Tuesday, June 02, 2009

MANOHARA

KETIKA Daisy Fajarina, ibunda model cantik, Manohara Odelia Pinot berharap dapat berita orisinal dari menantunya, Pangeran Tengku Muhammad Fakhry dari Kelantan, Malaysia, ternyata yang datang hanyalah Misda, seorang pembantu rumah tangga. Padahal, pihak Indonesia melalui jalur diplomatik terus berusaha menghubungi keluarga putra mahkota kesultanan Kelantan untuk mendapatkan klarifikasi. Kasus ‘pemerkosaan dan penculikan’ model cantik Indonesia, Manohara yang kini dipersunting Tengku Fakhry tidak hanya sebatas kasus hubungan rumah tangga melainkan melibatkan G to G –dua negara jiran serumpun: Indonesia-Malaysia.
Begitulah cara Malaysia ‘melecehkan’ saudara tuanya, Indonesia yang terus berlangsung sejak dulu dengan semangat arogansi. Padahal, jejak rekam sejarah setelah era ‘Ganyang Malaysia’ tahun 1960-an menunjukkan bagaimana ketergantungan negeri jiran itu pada Indonesia. Dulu, ribuan guru Indonesia didatangkan ke Malaysia. Dan ribuan mahasiswa Malaysia berlomba-lomba menuntut ilmu di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.
Hubungan kultural Indonesia –khususnya Riau- dengan Malaysia di masa jaya kerajaan Melayu Riau-Johor, Tumasik dan Melaka tiba-tiba ‘retak’ begitu saja. Padahal hubungan persebatian kedua negara serumpun semestinya laksana ‘mencencang air yang tak akan pernah putus.’ Mayoritas penduduk Malaysia justru masih hubungan kait-kelindan dan saudara-mara dengan orang-orang Indonesia. Lihatlah di sejumlah negara bagian Malaysia masih didominasi orang-orang dengan kultur etnik Indonesia baik yang berasal dari tanah Melayu Riau sendiri maupun Jawa, Bugis, Minangkabau, Boyan dan sebagainya.
Nasib Malaysia memang ditakdirkan lain. Negeri itu melesat laju di bidang ekonomi dalam rentang waktu 30 dasawarsa tiba-tiba telah menjadi salah satu pusat pertumbuhan di kawasan Asia Tenggara. Kebangkitan Malaysia menjadi newly industries country telah membalikkan fakta masa silam bagi Indonesia. Malaysia kini menjadi tumpuan harapan jutaan pekerja Indonesia terutama untuk sektor informal –pembantu rumah tangga, buruh, supir dan pekerja kasar lainnya- yang nasibnya mengalami pasang-surut tak berkesudahan.
Banyak kasus nestapa buruh migran Indonesia atau TKI yang terlunta-lunta dan diperlakukan tidak terhormat di negeri jiran seperti pernah dialami Nirmala Bonat dan masih ada ratusan lainnya. Secara psikologis, dominasi TKI di negeri Melayu tersebut justru dipandang rendah dan dilecehkan secara generative dengan panggilan ‘Indon’. Memang, sebutan Indon itu kira-kira samalah dengan sebutan ‘inlander’ yang pernah dipopulerkan penjajah Belanda atas orang-orang pribumi Indonesia di masa silam.
Pelecehan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia yang diperkirakan mencapai 3 juta orang –separuhnya merupakan TKI resmi, terus berlangsung. Penangkapan atas TKI illegal atau tuduhan kriminal yang belum tentu benar atas TKI kita selalu berujung di penjara yang diperlakukan tidak manusiawi. Belum lagi para pembantu rumah tangga yang dianiaya oleh para majikan orang Malaysia yang kurang mendapat pembelaan secara hukum dari pihak pemerintah Malaysia.
Padahal, semua orang tahu, para TKI itu di masa Pilihan Raya (Pemilu) selalu dimanfaatkan oleh partai pemerintah untuk mendapatkan dukungan suara bagi kemenangan pihak puak Melayu atau bumiputera.
Pelecehan demi pelecehan yang dilakukan pihak Malaysia terus saja bergulir. Sekadar mengingat kembali, ada kasus klaim Malaysia terhadap pulau Sipadan-Ligitan tahun 2002 yang akhirnya dimenangkan Malaysia di Mahkamah Internasional. Pencaplokan pulau-pulau Indonesia yang bersempadan dengan Malaysia itu belum berakhir. Tahun 2005, Malaysia kembali mengklaim kawasan Ambalat bermula dari perlakuan pemerintah Malaysia yang memberi konsesi kepada perusahaan minyak Amerika, Shell untuk melakukan eksplorasi di Laut Sulawesi itu. Malaysia mengklaim blok Ambalat yang berada di perairan Karang Unarang tersebut sebagai miliknya.
Sejarah sudah menegaskan berdasarkan deklarasi Juanda 1957, pulau tersebut terang-terangan milik Indonesia. Deklarasi Juanda sendiri pada tahun 1959 telah diadopsi oleh PBB ke dalam Konvensi Hukum Laut. Hingga kini, kasus Ambalat ini masih menjadi ‘puncak gunung es’ konflik antara kedua negara.
Belum lagi pemukukan wasit karate asal Indonesia dalam pertandingan sukan (olahraga) yang semestinya mengedepankan sportifitas. Begitu pula, klaim atas lagu “Rasa Sayange” sebagai milik mereka. Masih ada kasus penangkapan Muslianah, isteri seorang diplomat Indonesia -Atase Pendidikan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia- oleh Relawan Rakyat Malaysia (Rela) pada penghujung tahun 2007, yang memperlakukannya seolah-olah sebagai pendatang haram. DPR dan KBRI pun sempat melayangkan surat protes, bahkan Fraksi PAN menuntut diputuskannya hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Sensitifitas hubungan Indonesia-Malaysia tampaknya bakal serinh terjadi karena nilai-nilai kultural yang semestinya dapat merekat hubungan emosional penduduk kedua negara terasa kian luntur. Malaysia yang kian mengarah menjadi kapitalisme baru di kawasan Selat Melaka kian melupakan makna hubungan kultural negeri serumpun. Sikap angkuh ini boleh jadi untuk menebus luka sejarah di masa Konfrontasi Indonesia-Malaysia yang tak akan pernah dilupakan kedua negara.
Kesamaan akar budaya dan agama Islam –yang mendominasi kedua negara- ternyata tak cukup untuk meredam konflik atau pertikaian yang terjadi. Oleh sebab itu, jangan heran bila pada setiap konflik yang muncul dalam hubungan kedua negara, teriakan yel-yel ‘Ganyang Malaysia’ selalu mengemuka dari orang-orang Indonesia. Teriakan itu tentu saja sebagai refleksi atas perlakuan kurang terpuji atas orang-orang Indonesia di Malaysia yang terus menggumpal menjadi ‘dendam’ manusiawi.
Kasus Manohara yang diawali dengan ‘perkosaan’ oleh seorang keluarga Kesultanan Kelantan yang dilanjutkan ke jenjang pelaminan, memang padamulanya hanyalah urusan privasi suami-isteri. Namun, pengakuan ibunda Manihara, Daisy Fajarina yang memberikan kesaksikan bahwa banyak perlakuan tak wajar yang dialami Manohara –kelainan seksual Tengku Fakhry dan tindak kekerasan dalam rumah tangga- membuat persoalan ini pasti bersentuhan dengan domain hukum.
Tidak terbukanya pihak aparat penegak hukum dan pemerintahan Malaysia atas kasus Monahara ini dipastikan menimbulkan ketegangan kedua negara. Sikap ini sekali lagi memncerminkan arogansi dan upaya pelecehan sebagai pengulangan atas kasus-kasus sebelumnya. Di sisi lain, pihak Indonesia masih saja bersabar sambil menantikan perubahan sikap pemerintah Malaysia yang lebih santun sebagaimana diajarkan dalam nilai-nilai tunjuk-ajar Melayu.
“Sudahlah, Encik, jangan lagi lecehkan kami!” Boleh jadi. Hanya inilah ungkapan yang dapat menggetarkan arogansi negeri jiran itu. Sekaligus menyadarkan bahwa Indonesia-Malaysia itu negeri sejiran dan serumpun Melayu. ***

EMANSIPASI POLITISI PEREMPUAN

POLITISI perempuan Indonesia bolehlah bernapas agak lega. Pasalnya, pengumuman verifikasi KPU tentang daftar nama-nama anggota DPR RI periode 2009-2014 telah memastikan sejumlah 101 caleg perempuan mengisi kursi dewan terhormat dari 560 orang yang ada. Ini bermakna, keterwakilan kaum perempuan mencapai 18,3 persen. Kondisi ini ternyata jauh lebih baik dibanding periode 2004-2009 yang hanya 61 orang dari 550 orang (11 persen). Meskipun sebenarnya masih berada jauh dari target 30 persen yang diimpikan sejak lama.
Sumbangan parpol terbesar bagi caleg perempuan yag menempati Gedung Senayan dari Partai Demokrat sebanyak 37 orang. Selanjutnya diisi oleh PDIPsebanyak 19 orang dan urutan ketiga ditempati Partai Golkar sebanyak 17 orang. Selebihnya diisi oleh enam parpol lain yang dinyatakan lolos dalam parliamentary electoral treshold minimum 2,5 persen.
Realitas ini setidaknya dapat menjawab kekhawatiran semakin ‘terpinggirkan’ perwakilan perempuan di jajaran lembaga legislatif itu. Bahkan sebelumnya, diwanti-wanti agar keterwakilan kaum perempuan harus mencapai 30 persen di lembaga tersebut. Apalagi sebelumnya KPU menetapkan apabila sistem perolehan suara ditentukan berdasarkan nomor urut akan diberlakukan sistem proteksi di mana setiap 2 orang caleg laki-laki harus diisi oleh caleg perempuan.
Sistem penetapan anggota legislatif dengan suara terbanyak ternyata telah memberikan peluang free competition bagi caleg perempuan. Persaingan mereka dengan caleg laki-laki tanpa perlu mendapatkan hak istimewa atau proteksi tentu saja memberikan kepercayaan yang tinggi untuk menunjukkan kepiawaian dan pengaruh mereka dalam bergelut di kancah politik Indonesia.
Upaya mengedepankan peran perempuan di domain politik Indonesia tentu tak lepas dari perjuangan emansipasi kaum perempuan yang tekah diperjuangkan jauhnhari oleh Raden Ajeng Kartini. Bahkan, isu emansipasi menggelinding begitu bebas dengan segala multi-tafsir yang selalu bermuara pada hegemoni kaum perempuan dan kaum laki-laki.
Peranan kaum perempuan di kancah politik Indonesia telah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda dan Jepang hingga masa pergerakan mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Di masa perjuangan, para pejuang perempuan telah menorehkan tinta emas sejarah yang terus dikenang oleh bangsa kita seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Rasuna Said dan masih banyak lagi.
Di masa awal kemerdekaan dan pembangunan, sejumlah politisi perempuan juga memperlihatkan peranan yang luar biasa. Sebutlah nama-nama besar seperti SK. Trimoerti, Herawati Diah, Aisyah Amini hingga generasi kini yang muncul dalam beragam profesi yang dapat mengharumkan nama bangsa.
Di bidang sains dan teknologi, banyak nama perempuan Indonesia yang mencengangkan banyak pihak karena keahlian yang dimilikinya seperti pernah ditunjukkan oleh seorang Dr. Pratiwi Sudarmono, calon antariksawan Indonesia pertama. Meski gagal berangkat dalam misi luar angkasa Amerika Serikat, namun Pratiwi sudah menjadi ikon keandalan perempuan Indonesia sejak dulu.
Era kebangkitan kaum perempuan secara global sebenarnya telah diramalkan oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000. Sejumlah Negara di dunia telah mempercayakan peran Kepala Pemerintahan dan para Menteri Kabinet mengurusi berbagai bidangb yang dulunya hanya didominasi kaum pria. Misalnya tradisi politik di India telah memunculkan nama harum kaum perempuan, Indira Gandhi yang diikuti oleh menantunya, Sonia Gandhi. Di Pakistan sejumlah kaum perempuan perkasa di bidang politik telah berhasil menguasai pemerintahan seperti ditunjukkan oleh Benazir Buttho. Begitu pula di Bangladesh dengan Khaleeda Zia yang terus mengalami jatuh bangun. Filipina juga mengukir sejarah atas kebangkitan politisi perempuan dengan munculnya Cory Aquino sebagai Presiden setelah melalui perjuangan people power yang berdarah. Tradisi ini dilanjutkan pula oleh Arroyo.
Khusus Indonesia, dipilihnya Megawati Soekarno Putri menjadi Presiden mencatat sejarah baru tampilnya perempuan pertama Indonesia memimpin negara di lintasan khatulistiwa ini. Hal yang sama terlihat kian menguatnya peran perempuan yang menjadi Kepala Daerah setingkat Gubernur,Bupati/ Walikota, Camat hingga Kades dan Lurah.
Dalam penyelenggaraan Pemilu di era reformasi yang ditandai dengan sistem pemilihan langsung, keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu baik di tingkat Pusat maupun di Provinsi dan Kabupaten/ Kota selalu diisi oleh sejumlah tokoh perempuan. Beratnya tugas KPU dan Bawaslu yang selalu dikejar tenggat waktu di bawah sorotan tajam masyarakat dan LSM, ternyata tidak membuat para perempuan yang terlibat di dalam tugas-tugas itu menyerah.
Dalam praktik politik di lembawa legislasi baik nasional maupun provinsi dan kabupaten/ kota, wakil rakyat dari kalangan perempuan ternyata bisa bersuara lantang sebagaimana kaum laki-laki. Apalagi suara yang diteriakkan politisi perempuan itu tak lagi sebatas menyamakan hak gender tetapi sudah lebih menukik ke persoalan substantif kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apabila selama ini, masih terkesan para politisi perempuan lebih dominan memperjuangkan hak-hak asasi perempuan atau perlakuan kurang adil terhadap kaum perempuan, tentu lebih didorong oleh sikap manusiawi-kodrati. Dalam konteks ini, bisa difahami bila politisi perempuan begitu sensitif untuk membicarakan soal pelecehan seksual, poligami, trafficking, TKW (Tenaga Kerja Wanita), masalah pornografi dan porni-aksi, hak anak dan sebagainya.
Emansipasi politisi perempuan kadangkala menjadi sesuatu yang dilematis. Satu sisi, politisi perempuan merasa tidak perlu diproteksi dalam bersaing dengan kaum laki-laki. Di sisi lain, politisi perempuan secara nyata masih sulit untuk menyaingi kaum laki-laki bila diberlaku free competition dalam berbagai aktifitas kehidupan.
Persoalan jumlah politisi perempuan di DPR RI memang tak memberikan peluang bagi mereka untuk memenangkan voting dalam mengambil keputusan legislasi yang berkaitan dengan isu-isu gender. Kondisi ini sering dipersulit oleh mitos perjuangan emansipasi perempuan yang tak akan pernah sampai pada titiik kulminasi dalam hegemoni gender itu sendiri.
Apabila emansipasi yang hendak diperjuangkan kaum perempuan dimaksudkan secara hitam-putih terkait peran dalam kehidupan ini, maka secara manusiawi tak semua perempuan mampu bersaing. Apalagi persaingan merebut peran tersebut banyak berkaitan dengan penggunaan tenaga secara fisik. Walau sebenarnya sudah ada perempuan perkasa yang berani naik ring di dunia tinju seperti Laila Ali, anak petinju legendaris dunia, Mohammad Ali. ***

EMANSIPASI POLITISI PEREMPUAN

POLITISI perempuan Indonesia bolehlah bernapas agak lega. Pasalnya, pengumuman verifikasi KPU tentang daftar nama-nama anggota DPR RI periode 2009-2014 telah memastikan sejumlah 101 caleg perempuan mengisi kursi dewan terhormat dari 560 orang yang ada. Ini bermakna, keterwakilan kaum perempuan mencapai 18,3 persen. Kondisi ini ternyata jauh lebih baik dibanding periode 2004-2009 yang hanya 61 orang dari 550 orang (11 persen). Meskipun sebenarnya masih berada jauh dari target 30 persen yang diimpikan sejak lama.
Sumbangan parpol terbesar bagi caleg perempuan yag menempati Gedung Senayan dari Partai Demokrat sebanyak 37 orang. Selanjutnya diisi oleh PDIPsebanyak 19 orang dan urutan ketiga ditempati Partai Golkar sebanyak 17 orang. Selebihnya diisi oleh enam parpol lain yang dinyatakan lolos dalam parliamentary electoral treshold minimum 2,5 persen.
Realitas ini setidaknya dapat menjawab kekhawatiran semakin ‘terpinggirkan’ perwakilan perempuan di jajaran lembaga legislatif itu. Bahkan sebelumnya, diwanti-wanti agar keterwakilan kaum perempuan harus mencapai 30 persen di lembaga tersebut. Apalagi sebelumnya KPU menetapkan apabila sistem perolehan suara ditentukan berdasarkan nomor urut akan diberlakukan sistem proteksi di mana setiap 2 orang caleg laki-laki harus diisi oleh caleg perempuan.
Sistem penetapan anggota legislatif dengan suara terbanyak ternyata telah memberikan peluang free competition bagi caleg perempuan. Persaingan mereka dengan caleg laki-laki tanpa perlu mendapatkan hak istimewa atau proteksi tentu saja memberikan kepercayaan yang tinggi untuk menunjukkan kepiawaian dan pengaruh mereka dalam bergelut di kancah politik Indonesia.
Upaya mengedepankan peran perempuan di domain politik Indonesia tentu tak lepas dari perjuangan emansipasi kaum perempuan yang tekah diperjuangkan jauhnhari oleh Raden Ajeng Kartini. Bahkan, isu emansipasi menggelinding begitu bebas dengan segala multi-tafsir yang selalu bermuara pada hegemoni kaum perempuan dan kaum laki-laki.
Peranan kaum perempuan di kancah politik Indonesia telah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda dan Jepang hingga masa pergerakan mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Di masa perjuangan, para pejuang perempuan telah menorehkan tinta emas sejarah yang terus dikenang oleh bangsa kita seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Rasuna Said dan masih banyak lagi.
Di masa awal kemerdekaan dan pembangunan, sejumlah politisi perempuan juga memperlihatkan peranan yang luar biasa. Sebutlah nama-nama besar seperti SK. Trimoerti, Herawati Diah, Aisyah Amini hingga generasi kini yang muncul dalam beragam profesi yang dapat mengharumkan nama bangsa.
Di bidang sains dan teknologi, banyak nama perempuan Indonesia yang mencengangkan banyak pihak karena keahlian yang dimilikinya seperti pernah ditunjukkan oleh seorang Dr. Pratiwi Sudarmono, calon antariksawan Indonesia pertama. Meski gagal berangkat dalam misi luar angkasa Amerika Serikat, namun Pratiwi sudah menjadi ikon keandalan perempuan Indonesia sejak dulu.
Era kebangkitan kaum perempuan secara global sebenarnya telah diramalkan oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000. Sejumlah Negara di dunia telah mempercayakan peran Kepala Pemerintahan dan para Menteri Kabinet mengurusi berbagai bidangb yang dulunya hanya didominasi kaum pria. Misalnya tradisi politik di India telah memunculkan nama harum kaum perempuan, Indira Gandhi yang diikuti oleh menantunya, Sonia Gandhi. Di Pakistan sejumlah kaum perempuan perkasa di bidang politik telah berhasil menguasai pemerintahan seperti ditunjukkan oleh Benazir Buttho. Begitu pula di Bangladesh dengan Khaleeda Zia yang terus mengalami jatuh bangun. Filipina juga mengukir sejarah atas kebangkitan politisi perempuan dengan munculnya Cory Aquino sebagai Presiden setelah melalui perjuangan people power yang berdarah. Tradisi ini dilanjutkan pula oleh Arroyo.
Khusus Indonesia, dipilihnya Megawati Soekarno Putri menjadi Presiden mencatat sejarah baru tampilnya perempuan pertama Indonesia memimpin negara di lintasan khatulistiwa ini. Hal yang sama terlihat kian menguatnya peran perempuan yang menjadi Kepala Daerah setingkat Gubernur,Bupati/ Walikota, Camat hingga Kades dan Lurah.
Dalam penyelenggaraan Pemilu di era reformasi yang ditandai dengan sistem pemilihan langsung, keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu baik di tingkat Pusat maupun di Provinsi dan Kabupaten/ Kota selalu diisi oleh sejumlah tokoh perempuan. Beratnya tugas KPU dan Bawaslu yang selalu dikejar tenggat waktu di bawah sorotan tajam masyarakat dan LSM, ternyata tidak membuat para perempuan yang terlibat di dalam tugas-tugas itu menyerah.
Dalam praktik politik di lembawa legislasi baik nasional maupun provinsi dan kabupaten/ kota, wakil rakyat dari kalangan perempuan ternyata bisa bersuara lantang sebagaimana kaum laki-laki. Apalagi suara yang diteriakkan politisi perempuan itu tak lagi sebatas menyamakan hak gender tetapi sudah lebih menukik ke persoalan substantif kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apabila selama ini, masih terkesan para politisi perempuan lebih dominan memperjuangkan hak-hak asasi perempuan atau perlakuan kurang adil terhadap kaum perempuan, tentu lebih didorong oleh sikap manusiawi-kodrati. Dalam konteks ini, bisa difahami bila politisi perempuan begitu sensitif untuk membicarakan soal pelecehan seksual, poligami, trafficking, TKW (Tenaga Kerja Wanita), masalah pornografi dan porni-aksi, hak anak dan sebagainya.
Emansipasi politisi perempuan kadangkala menjadi sesuatu yang dilematis. Satu sisi, politisi perempuan merasa tidak perlu diproteksi dalam bersaing dengan kaum laki-laki. Di sisi lain, politisi perempuan secara nyata masih sulit untuk menyaingi kaum laki-laki bila diberlaku free competition dalam berbagai aktifitas kehidupan.
Persoalan jumlah politisi perempuan di DPR RI memang tak memberikan peluang bagi mereka untuk memenangkan voting dalam mengambil keputusan legislasi yang berkaitan dengan isu-isu gender. Kondisi ini sering dipersulit oleh mitos perjuangan emansipasi perempuan yang tak akan pernah sampai pada titiik kulminasi dalam hegemoni gender itu sendiri.
Apabila emansipasi yang hendak diperjuangkan kaum perempuan dimaksudkan secara hitam-putih terkait peran dalam kehidupan ini, maka secara manusiawi tak semua perempuan mampu bersaing. Apalagi persaingan merebut peran tersebut banyak berkaitan dengan penggunaan tenaga secara fisik. Walau sebenarnya sudah ada perempuan perkasa yang berani naik ring di dunia tinju seperti Laila Ali, anak petinju legendaris dunia, Mohammad Ali. ***

ORANG TERKAYA (THE RICHEST PEOPLE)

KOLOM
ORANG KAYA
Oleh Fakhrunnas MA Jabbar

SETIAP hari, selalu lahir orang kaya dan orang miskin secara bersamaan. Kedua kelompok itu saling berpacu. Hanya saja, orang kaya memang jauh lebih beruntung. Pasalnya, ada saja lembaga atau institusi yang mencatatnya. Seperti Majalah Globe baik edisi internasional maupun kawasan regional termasuk Asia saban tahun pasti mengumumkan nama-nama orang kaya mulai dari kelas dunia hingga kawasan Asia dan masing-masing negara.
Tahun 2009 ini, Majalah Globe Asia mengumumkan 150 orang terkaya Indonesia yang dirilis 26 Mei ini. Sepuluh besar orang terkaya masih ditempati wajah-wajah lama yang tak asing lagi sebagai kaum jetset yang menguasai perekonomian di negeri ini. Secara berurutan dari ranking pertama hingga sepuluh ditempati oleh Budi Hartono (Kelompok Jarum dengan kekayaan 4,1 M dalam USD), Eka Tjipta Widjaja (Sinar Mas Group, 3,2 M), Sudono Salim (Salim Group, 2,68 M), Putera Sampoerna (Sampoerna Group, ) Aburizal Bakrie (Bakrie Group, 1,85 M), Martua Sitorus (Wilmar International, 1,3 M), Sukanto Tanoto (Raja Garuda Mas, 1,15 M), Eddy Willian Katuari (Wings Group, 1,1 M), Murdaya Poo dan Siti Hartati (Berca Group, 993 juta), Hashim Djojohadikusumo (Tirtamas, 850 juta).
Keragaman bisnis yang dikelola oleh orang-orang terkaya Indonesia itu memperlihatkan tak ada bidang usaha yang paling tangguh. Keragaman itu tergambar dari pasang-surut posisi orang-orang terkaya itu dari tahun ke tahun. Sebutlah Budi Hartono yang kini menempati ranking pertama justru setelah melebarkan sayapnya di bidang property dan pusat perbelanjaan di antaranya Grand Indonesia. Selain itu, bidang bisnis rokok seperti dikembangkan Sampoerna Group masih cukup menjanjikan.
Turun-naik posisi orang terkaya Indonesia ini sejalan pula dengan perkembangan ekonomi dunia yang cukup fluktuatif. Krisis ekonomi global cukup berpengaruh pada semua orang kaya itu sehingga jumlah kekayaannya terpangkas cukup besar. Namun, sejumlah orang kaya yang sebelumnya pernah menempati urutan teratas ternyata berpengaruh hyata terhadap posisinya tahun ini. Seperti Aburizal Bakrie yang menjadi Menko Kesra pernah dinobatkan oleh Majalah Forbes sebagai orang nomor satu Indonesia terkaya di Indonesia tahun 2007. Tahun ini berada di posisi kelima. Begitu pula Sukanto Tanoto kini berada di posisi ketujuh.
Selanjutnya, tak semua orang-orang kaya Indonesia yang pernah dinobatkan Majalah Forbes bertahan pada posisi atas. Majalah itu tahun lalu sempat menempatkan lima taipan Indonesia sebagai jajaran orang kaya dunia meski di ranking 400-an ke atas yakni Michael Hartono dan R. Budi Hartono (ranking 430 versi Forbes) dengan nilai kekayaan 1,7 M USD, Sukanto Tanoto menempati urutan ke-450 (1,6 M), Martua Sitorus di urutan ke-522 (1,4 M), Peter Sondakh di urutan 701 (1 M).
Boleh jadi, pengumuman orang-orang terkaya Indonesia tak seseru pengumuman daftar anggota DPR RI dan DPD RI yang baru hasil Pemilu 2009. Soalnya, pertarungan menjadi orang terkaya di negeri ini tak seseru menjadi wakil rakyat yang harus melewati proses panjang dengan biaya dan risiko yang tinggi. Orang-orang kaya muncul melalui usaha ekonomi yang digelutinya sejak lama melalui proses bisnis yang beragam.
Orang kaya di Indonesia barangkali hanya berjumlah sekitar 5 persen. Namun, mereka menguasai perekonomian negara secara dominan. Tapi kekayaan yang mereka peroleh tentu tidak dengan mudah diperoleh. Banyak cara yang sudah ditempuh berikut ikhtiar dan kerja keras. Oleh sebab itu, bagi orang-orang yang bekerja keras meraup harta yang demikian besar tentu saja merupakan buah dari hasil usahanya selama ini.
Potret orang-orang kaya Indonesia memang terasa berbanding terbalik dengan kumpulan orang-orang miskin yang tak kunjung terangkat dari kemiskinanannya. Angka pengangguran dan terpinggirkannya para pengusaha ekonomi lemah dalam pergulatan ekonomi negeri kita memang membuat perasaan pilu. Bandingkan saja, ada orang kaya yang bisa menikmati tidur satu malam di hotel bintang lima di kamar president suit room yang seharga Rp. 80 juta dengan segala fasilitas yang berlebihan. Sementara orang-orang miskin begitu sulit untuk mendapatkan uang Rp. 8.000 dalam sehari setelah membanting tulang atau mengemis ke sana- ke mari. Tapi itulah hidup!
Banyak orang bermimpi sejak kecil untuk jadi orang kaya. Tapi tak semua orang dapat menggapainya. Menjadi kaya –apalagi secara mendadak- hamper mustahil dapat diwujudkan. Namun, bukan tak ada orang yang bisa menjadi kaya mendadak. Biasanya hal ini dialami oleh orang-orang yang mau berspekulasi lewat meja judi atau memasang nomor undian atau pula memenangkan undian berhadiah lewat bank atau membeli produk dan jasa. Ada pula orang yang bernasib baik karena memiliki harta warisan atau barang-barang berharga secara historis seperti benda purbakala atau lukisan dan keris antik yang mempunyai nilai jual tinggi.
Orang-orang yang jadi kaya mendadak itulah digelari OKB alias Orang Kaya Baru. Konon, karakter OKB itu gampang jadi sombong dan terkesan show of force pada orang-orang sekelilingnya. Kemiskinan yang menderanya dalam jangka lama benar-benar ingin dibuang jauh-jauh karena dipandang aib. Sikapnya yang tak mau lagi miskin menjadikannya hanya ingin peduli pada diri sendiri. Itulah sebabnya, ada kata-kata bijak berbunyi begini : ‘lebih baik menjadi orang miskin tapi rendah hati, dari pada menjadi orang kaya yang sombong.’
Apakah bisa menjadi orang kaya sejak lahir?
Ternyata bisa dan mudah. Orang-orang Melayu di kawasan Riau dan Jambi sejak dulu sejak lahir menjadi Orang Kaya (OK). Sebab, OK merupakan gelar yang diwariskan secara turun-temurun bagi kalangan bangsawan Melayu. Namun, jangan heran bila banyak pula orang-orang yang bergelar OK itu justru hidupnya juga sangat sederhana. Ternyata, gelar pun tidak serta merta mengubah nasib seseorang untuk menjadi orang kaya.
Opie Andaresa, rapper Indonesia pernah menggambarkan bagaimana bahagia dan besarnya lompatan cita-cita seseorang bila menjadi orang kaya. Sebab, orang kaya memang bisa mewujudkan segala impiannya. Uang bisa membeli segalanya. Tapi, segalanya tidak harus dengan uang. Masih ada ungkapan bijak yang lain:

Uang bisa membeli kemewahan,
tapi tak bisa membeli kebahagiaan….
***

ORANG KAYA (THE RICHEST PEOPLE)

KOLOM
ORANG KAYA
Oleh Fakhrunnas MA Jabbar

SETIAP hari, selalu lahir orang kaya dan orang miskin secara bersamaan. Kedua kelompok itu saling berpacu. Hanya saja, orang kaya memang jauh lebih beruntung. Pasalnya, ada saja lembaga atau institusi yang mencatatnya. Seperti Majalah Globe baik edisi internasional maupun kawasan regional termasuk Asia saban tahun pasti mengumumkan nama-nama orang kaya mulai dari kelas dunia hingga kawasan Asia dan masing-masing negara.
Tahun 2009 ini, Majalah Globe Asia mengumumkan 150 orang terkaya Indonesia yang dirilis 26 Mei ini. Sepuluh besar orang terkaya masih ditempati wajah-wajah lama yang tak asing lagi sebagai kaum jetset yang menguasai perekonomian di negeri ini. Secara berurutan dari ranking pertama hingga sepuluh ditempati oleh Budi Hartono (Kelompok Jarum dengan kekayaan 4,1 M dalam USD), Eka Tjipta Widjaja (Sinar Mas Group, 3,2 M), Sudono Salim (Salim Group, 2,68 M), Putera Sampoerna (Sampoerna Group, ) Aburizal Bakrie (Bakrie Group, 1,85 M), Martua Sitorus (Wilmar International, 1,3 M), Sukanto Tanoto (Raja Garuda Mas, 1,15 M), Eddy Willian Katuari (Wings Group, 1,1 M), Murdaya Poo dan Siti Hartati (Berca Group, 993 juta), Hashim Djojohadikusumo (Tirtamas, 850 juta).
Keragaman bisnis yang dikelola oleh orang-orang terkaya Indonesia itu memperlihatkan tak ada bidang usaha yang paling tangguh. Keragaman itu tergambar dari pasang-surut posisi orang-orang terkaya itu dari tahun ke tahun. Sebutlah Budi Hartono yang kini menempati ranking pertama justru setelah melebarkan sayapnya di bidang property dan pusat perbelanjaan di antaranya Grand Indonesia. Selain itu, bidang bisnis rokok seperti dikembangkan Sampoerna Group masih cukup menjanjikan.
Turun-naik posisi orang terkaya Indonesia ini sejalan pula dengan perkembangan ekonomi dunia yang cukup fluktuatif. Krisis ekonomi global cukup berpengaruh pada semua orang kaya itu sehingga jumlah kekayaannya terpangkas cukup besar. Namun, sejumlah orang kaya yang sebelumnya pernah menempati urutan teratas ternyata berpengaruh hyata terhadap posisinya tahun ini. Seperti Aburizal Bakrie yang menjadi Menko Kesra pernah dinobatkan oleh Majalah Forbes sebagai orang nomor satu Indonesia terkaya di Indonesia tahun 2007. Tahun ini berada di posisi kelima. Begitu pula Sukanto Tanoto kini berada di posisi ketujuh.
Selanjutnya, tak semua orang-orang kaya Indonesia yang pernah dinobatkan Majalah Forbes bertahan pada posisi atas. Majalah itu tahun lalu sempat menempatkan lima taipan Indonesia sebagai jajaran orang kaya dunia meski di ranking 400-an ke atas yakni Michael Hartono dan R. Budi Hartono (ranking 430 versi Forbes) dengan nilai kekayaan 1,7 M USD, Sukanto Tanoto menempati urutan ke-450 (1,6 M), Martua Sitorus di urutan ke-522 (1,4 M), Peter Sondakh di urutan 701 (1 M).
Boleh jadi, pengumuman orang-orang terkaya Indonesia tak seseru pengumuman daftar anggota DPR RI dan DPD RI yang baru hasil Pemilu 2009. Soalnya, pertarungan menjadi orang terkaya di negeri ini tak seseru menjadi wakil rakyat yang harus melewati proses panjang dengan biaya dan risiko yang tinggi. Orang-orang kaya muncul melalui usaha ekonomi yang digelutinya sejak lama melalui proses bisnis yang beragam.
Orang kaya di Indonesia barangkali hanya berjumlah sekitar 5 persen. Namun, mereka menguasai perekonomian negara secara dominan. Tapi kekayaan yang mereka peroleh tentu tidak dengan mudah diperoleh. Banyak cara yang sudah ditempuh berikut ikhtiar dan kerja keras. Oleh sebab itu, bagi orang-orang yang bekerja keras meraup harta yang demikian besar tentu saja merupakan buah dari hasil usahanya selama ini.
Potret orang-orang kaya Indonesia memang terasa berbanding terbalik dengan kumpulan orang-orang miskin yang tak kunjung terangkat dari kemiskinanannya. Angka pengangguran dan terpinggirkannya para pengusaha ekonomi lemah dalam pergulatan ekonomi negeri kita memang membuat perasaan pilu. Bandingkan saja, ada orang kaya yang bisa menikmati tidur satu malam di hotel bintang lima di kamar president suit room yang seharga Rp. 80 juta dengan segala fasilitas yang berlebihan. Sementara orang-orang miskin begitu sulit untuk mendapatkan uang Rp. 8.000 dalam sehari setelah membanting tulang atau mengemis ke sana- ke mari. Tapi itulah hidup!
Banyak orang bermimpi sejak kecil untuk jadi orang kaya. Tapi tak semua orang dapat menggapainya. Menjadi kaya –apalagi secara mendadak- hamper mustahil dapat diwujudkan. Namun, bukan tak ada orang yang bisa menjadi kaya mendadak. Biasanya hal ini dialami oleh orang-orang yang mau berspekulasi lewat meja judi atau memasang nomor undian atau pula memenangkan undian berhadiah lewat bank atau membeli produk dan jasa. Ada pula orang yang bernasib baik karena memiliki harta warisan atau barang-barang berharga secara historis seperti benda purbakala atau lukisan dan keris antik yang mempunyai nilai jual tinggi.
Orang-orang yang jadi kaya mendadak itulah digelari OKB alias Orang Kaya Baru. Konon, karakter OKB itu gampang jadi sombong dan terkesan show of force pada orang-orang sekelilingnya. Kemiskinan yang menderanya dalam jangka lama benar-benar ingin dibuang jauh-jauh karena dipandang aib. Sikapnya yang tak mau lagi miskin menjadikannya hanya ingin peduli pada diri sendiri. Itulah sebabnya, ada kata-kata bijak berbunyi begini : ‘lebih baik menjadi orang miskin tapi rendah hati, dari pada menjadi orang kaya yang sombong.’
Apakah bisa menjadi orang kaya sejak lahir?
Ternyata bisa dan mudah. Orang-orang Melayu di kawasan Riau dan Jambi sejak dulu sejak lahir menjadi Orang Kaya (OK). Sebab, OK merupakan gelar yang diwariskan secara turun-temurun bagi kalangan bangsawan Melayu. Namun, jangan heran bila banyak pula orang-orang yang bergelar OK itu justru hidupnya juga sangat sederhana. Ternyata, gelar pun tidak serta merta mengubah nasib seseorang untuk menjadi orang kaya.
Opie Andaresa, rapper Indonesia pernah menggambarkan bagaimana bahagia dan besarnya lompatan cita-cita seseorang bila menjadi orang kaya. Sebab, orang kaya memang bisa mewujudkan segala impiannya. Uang bisa membeli segalanya. Tapi, segalanya tidak harus dengan uang. Masih ada ungkapan bijak yang lain:

Uang bisa membeli kemewahan,
tapi tak bisa membeli kebahagiaan….
***

KAPAN KITA SEBENAR-BENAR BANGKIT?

TAK TERASA usia Hari Kebangkitan Nasional sudah seabad lebih terhitung 20 Mei 1908. Momentum hari bersejarah itu selalu dijadikan sebagai dasar lompatan baru untuk membawa bangsa ini ke jenjang yang lebih maju. Sudah tak terbilang pula jargon-jargon yang diharapkan member inspirasi bagi segebap anak bangsa untuk bangkit dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tapi, bagaimana keberadaan bangsa kita hingga hari ini? Kita merasa seolah-olah masih jalan di tempat.
Suasana ini mengingatkan kita pada karikatur Om Pasikom-nya GM Sudarta di sebuah media nasional terkemuka sekitar tiga dasawarsa silam. Digambar sebuah perahu di tengah samudera yang didayung seorang kakek dan cucu. Lantas, sang cucu bertanya pada kakeknya: “Kek, kita sekarang apakah sedang maju atau mundur?” Pertanyaan sang cucu memang tak pernah mendapatkan jawaban yang pasti. Banyak orang kini mengajukan pertanyaan yang sama ketika merasakan perahu raksasa Indonesia yang terus mengharungi samudera kehidupan sejak dulu namun tak tahu sudah berada di mana?
Lantas, kita pun selalu menoleh ke negara-negara tetangga terdekat seperti Malaysia dan Singapura. Indikator income per kapita saja sudah cukup jadi bukti betapa kita jauh tertinggal dari mereka. Alasan pembenaran pun gampang diajukan. Seperti pernah disampaikan ahli ekonomi, Sudradjat Djiwandono tiga dasawarsa silam bahwa sulit membandingkan tingat pertumbuhan Indonesia dengan Singapura. Sebab, analogi yang ditampilkannya bahwa kalau Singapura itu laksana sebuah speed boat yang lincah dan bisa lari cepat. Sedangkan Indonesia laksana sebuah kapal tanker raksasa sehingga begitu sulit melakukan manuver berbelok arah.
Dulu, alasan Sudradjat Djiwandono itu mudah diterima. Tapi setelah puluhan tahun berjalan, iklim global ikut memprotak-porandakan teori-teori besar ekonomi. Ternyata Negara yang berpenduduk besar itu tidak hanya Indonesia. Masih ada Negara-negara lain yang berpenduduk jauh lebih besar seperti China dengan penduduk di atas satu milyar atau India yang mendekati satu milyar pula. Namun kedua Negara itu secara ekonomis telah berubah menjadi raksasa-raksasa baru ekonomi dunia menyusuli Jepang yang selama ini dipandajang sebagai ‘naga Asia’ yang tak tertandingi.
Lihatlah China dan India hari ini dengan segala perkembangan dan perubahan yang tak bisa dihentikan. Kota-kota besar China kini tak kalah dengan kota-kota besar di Amerika dan Eropa. Begitu pula urusan kemakmuran, Indonesia semakin jauh tertinggal. Kebangkitan negara-negara industri baru (newly industries country) terus bertumbuh dan berupaya mensejajarkan diri dengan Negara-negara industry maju yang sejak dulu didominasi oleh Eropa dan Amerika.
Banyak teori yang dapat dipadankan kenapa sebuah negara bisa maju. Ini laksana orang menyoal bagaimana sebuah warung runcit bisa jadi toserba atau mall dalam rentang waktu yang panjang. Namun, betapa banyak warung runcit yang justru tidak mengalami perkembangan sama sekali melainkan langsung ‘layu sebelum berkembang.’
Penelitian Prof. McLelland di sebuah desa di India puluhan silam memberikan sedikit argumentasi terkait adanya sebuah virus kemajuan yang dinamakannya virus n-Ach (virus an achievement). Begitu pula, Prof. Iwan Jaya Aziz (alm)pernah mengamati bagaimana Negara-negara Ekonomi Baru (newly economic countries) di kawasan Asia justru didominasi oleh negara-negara yang penduduknya menganut agama bumi seperti Khonghucu dan menggunakan huruf Kanji. Iwan menjajarkan negara-negara tersebut mulai dari China (baca: Hongkong), Taiwan, Korea Selatan hingga Singapura.
Meski belum terjawab pasti, faktor apa yang negara-negara di kawasan Asia itu bisa melesat maju, namun boleh jadi faktor budaya cukup memberi pengaruh. Faktor budaya itu bisa dikonversi menjadi etos kerja yang dapat menjadi mesin turbo penggerak untuk maju dan berkembang. Di Indonesia sendiri, perkembangan ekonomi sejak dulu tetap saja didominasi oleh orang-orang keturunan Tionghoa yang memegang peran dalam dunia usaha.
Menatap kebangkitan Indonesia kadangkala membuat hati pilu. Perkembangan inovasi teknologi bergerak lamban sejak dulu. Padahal, kajian-kajian dan penelitian di bebagai bidang bukannya tak dilakukan. Coba teroka sendiri. Bagaimana pekembangan inovasi di bidang pertanian di mana sejak dulu kita menyebut diri sebagai salah satu negara agraris terbesar di dunia. Sementara produk-produk pertanian unggulan kita masih tergantung pada impor seperti kacang kedele yang didominasi oleh benih dari Amerika Serikat. Buah-buahan kita masih kalah mutunya dengan buah-buah impor yang merajai pasar buah di tanah air sendiri.
Industri automotif dunia baik mobil maupun motor yang berpacuan terus dengan persaingan model yang ketat. Terasa sedih bila industri automotif yang genuine Indonesia tak kunjung muncul sementara Malaysia saja sudah mengeluarkan generasi Proton yang tak henti-hentinya. Belum lagi perkembangan inovasi dan teknologi di bidang elektronika, komputer, mesin dan produk industri strategis lainnya. Syukurlah, kita sudah punya industri teknologi tinggi berupa pesawat terbang yang dipelopori oleh BJ. Habibie melalui IPTN yang perkembangannya terkesan terus melambat.
Di sisi lain, pekembangan kasus pembajakan dan pemalsuan merek produk-produk konsumtif di negeri kita bagai cerita bersambung yang tak tamat-tamatnya. Pelanggaran hak cipta itu bagaikan sebuah kelaziman bila ingin survive untuk sekadar mempertahankan hidup. Lihatlah kasus pembajakan VCD/ DVD film-film Hollywood, merek sepatu, tas, minuman kaleng, model pakaian, sabun, kosmetika dan obat-obatan yang secara mudah disaksikan di lembaran suratkabar atau layar TV.
Padahal, secara kualitatif, sumberdaya manusia Indonesia semestinya tak kalah bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Lihatlah, di berbagai ajang olimpiade dunia di bidang matematika atau sains, putra-putra terbaik kita mampu memenangkan kompetisi ilmu pengetahuan bergengsi itu.
Di sisi lain, institusi penelitian dan pengembangan yang terdapat di berbagai dinas dan departemen termasuk LIPI bagai tak teredengar gemanya. Penelitian-penelitian terus dilakukan namun belum berdampak langsung melahirkan karya-karya inovatif yang dapat dikonsumsi anak bangsa sendiri. Biasanya dalam perayaan Hari Kebangkitan Bangsa setiap tahunnya karya-karya inovatif itu ditampilkan. Namun, sayang, penampilan itu hanya sekadar melengkapi sebuah ritual perayaan karena setelah itu nyaris tak terdengar kelanjutan penelitian menjadi produk massal yang dapat ditemukan di pasaran.
Di era pemerintahan SBY-JK, justru tragedi ilmu pengetahuan dan teknologi justru menjadi bulan-bulanan publik belaka seperti kasus Blue Energy, Benih Padi Unggul dan masih banyak lagi. Tapi, bangsa kita tak kunjung termotivasi mematahkan mitos sebagai bangsa yang pandainya meniru atau mengkonsumsi produk-produk dunia bahkan menjadi penampung sampah elektronik dunia berupa barang-barang bekas yang banyak dimanfaatkan kembali.
Di Tanah Melayu, ada sejenis kue yang dapat memacu kemajuan dan boleh dikonsumsi. Namanya, Kue Bangkit. Perlukah kita ramai-ramai memakain kue itu agar terstimulasi untuk benar-benar bangkit? ***

'PERCINTAAN POLITIK' CAPRES-CAWAPRES

MENCARI pasangan Capres-Cawapres persis sebuah proses percintaan. Mulai dari lirik-melirik, menggoda, kencan, ngapel (mengunjungi) hingga runding-merunding. Intensitas kegiatan yang berujung untuk menyatukan pikiran dan perasaan agar menjadi pasangan serasi sehingga berkekalan hingga anak-cucu. Meskipun sebenarnya tak ada jaminan bila semua ritual percintaan itu dilakukan jauh hari akan berakhir bahagia. Lihat saja, pasangan SBY-JK yang justru retak di ujung perjalanan masa jabatan mereka.
Tingginya intensitas hubungan para Capres-Cawapres pada Pilpres 2009 yang berlangsung 8 Juli ini bisa-bisa membingungkan rakyat. Tayangan TV dan pemberitaan di media yang begitu dominant memperlihatkan sebuah tontonan menarik yang membuat hati rakyat jadi gamang dan gundah. Betapa tidak? Ternyata para politisi di negeri ini justru lebih terpesona untuk mencari kecocokan pasangan ketimbang mengusung agenda politik yang dapat mengubah nasib rakyat yang terlalu lama menderita.
Kombinasi saling-kunjung para capres-cawapres beserta tim sukses masing-masing bagaikan sebuah benang kusut yang bertalian sehingga tak jelas ujung pangkalnya. Upaya menemukan format koalisi dari masing-masing parpol yang dinyatakan lolos presidential threshold bagai tak mempunya pola normative lagi.
Para pakar politik dulu selalu memprediksi, pasangan capres-cawapres Indonesia selalu mempertimbangkan aspek ideolog-agama dan faktor geografis yang dipandang merepresentasikan pluralitas Indonesia. Sebutlah pertimbangan Islam-non Islam atau Jawa-non Jawa dan boleh jadi tuntutan laki-laki dan perempuan. Tradisi politik bagi pasangan presiden-wapres tersebut kini boleh sirna begitu saja karena pertimbangan para ‘penguasa’ parpol sudah beralih pada ambisi merebut kekuasaan belaka.
Apa yang tak dibayangkan tak akan pernah terjadi ternyata dalam proses pinang-meminang pasangan capres-wapres pada Pilpres kali ini boleh saja jadi kenyataan. Sebutlah, PKS yang mengusung ideologi-Islam sempat sesumbar tak akan berkoalisi dengan Partai Golkar (PG). Tapi ketika PKS ‘dikecewakan’ Partai Demokrat (PD) dan SBY setelah PKS menyerahkan jiwa raga ‘cinta’nya ternyata hanya bertepuk sebelah tangan.
Begitu pula, ketika koalisi besar yang diperankan oleh PDIP dan PG untuk menaklukkan dominasi PD dan SBY yang memenangkan Pemilu Legislatif 2009, ketika JK dengan PG cepat-cepat mendeklarasikan pasangan capres-cawapres dengan Wiranto, PDIP pun tiba-tiba mendekati PD untuk berkoalisi. Pantas saja bila sebagian pengurus PDIP seolah-olah ‘mengharamkan’ Megawati Sukarnoputri dan PDIP sendiri merapat ke kubu SBY yang menjadi musuh bebuyutanya sejak lima tahun terakhir.
Bagaimana rakyat tak bingung menyaksikan ‘akrobat politik’ para politisi menjelang Pilpres 2009 ini. Perubahan sikap dalam sehari bisa terjadi tanpa mudah diprediksi. Bahkan para pengamat dan analis politik sempat menyerah ketika isu akan bergabungnya Megawati dengan SBY begitu kuat bergaung. Koalisi ini benar-benar mematahkan prediksi-prediksi yang selama ini diandalkan para pengamat dan analis politik. Bagaimana mungkin, Mega bakal bersatu dengan SBY di tengah perang pernyataan dan komunikasi politik yang terus memburuk.
Arah koalisi di sebagian parpol dengan capres unggulannya terus kian nyata. Dimulai saat JK mengumumkan pasangannya dengan Wiranto yang disikapi banyak kalangan dengan berbagai komentar dan dugaan. JK yang Ketua Umum PG bergandengan tangan dengan Wiranto yang juga pernah jadi kader PG –bahkan pada Pemilu 2004, Wiranto memenangkan Konvensi PG untuk capres. Jadi, pasangan JK-Win sebenarnya tak lebih dari koalisi sesame kader PG juga.
Setelah itu, parpol-parpol lain pemenang Pemilu Legislatif 2009 bergerak kian kemari dengan pola yang sulit diraba. Koalisi besar yang dimotori PG dan PDIP terasa mulai guncang. Di sisi lain, PD dengan capres unggulan, SBY semakin menebar harapan pada banyak parpol yang tak bisa mandiri mengajukan capres sendiri. Bisa dimaklumi ketika sejumlah parpol di antaranya PKS, PAN, PPP, PKB jauh-jauh hari menyatakan siap berkoalisi dengan PD.
Lebih dari itu, SBY bagaikan seorang putra mahkota yang ingin cari jodoh dengan membuka peluang bagi para calon permaisurinya. Rayuan SBY berhasil menghimpun 19 nama dari kalangan parpol koalisi dan non-koalisi. Waktu itu, orang mulai menduga-duga bahwa SBY akan menggandeng kalangan agamis seperti Hidayat Nur Wahid atau Tifatul Semabiring dari PKS. Begitu pula, kandidat dari PKB (Muhaimin Iskandar) atau Hatta Radja (PAN) dan sejumlah nama lagi.
Di tengah penantian para cawapres dari kalangan parpol tiba-tiba SBY memunculkan wacana cawapres dari kalangan professional. Ternyata, tokoh yang dipilih SBY adalah Boediono yang kini menjabat Gubernur Bank Indonesia. Secara psikologis, para cawapres parpol tentu saja hanya bisa melongo, kecewa dan terkejut setengah mati. Cinta yang sudah diobral ternyata tak berbalas sebagaimana diharapkan. Jangan-jangan ada di antara parpol yang merasa sakit hati. Tampaknya, PKS telah mengekpresikan perasaan semacam itu.
Koalisi PD dengan sejumlah parpol mulai goyah karena merasa dilecehkan atau tidak dihargai. Sebaliknya, SBY bukannya tak punya alas an memilih Boediono. Boleh jadi, SBY ingin menghindari konflik yang lebih besar di kalangan parpol-parpol koalisi. Ini persoalan menimbang-nimbang perasaan dan rasa keadilan. Makanya, SBY memutuskan tidak memilih kandidat dari parpol.
Di kubu PDIP pun bukan main dinamik pula. Megawati seolah-olah khawatir ‘melajang’ atau menjomblo. Pinangan yang ditujukan pada Prabowo dari Gerindra ternhyata banyak menyisakan negosiasi yang tak kunjung selesai. Banyak konsekuensi yang harus dihadapi.
Itulah politik. Segalanya mungkin terjadi. Jargon yang mengungkapkan ‘tak ada teman abadi, tak ada musuh abadi kecuali kepentingan itu sendiri.’ Semua politisi memang sedang berebut kepentingan itu. Akibatnya? Substansi program yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat menjadi terpinggirkan. Tradisi politik begini memang menjadi ‘penyakit’ lima tahunan dalam merebut kekuasaan. Memang sedih menjadi rakyat dalam tradisi begini. ***

'PERCINTAAN POLITIK' CAPRES-CAWAPRES

MENCARI pasangan Capres-Cawapres persis sebuah proses percintaan. Mulai dari lirik-melirik, menggoda, kencan, ngapel (mengunjungi) hingga runding-merunding. Intensitas kegiatan yang berujung untuk menyatukan pikiran dan perasaan agar menjadi pasangan serasi sehingga berkekalan hingga anak-cucu. Meskipun sebenarnya tak ada jaminan bila semua ritual percintaan itu dilakukan jauh hari akan berakhir bahagia. Lihat saja, pasangan SBY-JK yang justru retak di ujung perjalanan masa jabatan mereka.
Tingginya intensitas hubungan para Capres-Cawapres pada Pilpres 2009 yang berlangsung 8 Juli ini bisa-bisa membingungkan rakyat. Tayangan TV dan pemberitaan di media yang begitu dominant memperlihatkan sebuah tontonan menarik yang membuat hati rakyat jadi gamang dan gundah. Betapa tidak? Ternyata para politisi di negeri ini justru lebih terpesona untuk mencari kecocokan pasangan ketimbang mengusung agenda politik yang dapat mengubah nasib rakyat yang terlalu lama menderita.
Kombinasi saling-kunjung para capres-cawapres beserta tim sukses masing-masing bagaikan sebuah benang kusut yang bertalian sehingga tak jelas ujung pangkalnya. Upaya menemukan format koalisi dari masing-masing parpol yang dinyatakan lolos presidential threshold bagai tak mempunya pola normative lagi.
Para pakar politik dulu selalu memprediksi, pasangan capres-cawapres Indonesia selalu mempertimbangkan aspek ideolog-agama dan faktor geografis yang dipandang merepresentasikan pluralitas Indonesia. Sebutlah pertimbangan Islam-non Islam atau Jawa-non Jawa dan boleh jadi tuntutan laki-laki dan perempuan. Tradisi politik bagi pasangan presiden-wapres tersebut kini boleh sirna begitu saja karena pertimbangan para ‘penguasa’ parpol sudah beralih pada ambisi merebut kekuasaan belaka.
Apa yang tak dibayangkan tak akan pernah terjadi ternyata dalam proses pinang-meminang pasangan capres-wapres pada Pilpres kali ini boleh saja jadi kenyataan. Sebutlah, PKS yang mengusung ideologi-Islam sempat sesumbar tak akan berkoalisi dengan Partai Golkar (PG). Tapi ketika PKS ‘dikecewakan’ Partai Demokrat (PD) dan SBY setelah PKS menyerahkan jiwa raga ‘cinta’nya ternyata hanya bertepuk sebelah tangan.
Begitu pula, ketika koalisi besar yang diperankan oleh PDIP dan PG untuk menaklukkan dominasi PD dan SBY yang memenangkan Pemilu Legislatif 2009, ketika JK dengan PG cepat-cepat mendeklarasikan pasangan capres-cawapres dengan Wiranto, PDIP pun tiba-tiba mendekati PD untuk berkoalisi. Pantas saja bila sebagian pengurus PDIP seolah-olah ‘mengharamkan’ Megawati Sukarnoputri dan PDIP sendiri merapat ke kubu SBY yang menjadi musuh bebuyutanya sejak lima tahun terakhir.
Bagaimana rakyat tak bingung menyaksikan ‘akrobat politik’ para politisi menjelang Pilpres 2009 ini. Perubahan sikap dalam sehari bisa terjadi tanpa mudah diprediksi. Bahkan para pengamat dan analis politik sempat menyerah ketika isu akan bergabungnya Megawati dengan SBY begitu kuat bergaung. Koalisi ini benar-benar mematahkan prediksi-prediksi yang selama ini diandalkan para pengamat dan analis politik. Bagaimana mungkin, Mega bakal bersatu dengan SBY di tengah perang pernyataan dan komunikasi politik yang terus memburuk.
Arah koalisi di sebagian parpol dengan capres unggulannya terus kian nyata. Dimulai saat JK mengumumkan pasangannya dengan Wiranto yang disikapi banyak kalangan dengan berbagai komentar dan dugaan. JK yang Ketua Umum PG bergandengan tangan dengan Wiranto yang juga pernah jadi kader PG –bahkan pada Pemilu 2004, Wiranto memenangkan Konvensi PG untuk capres. Jadi, pasangan JK-Win sebenarnya tak lebih dari koalisi sesame kader PG juga.
Setelah itu, parpol-parpol lain pemenang Pemilu Legislatif 2009 bergerak kian kemari dengan pola yang sulit diraba. Koalisi besar yang dimotori PG dan PDIP terasa mulai guncang. Di sisi lain, PD dengan capres unggulan, SBY semakin menebar harapan pada banyak parpol yang tak bisa mandiri mengajukan capres sendiri. Bisa dimaklumi ketika sejumlah parpol di antaranya PKS, PAN, PPP, PKB jauh-jauh hari menyatakan siap berkoalisi dengan PD.
Lebih dari itu, SBY bagaikan seorang putra mahkota yang ingin cari jodoh dengan membuka peluang bagi para calon permaisurinya. Rayuan SBY berhasil menghimpun 19 nama dari kalangan parpol koalisi dan non-koalisi. Waktu itu, orang mulai menduga-duga bahwa SBY akan menggandeng kalangan agamis seperti Hidayat Nur Wahid atau Tifatul Semabiring dari PKS. Begitu pula, kandidat dari PKB (Muhaimin Iskandar) atau Hatta Radja (PAN) dan sejumlah nama lagi.
Di tengah penantian para cawapres dari kalangan parpol tiba-tiba SBY memunculkan wacana cawapres dari kalangan professional. Ternyata, tokoh yang dipilih SBY adalah Boediono yang kini menjabat Gubernur Bank Indonesia. Secara psikologis, para cawapres parpol tentu saja hanya bisa melongo, kecewa dan terkejut setengah mati. Cinta yang sudah diobral ternyata tak berbalas sebagaimana diharapkan. Jangan-jangan ada di antara parpol yang merasa sakit hati. Tampaknya, PKS telah mengekpresikan perasaan semacam itu.
Koalisi PD dengan sejumlah parpol mulai goyah karena merasa dilecehkan atau tidak dihargai. Sebaliknya, SBY bukannya tak punya alas an memilih Boediono. Boleh jadi, SBY ingin menghindari konflik yang lebih besar di kalangan parpol-parpol koalisi. Ini persoalan menimbang-nimbang perasaan dan rasa keadilan. Makanya, SBY memutuskan tidak memilih kandidat dari parpol.
Di kubu PDIP pun bukan main dinamik pula. Megawati seolah-olah khawatir ‘melajang’ atau menjomblo. Pinangan yang ditujukan pada Prabowo dari Gerindra ternhyata banyak menyisakan negosiasi yang tak kunjung selesai. Banyak konsekuensi yang harus dihadapi.
Itulah politik. Segalanya mungkin terjadi. Jargon yang mengungkapkan ‘tak ada teman abadi, tak ada musuh abadi kecuali kepentingan itu sendiri.’ Semua politisi memang sedang berebut kepentingan itu. Akibatnya? Substansi program yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat menjadi terpinggirkan. Tradisi politik begini memang menjadi ‘penyakit’ lima tahunan dalam merebut kekuasaan. Memang sedih menjadi rakyat dalam tradisi begini. ***

AH, ENTAHLAH, ANTASARI

ANTASARI AZHAR, sebuah nama yang paling banyak disebut belakangan ini. Popularitasnya semakin menjadi-jadi hingga mengalahkan berita paling anyar terkait isu politik yakni deklarasi pasangan duet capres-wacapres : JK-Wiranto. Penangkapan dan penahanan Ketua KPK non-aktif, Antasari oleh pihak kepolisian terkait dugaan pembunuhan Dirut BUMN, PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Proses hukum terhadap Antasari bersama 8 tersangka lainnya kini terus berlangsung. Meskipun motif pembunuhan itu masih menjadi dugaan publik antara percintaan segitiga yang melibatkan seorang caddy cantik, Rani Juliani hingga dugaan adanya konspirasi besar terkait kasus hokum yang ditangani pihak KPK.
Seperti dilansir media, pemicu awal kasus yang menyeret Antasari bermula dari hubungan khususnya dengan Rani, yang dinikahi siri oleh Nasrudin. Kisah asmara Antasari dengan Rani, oleh Nasrudin, dijadikan alat untuk menekan mantan jaksa karir itu. Tujuannya agar Antasari azhar mengabulkan keinginan pucuk pimpinan perusahaan BUMN ini.
Kriminolog dari Universitas Indonesia Adrianus Meliala menduga Nasrudin memang tipe pejabat yang mengutamakan lobi dalam memuluskan pekerjaannya. Hal ini misalnya tercermin dari intensitasnya bermain golf, dan kerap mendapatkan proyek dengan cara kolusi. “Jadi, memang Nasrudin ini memang agak preman. Istrinya tiga. Pasti orientasi orang ini bukan kencan, tapi untuk lobi,” ujar Adrianus kepada Kompas.com.
Tekanan Nasruddin terhadap Antasari yang akan membongkar kisah cintanya dengan Rani, diduga membuat pria berkumis lebat itu, merasa terancam. Jika korban membongkar kisah asmaranya dengan seorang gadis golf muda, bukan saja reputasi dan jabatannya yang melayang, nama besar KPK yang dipimpinnya pun diprediksi ikut tercoreng.
Berbagai analisis bermunculan untuk menebak motif kasus pembunuhan dan keterlibatan Antasari. Seperti Mantan Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI ini pun berusaha membungkam korban dengan berbagai cara. “AA mengerti karakter Nasrudin sehingga tidak berani bermain-main,” ujar Adrianus.
Di sisi lain, tentu saja tim kuasa hukum Antasari membantah semua dugaan di atas. Juniver Girsang, salah seorang kuasa hukum Antasari, misalnya, membantah dugaan hubungan khusus antara kliennya dengan Rani. “Itu fitnah. Ada skenario merusak citra Pak Antasari, keluarga, dan KPK. Pak Antasari mengenal Rani tiga tahun lalu di lapangan golf dan hanya bertemu dua kali,” ujarnya kemarin.
“Pak Antasari tidak melakukan tindak pidana pembunuhan berencana,” ujar Denni Kailimang, kuasa hukum Antasari lainnya.
Apa pun motifnya, kasus Antasari itu memang sangat mengejutkan semua orang. Tak seorang pun bias membayangkan bagaimana Antasari mempertaruhkan jabatan dan nama besarnya hanya karena takut dipermalukan atas kasus percintaan segitiganya dengan Rani. Hal ini telah ditanggapi Kapolri Bambang Hendarso Danuri bahwa tidak mungkin motifnya begitu sederhana terkait cinta segitiga.
Kasus Antasari benar-benar menjadi bulan-bulanan isu dan analisis yang tak akan kering-keringnya. Semua orang tahu bahwa Antasari tidak dengan mudah menduduki jabatan Ketua KPK yang sangat prestisius dan dinantikan gebrakannya oleh semua orang. Kasus-kasus korupsi besar di negeri ini di antara kasus BLBI yang melibatkan besan Presiden SBY, Aulia Pohan –saat masih bertugas aktif di BI- atau keterlibatan sejumlah wakil rakyat dalam kasus gratifikasi dan korupsi benar-benar membuat namanya berkibar dan jadi tumpuan banyak orang dalam penegakan good governance di negeri ini.
Gerak lincah KPK dengan pedang keadilan yang diayunkannya dalam menegakkan hukum dan kebenaran terkait kasus-kasus korupsi ternyata tidak hanya disambut positif oleh rakyat, Melainkan juga jadi cercaan para tersangka koruptor baik yang sudah divonis maupun dalam proses hukum.
Namun, isu yang berkembang dalam proses penyidikan terhadap para tersangka kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen ini terkait peranan Nasruddin yang diduga menjadi ‘calo’ kasus-kasus korupsi, membuat fokus pengungkapan kasus ini kian berkembang. Andaikan apa yang disinyalir banyak pihak adanya praktik-praktik tercela ini maka dipastikan nama besar KPK menjadi terusik.
Sesuai asas praduga tak bersalah, semua pihak harus berbaik sangka dulu pada oknum-oknum tersangka yang diperiksa mulai dari Antasari hinga para eksekutor yang terlibat. Kasus ini jangan pernah dijadikan sebagai upaya untuk melemahkan upaya pemerintah melalui KPK dalam memberantas praktik korupsi yang sudah merajalela selama ini. Seorang Antasari boleh saja menjalani proses hokum namun Tim KPK yang lain harus terus melanjutkan upaya-upaya penegakan hukum yang sangat dinantikan seluruh rakyat.
Sekaitan itu, tidak harus ada pihak-pihak yang harus bergumam untuk menghujat Antasari habis-habisan hanya gara-gara diri, keluarga, karib-kerabat dan pihak terkait lainnya pernah dijebloskan KPK ke dalam penjara untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya. Jangan pernah ada pemikiran begitu. Begitu pula, sangat disayangkan bila muncul suara-suara gerutu yang tak beralasan terhadap posisi Antasari dengan teriakan : ‘rasain!’.
Ini persoalan hukum. Seharusnya dijauhkan dari pandangan-pandangan subyektif yang hanya mengalihkan domain persoalan dari sesuatu yang substansial ke persoalan yang sepele dengan motif privasi. Posisi Antasari sebagai Ketua KPK yang menggempur para koruptor di negeri ini harus diacung-jempoli. Tapi, keterlibatannya sebagai tersangka ‘otak pembunuhan’ Nasruddin secara pribadi tentu patut disayangkan karena mengorbankan nama baik diri dan lembaga KPK yang telah dibesarkannya.
Hikmah semua ini, betapa tak ada seorang pun yang istimewa atau diistimewakan dalan kehidupan ini ketika berhadapan dengan tindak kesalahan. Apalagi, secara manusiawi, tak ada manusia yang luput dari kesalahan dan dosa. Selalu ada godaan demi godaan yang membuat seseorang dapat jatuh terkapar tanpa kehendak rasional dirinya. Selalu ada grand scene yang dibuat oleh Allah Maha Kuasa atas setiap diri hamba di muka bumi ini. Oleh sebab itu, jangan pernah ada yang merasa takabur di saat menyaksikan kenestapaan orang lain yang sedang menghadapi kesulitan.
Apapun keputusan pengadilan kelak, kasus ini hendaknya menjadi pelajaran bagi semua orang. Andai Antasari dinyatakan sebagai otak pembunuhan Nasruddin, maka kita perlu menyadari betapa manusia merupakan hamba yang lemah yang mudah tergoda hawa nafsu : harta, tahta dan wanita. Andai tuduhan atas Antasari tidak benar, maka peristiwa ini harus menjadi pelajaran betapa sulitnya hidup jujur dalam menegakkan keadilan dan kebenaran.
Ah, entahlah, Antasari! ***

AH, ENTAHLAH, ANTASARI

ANTASARI AZHAR, sebuah nama yang paling banyak disebut belakangan ini. Popularitasnya semakin menjadi-jadi hingga mengalahkan berita paling anyar terkait isu politik yakni deklarasi pasangan duet capres-wacapres : JK-Wiranto. Penangkapan dan penahanan Ketua KPK non-aktif, Antasari oleh pihak kepolisian terkait dugaan pembunuhan Dirut BUMN, PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Proses hukum terhadap Antasari bersama 8 tersangka lainnya kini terus berlangsung. Meskipun motif pembunuhan itu masih menjadi dugaan publik antara percintaan segitiga yang melibatkan seorang caddy cantik, Rani Juliani hingga dugaan adanya konspirasi besar terkait kasus hokum yang ditangani pihak KPK.
Seperti dilansir media, pemicu awal kasus yang menyeret Antasari bermula dari hubungan khususnya dengan Rani, yang dinikahi siri oleh Nasrudin. Kisah asmara Antasari dengan Rani, oleh Nasrudin, dijadikan alat untuk menekan mantan jaksa karir itu. Tujuannya agar Antasari azhar mengabulkan keinginan pucuk pimpinan perusahaan BUMN ini.
Kriminolog dari Universitas Indonesia Adrianus Meliala menduga Nasrudin memang tipe pejabat yang mengutamakan lobi dalam memuluskan pekerjaannya. Hal ini misalnya tercermin dari intensitasnya bermain golf, dan kerap mendapatkan proyek dengan cara kolusi. “Jadi, memang Nasrudin ini memang agak preman. Istrinya tiga. Pasti orientasi orang ini bukan kencan, tapi untuk lobi,” ujar Adrianus kepada Kompas.com.
Tekanan Nasruddin terhadap Antasari yang akan membongkar kisah cintanya dengan Rani, diduga membuat pria berkumis lebat itu, merasa terancam. Jika korban membongkar kisah asmaranya dengan seorang gadis golf muda, bukan saja reputasi dan jabatannya yang melayang, nama besar KPK yang dipimpinnya pun diprediksi ikut tercoreng.
Berbagai analisis bermunculan untuk menebak motif kasus pembunuhan dan keterlibatan Antasari. Seperti Mantan Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI ini pun berusaha membungkam korban dengan berbagai cara. “AA mengerti karakter Nasrudin sehingga tidak berani bermain-main,” ujar Adrianus.
Di sisi lain, tentu saja tim kuasa hukum Antasari membantah semua dugaan di atas. Juniver Girsang, salah seorang kuasa hukum Antasari, misalnya, membantah dugaan hubungan khusus antara kliennya dengan Rani. “Itu fitnah. Ada skenario merusak citra Pak Antasari, keluarga, dan KPK. Pak Antasari mengenal Rani tiga tahun lalu di lapangan golf dan hanya bertemu dua kali,” ujarnya kemarin.
“Pak Antasari tidak melakukan tindak pidana pembunuhan berencana,” ujar Denni Kailimang, kuasa hukum Antasari lainnya.
Apa pun motifnya, kasus Antasari itu memang sangat mengejutkan semua orang. Tak seorang pun bias membayangkan bagaimana Antasari mempertaruhkan jabatan dan nama besarnya hanya karena takut dipermalukan atas kasus percintaan segitiganya dengan Rani. Hal ini telah ditanggapi Kapolri Bambang Hendarso Danuri bahwa tidak mungkin motifnya begitu sederhana terkait cinta segitiga.
Kasus Antasari benar-benar menjadi bulan-bulanan isu dan analisis yang tak akan kering-keringnya. Semua orang tahu bahwa Antasari tidak dengan mudah menduduki jabatan Ketua KPK yang sangat prestisius dan dinantikan gebrakannya oleh semua orang. Kasus-kasus korupsi besar di negeri ini di antara kasus BLBI yang melibatkan besan Presiden SBY, Aulia Pohan –saat masih bertugas aktif di BI- atau keterlibatan sejumlah wakil rakyat dalam kasus gratifikasi dan korupsi benar-benar membuat namanya berkibar dan jadi tumpuan banyak orang dalam penegakan good governance di negeri ini.
Gerak lincah KPK dengan pedang keadilan yang diayunkannya dalam menegakkan hukum dan kebenaran terkait kasus-kasus korupsi ternyata tidak hanya disambut positif oleh rakyat, Melainkan juga jadi cercaan para tersangka koruptor baik yang sudah divonis maupun dalam proses hukum.
Namun, isu yang berkembang dalam proses penyidikan terhadap para tersangka kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen ini terkait peranan Nasruddin yang diduga menjadi ‘calo’ kasus-kasus korupsi, membuat fokus pengungkapan kasus ini kian berkembang. Andaikan apa yang disinyalir banyak pihak adanya praktik-praktik tercela ini maka dipastikan nama besar KPK menjadi terusik.
Sesuai asas praduga tak bersalah, semua pihak harus berbaik sangka dulu pada oknum-oknum tersangka yang diperiksa mulai dari Antasari hinga para eksekutor yang terlibat. Kasus ini jangan pernah dijadikan sebagai upaya untuk melemahkan upaya pemerintah melalui KPK dalam memberantas praktik korupsi yang sudah merajalela selama ini. Seorang Antasari boleh saja menjalani proses hokum namun Tim KPK yang lain harus terus melanjutkan upaya-upaya penegakan hukum yang sangat dinantikan seluruh rakyat.
Sekaitan itu, tidak harus ada pihak-pihak yang harus bergumam untuk menghujat Antasari habis-habisan hanya gara-gara diri, keluarga, karib-kerabat dan pihak terkait lainnya pernah dijebloskan KPK ke dalam penjara untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya. Jangan pernah ada pemikiran begitu. Begitu pula, sangat disayangkan bila muncul suara-suara gerutu yang tak beralasan terhadap posisi Antasari dengan teriakan : ‘rasain!’.
Ini persoalan hukum. Seharusnya dijauhkan dari pandangan-pandangan subyektif yang hanya mengalihkan domain persoalan dari sesuatu yang substansial ke persoalan yang sepele dengan motif privasi. Posisi Antasari sebagai Ketua KPK yang menggempur para koruptor di negeri ini harus diacung-jempoli. Tapi, keterlibatannya sebagai tersangka ‘otak pembunuhan’ Nasruddin secara pribadi tentu patut disayangkan karena mengorbankan nama baik diri dan lembaga KPK yang telah dibesarkannya.
Hikmah semua ini, betapa tak ada seorang pun yang istimewa atau diistimewakan dalan kehidupan ini ketika berhadapan dengan tindak kesalahan. Apalagi, secara manusiawi, tak ada manusia yang luput dari kesalahan dan dosa. Selalu ada godaan demi godaan yang membuat seseorang dapat jatuh terkapar tanpa kehendak rasional dirinya. Selalu ada grand scene yang dibuat oleh Allah Maha Kuasa atas setiap diri hamba di muka bumi ini. Oleh sebab itu, jangan pernah ada yang merasa takabur di saat menyaksikan kenestapaan orang lain yang sedang menghadapi kesulitan.
Apapun keputusan pengadilan kelak, kasus ini hendaknya menjadi pelajaran bagi semua orang. Andai Antasari dinyatakan sebagai otak pembunuhan Nasruddin, maka kita perlu menyadari betapa manusia merupakan hamba yang lemah yang mudah tergoda hawa nafsu : harta, tahta dan wanita. Andai tuduhan atas Antasari tidak benar, maka peristiwa ini harus menjadi pelajaran betapa sulitnya hidup jujur dalam menegakkan keadilan dan kebenaran.
Ah, entahlah, Antasari! ***