT (bantuan langsung takluk), paket makanan atau bingkisan lainnya.
Ada anekdot ringan bagaimana kesetiaan pilihan politik seseorang. Konon, di Madura, saat hasil Pemilu sebuah partai besar sangat mengecewakan dibanding janji rakyatnya untuk mendukung partai tersebut. Alasannya sederhana seperti pengakuan salah seorang rakyat: “Soal setia, 24 jam kami mendukung parpol Bapak. Hanya saja, 5 menit di bilik suara saja kami tak setia. Setelah itu kami dukung partai Bapak lagi. Berarti kami masih banyak setianya ‘kan, Pak?” Si jurkam partai besar hanya bisa melongo. Sedih.***

THE SPEECH AND THE WORDS WITHOUT MEANING

Dear Lovely Reader,
When Senator Barrack Husein Obama give many speech in campaign for US President, all audience became surprise. The Obama speech has selected words and meaning-full. Some communication expert analized that the Obama speech as alike with the US Black Leader, Dr Martin Luther King. So, how about the speech of our leader?

POT apa Pot itu Pot kaukah Pot aku
Pot Pot Pot
yang jawab Pot Pot Pot Pot kaukah Pot itu
yang jawab Pot Pot Pot Pot kaukah Pot aku
Pot apa
Pot itu
Pot kaukah
Pot aku
Pot

Pernahkah Anda membaca atau mencoba memahami puisi Pot yang digubah Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri di atas? Orang awam akan susah mencari maknanya. Memang, puisi tersebut menjadi cerminan yang amat menguatkan atas lahirnya Kredo Puisi-nya Sutardji yang menghebohlan jagad sastra Indonesia yakni ‘bebaskan kata dari makna!’
Lantas, bayangkanlah berapa banyak kata-kata yang meluncur dari lidah dan bibir hampir dua miliar manusia di muka bumi? Berapa banyak pula pidato yang terlontar di muka publik setiap saat sepanjang peradaban manusia di dunia. Dan ketika kata-kata itu terhambur begitu saja tanpa charisma, apa sebenarnya yang terjadi.
Ya, pidato merupakan medium menyampaikan pesan kepada khalayak guna memperbaiki keadaan atau membuat perubahan di mana-mana. Pidato itu bisa berupa wejangan fatwa, nasihat, tamsil, sindiran atau apa pun yang meluncur dari kalangan pemimpin, orangtua, guru, professor atau pihak yang ‘didulukan selangkah, ditinggikan seranting’ dari orang kebanyakan.
Bila ada pidato yang kehilangan makna sehingga tak mampu memukau public, sesungguhnya kata-kata memang semakin kehilangan makna. Tak ada lagi magic word yang dapat dijadikan ikutan bagi khalayak. Bukankah hal ini terkait soal pudarnya kharisma tokoh-tokoh yang menjadi panutan umat.
Sepanjang sejarah kehidupan ternyata banyak pidato-pidato yang mencerahkan sehingga dikenang sepanjang masa. Hal ini bolej jadi dipicu ketika kandidat Presiden AS dari Partai Demokrat, Barack Hussein Obama berpidato di depan Konvensi Partai Demokrat di Denver, 27 Agustus lalu. Penampilan Obama yang amat memukau 40 juta penonton TV di negara Paman Sam itu mendobrak pandangan miring dari pihak lawan atas kepiawaian Obama. Berkali-kali, hadirin memberikan standing ovation atas kalimat-kalimat bersayap Obama yang memberikan harapan bagi masa depan AS yang dipandang mulai pudar di tangan Presiden George W Bush.
Pidato Obama yang sekaligus menjadi ikrar kesediaannya dicalonkan sebagai kandidat Presiden AS, serta mengumumkan kandidat Wapres Biden, empat tahun ke depan berhadapan dengan kandidat Presiden-Wapres, John McCain-Palin. Banyak catatan menggerunkan yang dibuat setelah pidato Obama yang mencerahkan itu. Saluran TV CNN yang presitisius telah menyiarkan langsung Konvensi Partai Demokrat termasuk pidato Obama tanpa dipotong yang menunjukkan konvensi tersebut lebih penting dibanding acara final ‘American Idol” atau anugerah insane filem Oscar.
Kehebatan Obama dalam berpidato memang sudah tampak ketika pada Konvensi Partai Demokrat 27 Juli 2004, Obama membacakan pidato yang selalu dikenang publik dunia berjudul The Audacity of Hope. Bahkan, para pengamat mencatat bahwa pidato Obama dalam konvensi terakhir itu hanya berada di bawah rating pidato legendaries tokoh kulit hitam, Martin Luther King yang dikenal dengan jargon ‘I Have a Dream’ yang dijadikan sebagai tonggak perjuangan persamaan hak atau anti-diskriminasi.
Tampilnya Obama menjadi bintang kejora dalam Konvensi Partai Demokrat yang dihadiri 75 ribu hadirin tersebut ternyata tidak muncul tiba-tiba. Kebiasaan anak-anak dio AS untuk berdebat dan saling mengutarakan pendapat dalam banyak hal telah melatih spontanitas dan kemampuan public speaking yang tak tertandingi. Penggunaan kata-kata pilihan yang selalu disambut tepuk-tangan hadirin atau helaan napas yang teratur dengan aksen-aksen yang sangat ditunggu hadirin, makin menyempurnakan kehadiran sosok seorang Afro-Amerika yang akan memecahkan mitos kepemimpinan negara adi-kuasa AS itu.
Pidato dan penampilan Obama di panggung politik telah memberikan inspirasi bagi banyak tokoh-tokoh muda di dunia termasuk Indonesia. Tradisi pidato di negeri kita yang cenderung berkepanjangan bagai tak ada ujungnya memang telah menempatkan ritual pidato sebagai hal yang membosankan. Kemampuan public speaking para pemimpin kita yang terbatas bisa menjadi bumerang atas tradisi pidato yang sudah berusia lama. Padahal, sebuah pidato yang dikemas dengan kata-kata beradab dan penuh makna serta disampaikan dengan teknik orasi yang memukau, ternyata bisa menjadi hiburan publik yang menimbulkan decak kagum banyak orang.
Pidato yang berisi himpunan kata-kata yang penuh janji dan harapan harus memiliki makna tanggungjawab yang dalam di mata publik yang mendengarnya. Pidato politik selalu diragukan keabsahan implementasinya. Itulah sebabnya, pidato yang berisi janji-janji politik di negeri kita hanya bagaikan tiupan angin yang tak berbekas. Setelah seorang pemimpin duduk di singgasana politik, biasanya begitu mudah melupakan janji-janji yang pernah ditabur di panggung pidato yang mengharapkan dukungan publik sebanyak-banyaknya.
Pidato pun harus punya beban makna agar mudah dipahami oleh publik dan dimintai pertanggungjawabannya. Bila tidak, pidato-pidato semacam itu hanya menjadi sampah yang tak menimbulkan efek apa-apa. Sebaliknya, pidato-pidato kharismatik yang pernah diucapkan para pemimpin besar dunia sepanjang sejarah selalu diulang untuk menggelorakan semangat motivasi untuk bangkit menjangkau peradaban yang terbentang.
Upacara Pidato Kenegaraan di Indonesia yang disampaikan Presiden setiap tanggal 18 Agustus di masa rezim Orde Baru tentu saja menjadi tradisi pidato terpanjang yang menguras waktu yang panjang. Setidak-tidak, setengah hari para hadirin harus duduk dan berkurung diri di sebuah gedung besar. Lantas, dampak pidato-pidato itu sebenarnya bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat yang selalu menunggu dan menungu kemakmuran sebagaimana ditoreh di dalam Pasal 33 UUD 1945 yang jadi hapalan setiap generasi.
Dalam ajaran Islam, menyampaikan pidato atau kata-kata punya etika agar bermakna bagi orang banyak. Sebuah Hadits Rasulullah menyatakan ‘fal yakun khairon, au liyasmud…’ (hendaklah sesorang berkata yang baik atau lebih baik diam..).***

PHK

Dear All,
That's only three alphabet : P-H-K. It's mean : Pemutusan Hubungan Kerja.When it come on some one -may be our selve- so, the future of life will disturb. When Global Crisis has come, many companies take action to reduce their employees. Before, all company said: No Work, No Pay. So, in crisis eara, they will say: No many, No Work.

MAKHLUK apakah yang paling ditakuti para pekerja di masa-masa krisis global seperti sekarang? Jawaban sederhananya: PHK alias Pemutusan Hubungan Kerja. PHK boleh datang dan pergi secara tiba-tiba tanpa terkendali. PHK itu bagaikan maut yang datang tanpa aba-aba. Bisa dibayangkan bagaimana seorang pekerja yang terkena PHK begitu terkejut setengah mati ketika pihak HRD atau personalia perusahaan tempatnya bekerja memberitahu bahwa dirinya termasuk salah seorang yang terkena program rasionalisasi karyawan.
Di masa krisis global sekarang, isu PHK bukan lagi isapan jempol belaka. Perusahaan-perusahaan besar dunia yang sudah jadi mitos bisnis sejak dulu juga tak bisa mengelak dari tindakan tidak popular. Mau tahu, perusahaan apa saja yang sudah ambil ancang-ancang melakukan PHK terhadap karyawannya?
Setidak-tidaknya tercatat lima perusahaan automotif kelas dunia yang bakal mem-PHK para karyawannya. Produsen pesawat Boeing, produsen mesin pesawat Rolls-Royce, produsen automotif PPSA Peugeot-Citroen, Isuzu Motor dan perusahaan perbankan Deutsch Bank secara total bakal mem-PHK 7.800 karyawannya di seluruh dunia. Ditambah pula Citigroup yang memiliki karyawan di seluruh dunia mencapai 53 ribu orang juga bakal melakukan pemangkasan atas karyawan.
Tindakan PHK bagi perusahaan merupakan keniscayaan ketika biaya produksi dan operasional sudah tidak berimbang dengan keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan produk. Penurunan permintaan produk yang begitu tajam akibat kesulitan dana secara global mengakibatkan semua industri melakukan pengurangan produksi secara drastis. Bila hal ini tidak dilakukan maka terjadilah pemborosan biaya yang lama-kelamaan akan membawa kebangkrutan perusahaan.
Menjadi karyawan di sebuah perusahaan memang bukanlah pilihan yang cerdas. Apa yang diungkapkan Robert T. Kyosaki, seseorang yang ingin berubah nasibnya harus punya keberanian untuk pindah kuadran posisi dari orang yang makan gaji ke kuadran owner (pemilik) ssuatu usaha betapa pun kecilnya. Namun, menuju ke posisi itu memerlukan talenta dan keberanian akan menghadapi risiko yang dibungkus oleh spirit of entrepreneurship (kewiraswastaan). Betapa banyak orang sudah mencoba menjadi owner suatu usaha namun berakhir dengan kegagagalan.
Menilik kisah sukses banyak pengusaha yang kini mempunyai nama besar perusahaan yang branded, tak ada yang bisa meraih sukses tanpa mengalami ‘jatuh-bangun’ yang tak dikehendaki. Nama besar merupakan modal sosial yang memungkin seseorang dapat membuka lapangan usaha atau bisnis secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Banyak karyawan lupa menata diri ketika perusahaan tempatnya bekerja masih berjalan atau beroperasi dengan baik. Hidup menjalani rutinitas dengan tugas dan fungsi yang sudah baku kemudian menerima gaji bulanan sesuatu jadwal yang sudah ditetapkan pihak perusahaan. Kemapanan hidup seperti itu pada hakikatnya tak lebih dari sesuatu yang semu bagaikan fatamorgana yang bisa hilang secara tiba-tiba.
Kisah ‘Who Move My Cheese’ (Siapa yang memindahkan keju saya?) yang banyak beredar di internet bolehlah menjadi renungan siapan saja. Bagaimana sesungguhnya kemamapanan akan status quo –di mana dan kapan pun- sering membuat seseorang tidak kreatif atau berkembang. Dikisahkan, sejumlah tikus menggantungkan makanannya dari keju yang disimpan si pemilik rumah di dalam sebuah lemari. Setiap pagi, tikus-tikus itu menggerogoti potongan keju tanpa berusaha keras mendapatkannya. Begitulah, kejadiannya berlangsung bertahun-tahun. Akibatnya tikus-tikus itu menikmati rezekinya tanpa berpikir banyak karena keju tersebut selalu ada sebagai bekal makanan si pemilik rumah.
Suatu hari, tikus-tikus itu kelimpungan dan kehilangan keseimbangan karena saat akan mengambil potongan keju ternyata keju tersebut sudah tidak ada lagi di tempatnya. Bayangkan bagaimana paniknya tikus-tikus itu karena keju yang biasanya diperoleh dengan mudah ternyata sudah tidak ada lagi di tempatnya. Mereka berdebat dan berdiskusui sambil saling bertanya: siapa yang telah memindahkan potongan keju itu?
Begitulah analogi para karyawan yang bekerja bertahun-tahun di perusahaan tanpa merasa perlu melakukan inovasi selama masa tugasnya. Si karyawan akan terbenam oleh rutinitas yang sudah tidak menantang lagi. Akibatnya, ia hanya bekerja dan bekerja tanpa perlu mengasah talenta yang dimiliki padahal talenta itu bisa memberikan bekal lebih dalam hidupnya.
Prestasi kerja merupakan sesuatu yang harus dikejar dan ditunjukkan karena dunia kerja adalah dunia prestasi. Jangan pernah menyembunyikan potensi yang dimiliki karena hal itu akan merugikan diri sendiri. Boleh jadi atasan tempat bekerja tidak melihat keunggulan yang dimiliki sehingga bakal menghambat karir atau jabatan. Hiduplah apa adanya dengan memperlihatkan sesuatu yang alamiah tanpa perlu direkayasa. Tak ada gunanya memelihara sifat buruk menjilat atau ‘angkat lampah’ pada atasan karenaq sifatnya tidak akan pernah abadai.
Hanya karyawan yang punya keyakinan akan prestasi dan potensi diri saja yang tak akan pernah takut menghadapi segala situasi terburuk termasuk kasus PHK yang mengancam di mana-mana. Jangan-jangan PHK pun merupakan alternative untuk mendapatkan karir baru melalui talenta yang tak pernah diuji atau dimanfaatkan selama ini. Orang-orang yang terkena PHK biasanya akan lebih kreatif memikirkan alternatif kerja yang tak pernah diduga sebelumnya.
Jangan-jangan, potongan keju itu sedang bermain-main di ruang lain sementara panca indera kita tak begitu jeli melihat dan menangkapnya. Mana tahu? ***

ORANG-ORANG PILIHAN

Dear Lovely Reader,
All people have a dream to be come selected people during in their life. But,m not all of them can be. We should effort to get it...whenever and whereever..!

IWAN FALS pernah melambungkan lagu ‘Aku Bukan Pilihan’. Padahal, hamper semua orang di dunia ini punya mimpi menjadi orang pilihan. Orang yang mempunyai kelebihan disbanding orang kebanyakan. Orang yang mempunyai keistimewaan. Orang-orang serupa ini tentu boleh berasal dari kalangan mana saja. Tak harus orang kaya, berpangkat atau aristokrat. Orang pilihan boleh muncul dari seleksi alamiah atau hasil tempaan pengalaman yang tak terduga.
Puasa Ramadhan merupakan kawah penempaan keimanan seseorang. Banyak ujian dan cobaan yang disuguhkan melalui aturan-aturan ritual syar’iyah yang tak dapat diganggu-gugat. Ada aturan main yang ketat perlu dijalani bila ingin mendapatkan hasil optimal dari tempaan puasa itu. Sebagaimana janji Allah, orang yang dinyatakan lulus ujian selama tempaan Ramadhan itu tak lain insane yang taqwa (La’allakum tattaquun).
Puasa Ramadhan dapat ditamsilkan sebagai perkuliahan singkat (short course) yang amat menentukan perjalanan keimanan seseorang. Banyak tindakan paradoksal yang diperlihatkan Allah kepada semua umatnya agar benar-benar teruji. Bayangkan, selama sebulan penuh, seorang Muslim harus melakukan ritual puasa dalam arti yang substansial : tak boleh makan, minum dan berhubungan badan dengan pasangannya pada siang hari. Padahal, di luar bulan Ramadhan, justru perbuatan-perbuatan halal itu begitu mudah dan nikmat dilakukan.
Puasa Ramadhan bisa menjadi batu ujian yang hasilnya sangat terukur. Setiap orang benar-benar dibuat mengalami culture shock karena hal-hal yang lazim dilakukan tiba-tiba berubah diharamkan. Ini dimaksudkan agar muncu kesadaran baru untuk menghargai sesuatu yang selama ini begitu mudah diraih. Coba renungkan, bagaimana mungkin orang-orang yang berlimpah harta tiba-tiba dibatasi untuk menikmati sesuatu. Daya tahan untuk mengikuti syariat puasa itulah sebenarnya menjadi dasar ujian keimanan itu. Bagi orang yang kuat menjalaninya dengan dorongan keimanan dan kesabaran, niscaya hasilnya akan sangat menggembirakan.
Tetapi, Allah tidak semata memberikan ancaman-ancaman belaka bagi orang yang mengingkari syariat puasa itu. Sebaliknya, bagi orang yang sungguh-sungguh melaksanakannya selama sebulan penuh, Allah berjanji akan mengampuni dosa-dosanya yang sudah berlalu. Sebuah hatits Rasulullah berbunyi: Man shoma ramadahana imanan wahtisaban, ghufirolahu ma taqaddama min zambih..(Barang siapa yang yang bersuka-cita memasuki bulan suci Ramadhan, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa yang lalu). Nikmat apa lagi yang lebih besar dibandingkan adanya pengampunan dosa-dosa yang pernah dilakukan.
Selain itu, Allah juga menjanjikan akan mengampuni dosa-dosa seseorang bila ikut mendirikan (man qoma) Ramadhan dengan melaksanakan ritual sunnah dengan tetap menjaga kemuliaan bulan Ramadhan itu. Sebutlah, amalan sholat tarawih, witir, tadarus al Quran, dzikir, tahajjud, I’tiqaf di dalam masjid dan sebagainya. Ibarat short course tadi, amalan-amalan itu menjadi analog dengan materi pembelajaran selama kursus berlangsung. Termasuk ketaatan untuk hadir dalam setiap sesi pelajaran yang cukup beragam.
Selama Ramadhan pula, Allah memberikan kelipatan pahala atas setiap amal yang dilakukan. Amalan wajib di bulan biasa mempunyai kelipatan pahala mencapai 70 kali. Amalan sunnah di bulan Ramadhan dinilai setara dengan amalan wajib. Bonus-bonus serupa ini semestinya menjadi daya tarik (magnitude) bagi setiap orang untuk berlomba-lomba berbuat amal-kebajikan. (Fastabiqul khairat). Jadi, Allah benar-benar menerapkan reward and punishment sejati. Artinya, orang yang berprestasi akan diberi penghargaan. Sebaliknya orang yang gagal atau kalah menjalani Ramadhan ini juga akan mendapat kelipatan dosa dan ganjaran yang besar.
Lebih 1,2 miliar orang Muslim di dunia yang menjadi peserta short course Ramadhan selama sebulan penuh itu. Setiap orang tentu saja berharap meraih kelulusan yang paling sempurna (summa cumlaude). Para lulusan sempurna inilah sesungguhnya yang menjadi orang-orang pilihan di mata Allah. Nilai kemuliaan yang dijunjungnya tentu tak hanya sebatas kasat-mata lebih dari itu akan terpancar dari sikap dan perilakunya di bulan-bulan berikutnya.
Sama saja dengan orang yang meraih haji mabrur, jangan pernah diukur dari lilitan sorbannya. Namun, lebih teteroka melalui sikap dan tingkah-lakunya. Sebab, untuk menjadi orang-orang pilihan hasil tempaan Ramadhan atau para haji Mabrur, tidak akan tanda-tanda fisik yang mengukuhkannya.
Orang-orang pilihan Ramadhan hasil tempaan selama sebulan ‘diwisuda’ pada 1 Syawal dengan merayakan Idul Fithri. Betapa indah dan nikmatnya sebuah proses tempaan jiwa dan keimanan yang terstruktur dan terjadwal sehingga mampu memberikan motivasi bagi seseorang untuk meningkatkan amal-kebajikannya. Keyakinan diri akan meraih predikat ‘orang-orang pilihan Ramadhan’ itu tentu tak semudah proses assesment atau fit and proper test yang banyak dilakukan dalam ketatanegaraan kita. Perbedaan yang paling mendasar, pihak penilai dalam menentukan orang-orang pilihan Ramadhan adalah Allah yang mempunyai sifat Maha Adil yang tak ada bandingannya dalam kehidupan umat manusia.
Ketika 1 Syawal datag, lihatlah kumpulan orang-orang pilihan Ramadhan yang patut merayakan kemanangan atas keberhasilannya menaklukkan hawa nafsu yang menggerogoti keimanannya selama ini. Prestasi menaklukkan hawa nafsu yang menjadi esensi puasa Ramadhan memang tak mudah diraih. Apalagi Rasulullah pernah menuturkan di dalam sebuah hadits, begitu usai Perang Badar yang dipandang sebagai perang terbesar dalam perababan umat Islam menaklukkan kaum kafir. Rasulullah bersabda : “sesungguhnya perang yang lebih besar adalah perang melawan hawa nafsu.”
Mudah-mudahan, diri kita termasuk salah seorang di antara banyak orang dalam deretan ‘orang-orang pilihan’ di mata Allah. ***