Thursday, July 06, 2006

INDONESIAN PEOPLE..

Hai Salam Jumpa,
Aku memang selalu gelisah atas apa yang terjadi di negeri sendiri. Ada-ada saja hal yang kurang menggembirakan ketika belahan dunia lain terus berpacu laju meniti buih perabannya. Orang-orang di negeri lain leluasa memasuki dunia global dengan segala pernik-pernik kemajuan. Di sisi lain, orang-orang negeriku tak henti-hentinya menggali lubang buat dirinya sendiri. Makanya aku benar-benar terkesima ketika membaca puisi Taufik Ismail 'Malu Aku (Menjadi) Orang Indonesia'. Dalam komunikasi di alam maya dengan banyak orang di mancanegara, sering kualami begitu menyebutkan asalku dari Indonesia, mereka langsung menghentikan perbincangan. Sebab image yang melekat dalam pikiran mereka ketika masa-masa awal reformasi tahun 1998 ketika terjadinya pelanggaran HAM, pemerkosaan dan tindak kekerasan selama masa-masa euforia reformasi itu. Aku berusaha menjelaskan pada mereka sesungguhnya apa yang mereka dengar, baca dan lihat, tidak sepenuhnya begitu. Negeri Indonesia masih memiliki banyak ragam social capital yang menakjubkan...ya keindahan, keramah-tamahan dan kelembutan..
Tapi, di sudut hatiku yang lain, tak bisa disembunyikan masih banyak oknum-oknum orang senegri yang yang masih suka mempermalukan diri sendiri yang merebak ke image negerinya sendiri. Untuk itulah aku menulis : Indonesian People....Sebuah autokritik dan auto-satir untuk menertawakan diri sendiri sepuas-puasnya.. Ha ha ha

‘INDONESIAN PEOPLE’
Oleh Fakhrunnas MA Jabbar

BAGI saya, Pak Abu adalah seorang orator dan komunikator sejati. Kompetensi di bidang komunikasi itu diwujudkannya secara berkelanjutan selama karirnya di Departemen Penerangan –sebutan departemen sebelum berubah jadi Departemen Komunikasi dan Informasi-Kominfo. Saya merasa beruntung karena dapat menikmati kepiawaian Pak Abu dalam berorasi dengan publik ketika di tahun 1984 silam, kami sama-sama menjalani masa KKN di sebuah desa di Kecamatan Kampar. Dalam pertemuan-pertemuan dengan masyarakat di berbagai tempat baik masjid, mushalla, lapangan maupun pasar, Pak Abu selalu berbicara memukau, mempesona dan lebih lagi kaya humor yang mengundang gelak-tawa. Lebih-lebih lagi aksentuasi dan helaan napasnya yang mantap saat berkomunikasi. ‘diperkaya’ dialek Kampar yang mendayu-dayu bak tiupan angin semilir pegunungan.
Oleh sebab itu, membicarakan sosok Pak Abu, bagi saya, tak bisa lepas dari suasana gelak-tawa yang sulit dilupa. Selama masa KKN itu, banyak cerita-cerita Pak Abu yang selalu saya rekam dan saya ceritakan lagi kepada kolega lain dengan –tentu saja- menyebut ‘asbabun nuzul’ (sumber awal) cerita itu. Secara ilmiah, saya sudah terbebas dari sebutan ‘plagiator’. Secara keagamaan, saya senantiasa menyebut ‘sanad’ (hubungan satu kisah dengan kisah lainnya dari sumber-sumber yang terkait).
Banyak cerita Pak Abu yang memberi ilham kepada saya saat berbual dengan kolega yang lain. Satu hal yang selalu membuat saya tertawa geli ketika orang-orang yang mendengarkan cerita Pak Abu juga bisa menikmati tawa yang berkualitas hamper sama dengan saat saya mendengar cerita lucu itu pertamakali langsung dari ‘pabrik’nya. Namun, di antara banyak cerita yang menjadi ‘head line’ bagi saya adalah soal ‘Indonesian People’. Ini sebenarnya kisah pengalaman Pak Abu saat berkunjung di Negeri Gajah Putih, Thailand.
Suatu hari, Pak Abu bersama nyonya sampailah di Thailand. Saat sang nyonya berbelanja, Pak Abu duduk santai di depan toko sambil merokok. Apa rokoknya waktu itu? Ya, rokok ‘Gudang Garam” merah sebagaimana selalu diiklankan sebagai Rokok Pria Sejati.
“Sewaktu Abu duduk-duduk dengan menikmati rokok khas Indonesia itu, tiba-tiba seseorang datang menghampiri sambil bertanya : Are you Indonesian People?” cerita Pak Abu dengan aksen yang panjang dan berirama.
Pak Abu menjadi heran, kenapa orang Thailand itu bisa tahu asal negaranya. Padahal, dia sendiri tidak mengenal orang itu. Bahkan berbicara saja pun belum dilakukan. Memang sempat terjadi perdebatan. “Orang Thailand itu terus saja menanyakan : are you Indonesian people?. Lalu saya jawab dengan bahasa Inggris –kira-kira dalam bahasa Bangkinangnya : apo obe dek Tuan? (Bagaimana Tuan bisa tahu),” lanjut Pak Abu dengan gaya bertutur yang enak didengar.
Akhirnya Pak Abu menyelesaikan ceritanya. “Usut punya usut, ternyata Rokok Gudang Garam-lah yang membuat orang Thailand itu mengetahui kalau saya dari Indonesia. Ternyata, pada sebatang rokok, orang bisa mengenail identitas suatu bangsa,” tutur Pak Abu yang waktu itu membuat suasana audience ketawa gemuruh. Itulah, kepiawaian Pak Abu dalam memukau setiap orang yang mendengar pidatonya.
Jargon ‘Indonesian People’ memang mengilhami banyak orang untuk melihat sisi kurang sedap tentang tindak-tanduk orang Indonesia di mana saja baik di tanah air sendiri maupun di luar negeri. Saya masih punya banyak pengamatan langsung ditambah penuturan cerita kolega tentang sikap ambil ‘jalan pintas’, melanggar disiplin, melabrak peraturan dan tata tertib dan sifat-sifat minor lainnya yang membuat citra Indonesia menjadi terpuruk.
Siapa saja yang pernah bertandang di Negeri Jiran, Malaysia, boleh sakit hati ketika mendengar celetukan orang-orang sana menyebut TKI kita sebagai ‘Indon’. Sebutan itu kira-kira setara buruknya ketika orang-orang Belanda dulu di masa penjajahan menyebut orang pribumi sebagai ‘Inlander’. Menyakitkan, memang. Tapi, sebutan yang menyinggung perasaan itu ternyata bermula dari adanya oknum-oknum TKI kita yang berperilaku kurang pas dengan aturan normatif yang berlaku. Kasus-kasus kriminal –pencurian, perampokan, pembunuhan dan sejenisnya yang terjadi negeri itu ternyata agak dominan oleh orang-orang Indonesia. Ya, itulah sisi gelap Indonesian People yang kita bicarakan ini.
Sebuah cerita lain dalam perspektif yang agak berbeda dialami oleh serombongan kolega saya. Sewaktu kembali dari perjalanan darat dari Hat Yai, Thailand menuju Penang, di pos Imigresyen biasanya petugas kastam (bea cukai) akan memeriksa barang bawaan. Beberapa di antara mereka ada yang bawa VCD triple X dan sengaja menyembunyikan di kaos kaki atau di pinggang. Tapi salah seorang di antara mereka –patutlah dipanggil ‘Indonesian People’ secara berani meletakkan 5 keping VCD di kantong jaketnya. Tentu dengan mudah petugas kastam menemukannya sewaktu meraba jaket dan velananya. Begitu meraba ada kepingan benda di kantong jaketnya, petugas kastam bertanya spontan: “Ini apa, Encik?”. Sang kolega menjawab datar : Oh, ini VCD, Encik”. Selanjutnya terjadilah dialog begini:
“Hah, VCD apa pula?”
“Biase… VCD seronok-lah…”
“Untuk apa oleh Encik?”
“Ow..saya tontonlah. Biasanya saya tonton sama orang rumah.. Mana tahu, ada gaya yang patut saya tiru…”. Jawaban ini benar-benar membuat petugas kastam tersipu dan tertawa ceria sambil menatap Si ‘Indonesian People’ ini. Hening sejenak karena kedua orang itu saling bertatapan dengan tertawa lepas.
“Jadi, bagaimana Encik? Nak awak ambilkah VCD ini?”. Kali ini kolega saya yang balik bertanya.
Sambil menatap sejenak, petugas kastam menggerakkan tangannya tanda menyilakan. “Sila..bawa sajalah…!” ucapnya sambil tertawa. Tapi saat kolega saya berlalu sambil melambaikan tangan, petugas kastam berucap pelan sambil menggelengkan kepala: “Indonesieeee….”.
Di Singapura, ‘perangai’ sebagian ‘Indonesian People’ terasa kontras dengan gaya hidup tertib negeri jiran yang paling maju di kawasan Asia Tenggara. Tak salah kalau ada yang menyebut Singapura sebagai Negara 1000 denda. Segala sesuatu diatur agar tertib dengan law enforcement yang sangat kuat. Sebutlah, meludah, makan bon bon karet, memetik bunga, melompat pagar atau menyeberang jalan bukan pada tempatnya.
Sewaktu berada di Statsiun MRT (mass rapid transport) –kereta api bawah tanah di Singapura, melihat pagar pengamannya yang gampang disusupi siapa saja, saya sempat bertanya pada seorang security. “Apakah dengan pagar begini, tak ada orang yang berusaha melewatinya dengan mudah?” Tanya saya. Jawaban security itu membuat saya malu, “ada, tapi biasanya itu orang Indonesia.” Memanglah, ‘Indonesian People’ ini, pikir saya dalam hati.
Seorang kolega saya yang pernah tinggal di Amerika menceritakan juga trik-trik dan akal-bulus sebagian orang-orang Indonesia di sana. Kebiasaan yang berlaku di sana, toko-toko penjual peralatan dekorasi, lampu hias atau bunga pajangan membolehkan pembeli mengembalikan barang-barang yang sudah dibela dalam jangka satu bulan bila tak sesuai dengan selera. Kemudian, pemilik toko akan mengembalikan uangnya. Lantas, pada saat Tahun Baru, Natal atau Hari Raya Idul Fitri, ada saja orang yang memakai taktik kurang terpuji. Seminggu sebelum perayaan Hari Besar itu, barang-barang keperluan tadi dibeli dan dipajang selama masa perayaan. Tapi, seminggu menjelang genap sebulan, barang tadi dikembalikan ke toko sekaligus membatalkan pembelian karena tak sesuai dengan selera. Kebanyakan cara-cara begini dilakukan oleh warga negara pendatang dari kawasan Negara Berkembang termasuk Indonesia. Oh, lagi-lagi ‘Indonesian People’.
Syukurlah, waktu berkesempatan umroh di Tanah Suci beberapa tahun lalu, perasaan hati saya agak terhibur juga. Sebab, hamper semua pelayan toko dan kaki lima bila melihat orang Indonesia yang datang, langsung berucap dengan suara keras : Indonesia..Best..Indonesia..Best! (Indonesia paling terbaik). Kadang-kadang, ada juga pedagang di sana yang menambahkan : Soekarno..Best..Hal ini hampir dilakukan oleh semua pedagang di sana. Sewaktu saya berdialog dan menanyai mereka : Why? Mereka jawab bahwa orang Indonesia itu paling banyak duitnya, suka memborong barang-barang belanjaa dan satu lagi : uang kembalian dalam jumlah yang besar sering diikhlaskan saja. Apa bisa? Benar, biasanya sewaktu kita sudah membayar barang belanjaan dan menunggu kembalian uangnya, si pedagang biasanya akan bertanya: ‘Halal?”. Kita yang tidak tahu akan mengangguk dan bersemangat bilang ‘halal’. Dan, sisa kembalian uang itu pun jadi milik si pedagang. Lagi-lagi,’Indonesian People’. ***

No comments: