Thursday, March 29, 2007

MY CURRICULUM VITAE

dear all,
really, i feel just enough to put my CV in the profile..but that's no have many space there..so, i put my completely CV here..
if you need it, read by free:

SPN* Ir. Fakhrunnas MA Jabbar dilahirkan di Desa Tanjung Barulak, Kampar, Riau pada 18 Januari 1959. Mulai menulis sejak di bangku SMP di Bengkalis. Menamatkan Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan, Universitas Riau (UNRI) Pekanbaru tahun 1985. Menjadi dosen di Universitas Islam Riau (UIR) sejak 1986. Tulisannya berupa artikel, esai, cerpen dan puisi telah dimuat di sejumlah media nasional dan local seperti Horison, Kompas, Republika, Media Indonesia, Koran Tempo, Riau Pos, Kartini, Nova, Citra, Suara Pembaruan, Bisnis Indonesia, Seputar Indonesia, Gatra, Jurnal Nasional, dan sebagainya. Aktif dalam berbagai organisasi kesenian dan kebudayaan a.l. Komite Sastra Dewan Kesenian Riau (1994-96), Sekretaris Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI- 1983-95), Sekretaris Lembaga Seni Budaya Pemuda KNPI Riau (1981-85), Sekretaris Komite Program Yayasan Puisi Nusantara (1980-84). Sejumlah buku telah diterbitkan antara lain,Di Bawah Matahari 1981) dan Matahari Malam, Matahari Siang (1982) - keduanya kumpulan puisi bersama penyair Husnu Abadi , Meditasi Sepasang Pipa (1987) –kumpulan puisi bersama penyair Wahyu Prasetya, Biografi Buya Zaini Kuni : Sebutir Mutiara di Lubuk Bendahara (1993), Autobiografi H. Soeman Hs: Bukan Pencuri Anak Perawan (1998) yang terpilih sebagai Buku Terbaik Anugerah Sagang tahun 1999. Kumpulan Puisi Airmata Barzanji (Adi Cita, Yogyakarta, 2005, Pengantar oleh D. Zawawi Imron), Kumpulan Cerpen Sebatang Ceri di Serambi (Akar Indonesia, Yogyakarta, 2005, Kata Pengantar oleh Dr. Maman S. Mahayana) – pernah dibahas oleh Pengamat Sastra Prof. Harry Aveling di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia, 2006 serta terpilih sebagai 10 Nominator Khatulistiwa Literary Award 2006 dan terpilih sebagai Buku Pilihan Anugerah Sagang 2006 Katagori Buku Pilihan. Sejumlah puisinya diterjemahkan dan ikut dalam Antologi Puisi Indonesia-Portugal bersama 50 Penyair Indonesia lainnya. Kumpulan Puisi terbarunya, Tanah Airku Melayu diterbitkan oleh Balai Pengkajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Yogyakarta kerjasama dengan Riaupulp. Buku ini diuluncurkan 29 Januari 2009 yang dibahas oleh Dr. Yusmar Yusuf. Selain itu, 6 buku cerita anak di mana tiga judul di antaranya termasuk buku Inpres yakni Anak-anak Suku Laut (Pustaka Utama Grafiti, 1994), Menembus Kabut (Depag RI, 1985), Menyingkap Rahasia di Bumi Harapan (1997). Sebuah cerpennya, Rumah Besar Tanpa Jendela dimuat dalam Buku Cerpen Horison Sastra Indonesia (Horison, 2001) dan diangkat ke sinetron oleh Chaerul Umam ditayangkan di LaTivi (2002). Sering memenangkan Sayembara Penulisan Sastra di antaranya Juara Pertama Penulisan Cerpen se-Indonesia (Bali Post, 1992), Juara Pertama Penulisan Cerpen se-Indonesia (UNS Surakarta, 1993), Juara Pertama Penulisan Puisi Lingkungan se-Indonesia (Sanggar Sastra Banjarmasin, 1987) dan Juara Pertama Penulisan Puisi tingkat Mahasiswa se-Indonesia pada Porseni tahun 1982) dan lain-lain. Sering pula memberikan ceramah sastra dan budaya dan membaca puisi di sejumlah kota seperti Kuala Lumpur, Singapura, Pekanbaru, Padang, Medan, Jambi, Lampung, Jakarta dan Bandung. Pernah diundang oleh Unesco Korea Selatan tahun 1999 bersama dua budayawan Indonesia dan Negara-negara ASEAN lainnya pada ’99 Cultural Exchange Programme ASEAN-Republic of Korea di Seoul dan Kyong Ju. Menghadiri dan membacakan puisi pada event sastra seperti Hari Sastra di Malaysia, Pertemuan Puisi Indonesia 1987, Malam Bosnia (1995), Malam Solidaritas Islam (1996), Gong Melayu 2001 (2001) dan Baca Sajak Tempuling Rida K. Liamsi (2003), Cakrawala Sastra Indonesia (2004) – semuanya di TIM Jakarta dan Kongres Cerpen Indonesia di Pekanbaru (2006). Terakhir, membacakan sajak-sajaknya di Laman Bujang Mat Syamsuddin, Bandar Serai, Dewan Kesenian Riau, Pekanbaru, Maret 2004, Baca Puisi 'Semalam di Riau' bersempena Lomba Baca Puisi Nasional Rida K. Limasi di TMII, jakarta (2008). Selain aktif berkesenian, dia juga menjalani profesi sebagai wartawan selama 20 tahun sejak 1979 dimulai dari LKBN Antara, Mingguan Genta, Majalah Topik, Panji Masyarakat, Prioritas, Media Indonesia dan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Sering memenangkan Lomba Karya Jurnalistik di Riau. Hingga saat ini menjadi kolomnis tetap dengan rubrik 'Kopi Pagi' di Harian Riau Mandiri. Tahun 2007 lalu mendapat Anugerah Budayawan Terbaik dari Sanggar LDT- Universitas Islam Riau dan Anugerah *Seniman Pemangku Negeri (SPN) bidang Sastra dari Dewan Kesenian Riau (DKR) serta tahun 2008 terpilih sebagai Seniman/ Budayawan Pilihan Sagang dari Yayasan Sagang -sebuah anugerah di bidang kebudayaan yang prestisius di Riau. Saat ini bekerja pada PT Riau Andalan Pulp And Paper, perusahaan pulp dan kertas di Pangkalan Kerinci, Pelalawan Riau. ***

PENYAKIT MATI RASA

dear all,
when i read the newpaper and watching the TV that show us about mostly of the legislative member in Indonesian-wide make demonstration in President Place of Indonesia in Jakarta...they push our government to get them some allowance (out of salary)..while many people mut live in poor...
in my mind..they have loss their sensivity...
my writing about that case..

KOLOM

Fakhrunnas MA Jabbar



PENYAKIT ‘MATI RASA’



PENYAKIT apakah yang paling berbahaya di Indonesia saat ini? Jawabannya sudah bisa dipastikan berkisar penyakit flu burung dan HIV/AIDS. Pasalnya, wabah flu burung telah merenggut nyawa 62 orang dari hampir 100 kasus. Penderita HIV/ AIDS di Indonesia hingga akhir tahun 2006 lalu mencapai 11.000 lebih penderita dan ratusan orang lainnya sudah menjemput ajalnya. Dahsyat memang.

Persoalan yang melanda bangsa Indonesia tak sebatas penyakit endemik yang tersebar luas di tengah-tengah masyarakat yang terbilang penyakit medik. Tentu saja, selalu ada alternatif obat yang ditemukan melalui penelitian-penelitian ilmiah untuk mengatasi penyakit medik itu. Sebutlah penemuan Buah Merah yang konon dapat menghambat perkembangan inkubasi virus HIV atau CVO (Coconut Virgin Oil) yang berkhasiat tinggi untuk melumpuhkan banyak penyakit medik. Kita sedang menghadapi wabah penyakit sosial yang disebut penyakit ‘mati rasa’. Gejala-gejala klinis-sosialnya memperlihatkan rendahnya rasa empati, tenggang-rasa, kesetiakawanan atau suka menzalimi sesamanya.

Padahal, semua ajaran agama mengingatkan betapa penting makna sebuah persaudaraan. Bahkan dalam ajaran Islam ditegaskan melalui sebuah hadits :”Tidak sempurna iman seseorang kamu, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai diri sendiri.” Banyak kisah menarik yang mengandung ajaran kebajikan jadi tamsil bagaimana arti sebuah tenggang rasa atau setia kawan sesama saudara atau tetangga. Muaranyanya tak lain munculnya rasa persatuan dan kesatuan serta rasa aman di suatu lingkungan sosial.

Di tengah rakyat didera derita panjang sejak bermulanya era Reformasi, wakil rakyat yang sudah diamanahkan memperjuangkan aspirasi rakyat yang beragam terutama urusan periuk-nasi sebagai basic need. Rakyat yang awam hanya memelukan adanya perubahan signifikan akan nasib mereka sehari-hari. Pepatah lama : ‘berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian’ yang mengisyaratkan kebahagiaan hanya dapat diraih dengan bersakit-sakit lebih dulu, sudah tak mempan lagi menyejukkan tabularasa rakyat. Sebab, memang rakyat kita memang sudah bersakit-sakit lama sekali tanpa perubahan yang berarti. Pergantian rezim dan sistem demokrasi, ternyata tak kunjung menyentuh perubahan nasib rakyat.

Di tengah-tengah kondisi semua harga barang-barang kebutuhan melambung tinggi dan terjadinya penurunan pendapatan rakyat karena nilai tukar rupiah yang terdepresiasi, barang-barang kebutuhan dasar rakyat justru sulit ditemukan di pasar. Beras yang sudah menjadi kebutuhan dasar semua rakyat ternyata harganya melambung karena Bulog tidak melakukan antisipasi dan poraktif. Belum lagi persoalan ketersediaan minyak tanah tiba-tiba hilang di pasaran mengakibatkan harganya melambung tinggi mencapai Rp. 12.000 per liter melebihi harga solar atau bensin. Pertanyaan yang muncul kemudian, di mana apa saja yang sudah dilakukan Pertamina atau BP Migas sebagai pemegang hak monopoli untuk urusan dasar tersebut? Keperihan rakyat terutama di ceruk-ceruk kampong bagai kehabisan gema ketika sampai di gedung-gedung wakil rakyat.

Dalam suasana seperti itulah, Pemerintahan SBY-JK menerbitkan PP 37/ 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD yang bermuara dengan polemik dan unjuk rasa rakyat dan kalangan professional serta LSM. PP yang identik dengan upaya memperkaya para wakil rakyat atau melegalkan korupsi itu akhirnya diputuskan Presiden SBY untuk dicabut. Padahal, hampir 80 persen para wakil rakyat di daerah-daerah –Provinsi dan Kabupaten- telah mencairkan rapel dana tersebut. Dipastikan, persoalan baru akan muncul karena pengembalian dana yang sudah dicairikan dan dipakai itu cukup besar pula. Untuk seorang anggota DPRD bisa memperoleh dana mencaai 60 jt dan unsur pimpinan mencapai Rp. 200 juta. Untunglah tenggat waktu pengembalian dana tersebut ditoleransi hingga Desember 2007.

Munculnya PP 37/ 2006 yang mengundang kontroversial publik itu memang menyisakan banyak pertanyaan. Apakah tidak dilakukan pengkajian dan analisis-analisis lebih dulu dengan mempertimbangkan unsur kepantasan di tengah negeri ini dilanda banyak persoalan. Bukankah pemberian tunjangan dalam jumlah besar untuk anggota legislatif ini lebih memberi kesan adanya ‘main mata’ kalangan eksekutif dan legislatif? Secara kasar, realitas itu mengesankan: ’sesama bis kota dilarang saling mendahului’? Kolaborasi kedua lembaga pemerintahan itu justru makin membuat praktik-praktik korupsi yang dilegalkan akan semakin banyak terjadi.

Di sisi lain, rakyat benar-benar kecewa ketika para wakil rakyat kurang bereaksi untuk mengkritisi PP 37/2006 yang terang-terangan melukai hati-nurani para konstituen-nya. Syukurlah, masih ada segelintir kalangan legislatif itu –sebagaimana ditunjukkan oleh Fraksi PKS- yang berketetapan hati akan menghimpun dana tunjangan mencapai Rp. 14 milyar yang akan disumbangkan untuk rakyat miskin. Sikap ini sangat simpatik dan terpuji sehingga akan mengurangi kekecewaan rakyat.

Kekhawatiran banyak orang, para wakil rakyat kita semakin kehilangan sensitivitas dan sikap kritis terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat. Di sisi lain, sebagian besar di antara mereka justru memperlihatkan sikap lebih mmentingkan diri dan kelompok. Padahal, rakyat tidak buta dan tuli untuk memotret gerak-gerik mereka saat berkiprah di panggung politik yang dinamik. Kekhatiran banyak orang, janganlah wakil rakyat kita sampai mengidap penyakit ‘mati rasa’ atau tak punya sensitivitas lagi. Sebab, menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi negara dan bangsa terutama rakyat kecil amat membutuhkan keberpihakan sikap dan tindakan. Jangan biarkan rakyat kehilangan penghormatan atau apresiasi sementara keberadaan wakil rakyat sejak dulu memang amat dihormati dan dimuliakan.

Penyakit ‘mati rasa’ hanya dapat diobati dengan selalu ber-empati dengan sering memasuki hati rakyat yang terdalam. Nestapa rakyat mestinya harus dimaknai sebagai keperihan para wakil rakyat pula. Syukur-syukur, tak hanya sekadar merasakan tetapi berbuat suatu yang nyata sebagai keteladanan yang patut ditiru. ***





Fakhrunnas MA Jabbar adalah budayawan, peminat masalah sosial, kini tinggal di Pangkalan Kerinci, Riau.

PEJABAT TERAS DI HARI JUMAT

dear reader,
every friday, we always see many guys will come to the mosque for praying. any interesting view when many of them will come late while the space of the mosque have full. where do will sit at the mosque? yeah, the will sit at the terrace of the mosque. i call them as 'pejabat teras' (people at the terrace of the mosque)...
may be one of them inclue me too.. he he..this outo-criticsm...
let read it..

KOLOM

Fakhrunnas MA Jabbar



PEJABAT TERAS DI HARI JUMAT



HARI Jumat boleh digunakan untuk mengukur kadar ketunakan se sesorang dalam menjalankan ibadah di tengah public yakni sholat Jumat. Setidak—tidaknya saat pertamakali hadir di masjid. Dulu, para guru mengaji mengajarkan kita bahwa pahala bagi seorang yang paling pertama datang di masjid untuk menunaikan sholat Jumat akan mendapatkan pahala senilai berqurban seekor unta. Begitu pula untuk jamaah yang datang di urut nomor dua dan seterusnya akan memperoleh pahala senilai korban seekor sapi, lembu, ayam dan seterusnya. Namun, bagi yang datang di penggalan akhir, harus puas menerima senilai qurban sebutir telur ayam saja. Begitulah keadilan Allah dalam memberikan imbalan yang pantas dan obyektif dalam konteks ritual ubudiyah.

Dalam urusan ibadah, memang tak ada perlakuan istimewa pada seorang jamaah di mata Allah. Inna akrama kum, ‘indallahi atqakum (Yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling tinggi ketaqwaannya). Seseorang yang terlambat menempati shaf dalam sholat berjamaah, harus puas berdiri di bagian belakang yang masih kosong. Itulah sebabnya, seorang imam selalu berpesan sebelum memulai ibadah sholat agar para jamaah mengisi shaf terdepan lebih dulu.

Tapi, dalam realitas sehari-hari, kita masih sering menyaksikan bagaimana protokoler duniawi bercampur-aduk dengan urusan ukhrowi atau ubudiyah ini. Seorang pejabat publik yang ikut dalam ritual ubudiyah berjamaah ini selalu diberi tempat istimewa dalam barisan shaf terdepan, meski datang terlambat. Hal ini dilegalisir dengan pertimbangan semata urusan protokoler duniawi atau kewibawaan pejabat bersangkutan. Padahal, Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin dulu yang juga terbilang sebagai pejabat public –setingkat Kepala Negara dan Pemerintahan- tidak memberlakukan protokoler serupa itu. Bahkan, mereka melepaskan hak privilege (istimewa)nya selaku orang nomor satu dalam urusan pemerintahan bila berhadapan dengan urusan syari’ah.

Ada hal yang menarikyang amat kontras dijumpai dalam setiap peristiwa sholat Jumat. Sebagian besar jamaah justru berebutan datang ke masjid dan mencari shaf justru pada detik-detik akhir menjelang dimulainya ibadah sholat Jumat. Akibat bagian dalam masjid tak memadai lagi menampung para jamaah sehingga bagian luar masjid-lah yang menjadi alternative satu-satunya. Syukurlah kebanyakan masjid sekarang sudah diperluas dengan membangun teras atau serambi baik terutama di kiri-kanan bangunan induk masjid.

Pertanyaan kita: siapakah mereka yang menempati shar luas masjid itu? Itulah kelompok yang boleh disebut ‘Pejabat Teras’ di hari Jumat. Maksudnya, orang-orang yang selalu menempati shaf di bagian teras masjid karena keterlambatan kehadirannya dalam ritual sholat Jumat. Tentu saja, semua orang punya alasan untuk datang terlambat karma terkait urusan-urusan duniawi baik di rumah tangga maupun di kantor. Alasan keterlambatan ini tentu hanya bisa diadili secara jernih dan obyektif oleh Allah bersama para malaikat yang ditugaskan mengawasi aktifitas manusia di dunia.

Padahal, semua kita sadar akan kewajiban untuk segera meninggalkan aktifitas duniawi agar mengutamakanl ibadah Jumat. Khatib Jumat selalu mengingatkan para jamaah, apabila waktu sholat Jumat tiba, hendaklah semua orang meninggalkan urusan duniawi dan bergegas ke masjid agar berkonsentrasi memperhambakan diri kepada Allah. Bahkan, semestinya semua urusan jual-beli (muamalah) dihentikan selama melaksanakan ibadah sholat Jumat tersebut. Jadi, sholat Jumat ini mestinya menjadi kebutuhan sebagaimana para sufi menjadikan ibadah sebagai kelengkapan hidupnya.

Tapi, secra individual, urusan beribadah memang berpulang kepada masing-masing orang untuk mengamalkannya. Sebab, bear kecil dosa yang dilakukan sudah menjadi tanggungjawab pribadi bagi orang yang sudah akil-baligh untuk memikulnya. Dan semua perbuatan dosa itu akan dimintai pertangungjawabannya di hari akhirat kelak.

Di masa kecil dulu, guru mengaji saya selalu bercerita tentang orang-orang yang berbuat baik dan berbuat jahat untuk menjelaskan batasan kebenaran dan kesalahan. Tujuan guru mengaji ini tak lain agar murid-muridnya faham dan kelak menjadi orang yang alim atau taat. Dikisahkan, tentang orang yang melalaikan sholat Jumat. Begini: sejumlah orang di sebuah kampung di zaman dahulu kala asyik mencari ikan di sungai pada hari Jumat. Mereka asyik menangkap ikan karena jumlahnya memang banyak dan berukuran besar-besar pula. Sayangnya, sampai saat adzan di masjid bergema, mereka terus saja menangkap ikan. Seolah-olah tak peduli saja. Beberapa orang alim yang lewat di dekat sungai itu, menyerukan agar mereka segera meninggalkan usaha dan menunaikan sholat Jumat. Tapi, justru mereka bukannya patuh dan sadar melainkan memperolok-olokkan para orang alim yang lewat. Layaknya seekor monyet memperagakan kegembiraan begitu mendapatkan ikan-ikan besar sambil tertawa-tawa ceikikan. Panggilan kebenaran ternyata mereka sambut dengan olok-olok dan meremehkan.

Sewaktu para jamaah pulang Jumat, mereka terkejut saat melewati sungai tadi. Puluhan monyet sedang berpesta sambil tertawa-tawa dengan memperagakan sikap berlebihan karena mendapatkan ikan yang banyak. Seperti bisa diduga, menurut guru mengaji dulu, ternyata orang-orang yang tidak melaksanakan sholat Jumat itu, atas kehendak Allah telah berubah menjadi monyet-monyet besar.

Begitulah ajaran kebajikan yang bijak selalu muncul di sepanjang masa. Adakalanya ajaran itu turun dari langit atau gunung. Bahkan tak jarang pula tamsil-tamsil bijak itu mencuat dari dasar laut atau lembah yang dalam. Allah pun telah membentangkan kehidupan dunia ini untuk seua orang mencari rezeki bagi kelangsungan hidup diri dan anak-istri atau keturunannya. Sebagaimana sebuah hadits Rasulullah : “Kejarlah duniamu, seolah-olah kamu akan hidup untuk selamanya. Tapi kejar pula akhiratmu seolah-olah kamu akan mati esok hari.”

Ibadah sholat lima waktu dan sholat Jumat pada hakikatnya hanya menguras beberapa menit saja disbanding waktu 24 jam yang tersedia dalam sehari. Benar kata Bimbo : “sholat itu laksana interupsi belaka”. Tidak akan menyita banyak waktu. ***

MUNDUR

Dear All,
Mundur (retreat, resign) from the position is a gentlement attitude as a best responsibility. But, there are many our executive in bereucration have no this. Many subordinates depend their responsibility to their superordinate.. A minister in our country will never retreat or resign from his position although has many mistakes..Let see our Transportation Minister, Hatta Radjasa.. Many crashes related land, air and ater transprtation..but he feel free in his position..The great poet of Indonesia, Taufik Ismail have ever wiritten a nice poem that tittle : (Malu) Aku Jadi Orang Indonesia..(To be ashame become an Indonesian People)..
This is my opinion about the phenomenon..

Tradisi Mundur dari Jabatan

ADA anekdot soal naik kendaraan di Indonesia. Di masa Orde Baru dulu, katanya, perseneling mobil yang jarang digunakan saat berkendaraan adalah mundur. Apalagi kalau mobil tersebut dikendarai oleh para pimpinan kantor, pejabat publik atau organisasi. Sebab, kata-kata ‘mundur’ menjadi sesuatu yang ditabukan karena selalu dianggap identik dengan pertahanan sikap akan jabatan yang dipegangnya. Itulah sebabnya, nyaris sepanjang perjalanan birokrasi di negeri ini, sangat langka kita dengar ada pejabat publik yang mundur sebagai konsekuensi kelalaian tugas yang diembannya.
Akibatnya, meski sudah melakukan banyak kesalahan di mata publik, tradisi mundur itu benar-benar dikekalkan.Padahal, negeri Jepang yang sama-sama berasal dari bangsa Timur terus saja menyuburkan tradisi mundur sebagai konsekuensi tidak bisa memenuhi tanggungjawab tugas publik sebagaimana diharapkan masyarakat. Sering terjadi, Menteri Transportasi atau Perhubungan langsung mundur ketika terjadi kecelakaan pesawat terbang atau kereta api. Orang boleh saja bedalih kalau tradisi mundur di negeri Sakura itu terkait nilai-nilai budaya ‘harakiri’ (bunuh diri karena tak kuat menahan rasa malu) yang sudah berlangsung turun-temurun.
Boleh jadi, tradisi mundur dalam birokrasi Indonesia masih saja ‘diharamkan’. Sebutlah tragedi kecelakaan transportasi yang terjadi berulang-ulang, disikapi oleh pejabat public dan masyarakat secara berbeda. Cobalah runut sejumlah musibah terkait kasus kecelakaan transportasi sejak dulu hingga kini di antaranya kecelakaan laut berupa tenggelamnya Tampomas II, KM Levina dan masih banyak lagi. Kecelakaan udara bak silih berganti yang menewaskan ribuan jiwa seperti kecelakaan pesawat Garuda di Sibolangit (Sumut), Mandala di Polonia, Lion Air di Semarang, Adam Air yang ‘menghilang’ di dasar laut, kawasan Kalimantan, patahnya tubuh pesawat Adam Air dan terakhir terbakarnya pesawat Garuda Indonesia di Lanud Adi Sutjipto, Yogyakarta. Kecelakaan darat pun nyaris terjadi tiap bulan seperti tragedi KA Bintaro yang menghebohkan, anjloknya sejumlah kereta api di lintas Pulau Jawa. Ditambah pula tabrakan bus dan mobil kecil yang menghiasi halaman suratkabar dan layar kaca.
Jangan-jangan, Indonesia bakal tercatat di dalam Guinnes Book Record sebagai negara yang paling banyak kasus kecelakaan transportasinya. Kasus-kasus kecelakaan transportasi ini tenyata tak menggugah perasaan Menteri Perhubungan –dari masa ke masa- untuk mengundurkan diri. Semangat lagu ‘Maju Tak Gentar’ benar-benar telah mengilhami pejabat public kita terkait untuk tetap bertahan di jabatannya. Apa yang diucapkan Menteri Perhubungan, Hatta Radjasa, menyikapi tuntutan mundur dari berbagai pemangku kepentingan di negeri ini bahwa ‘saya akan mundur apabila dikehendaki oleh Presiden.’ Alasan-alasan semacam ini sudah menjadi kalimat baku bagi para menteri yang duduk dalam jajaran kabinet Indonesia sejak dulu.
Tidak punya sensitifitaskah Hatta Radjasa akan tuntutan publik yang merasa kecewa dengan kinerja Departemen Perhubungan? Tidak juga. Pasalnya, Radjasa justru menyikapi banyaknya kasus kecelakaan transportasi ini dengan melakukan restrukturisasi atau mengganti sejumlah Dirjen atau Direktur terkait. Padahal, bila seorang menteri merasakan terlalu banyak titik lemah para pembantu-pembantu dekatnya, bukankah sebenarnya hal itu bermakna kegagalan atas pembinaan yang dilakukannya sebagai pimpinan departemen.
Tradisi mundur dari jabatan di Indonesia apabila dipandang gagal oleh publik dalam mengurus manajemen tugas dan tanggungjawab sangat jarang dilakukan para pejabat publik kita. Alasannya, tidak mundur dari jabatan saat institusi yang dipimpinnya sedang bermasalah dipandang sebagai sikap kesatria dan bertanggungjawab. Mundur dapat diartikan sebagai ‘lari’ dari tanggungjawab. Sebaliknya, di sejumlah negara lain seperti Jepang dan negara-negara Barat, kegagalan dalam mengurus tugas dan tanggungjawab dipandang sebagai aib. Apalagi bila kesalahan itu terjadi berulang-ulang.
Syukurlah, Wapres Jusuf Kalla sempat berbasa-basi di depan para pengusaha asing belum lama ini dengan mengatakan ‘sangat malu’ atas tragedi dunia transportasi di Indonesia. Tapi itu pun hanya sebatas retorika belaka. Tak ada teguran atau sapaan bagi Menteri Perhubungan sepenuhnya bertanggungjawab dalam urusan transportasi itu.
Berulang-ulangnya kasus kecelakaan transportasi di tanah air memang mengundang tanda tanya dan renungan panjang bagi setiap manusia Indonesia. Kenapa harus Indonesia? Sementara penggunaan jasa transportasi di semua negara dunia justru semakin intensif. Sarana angkutan udara, darat dan laut pun sama-sama dipergunakan sesuai standar. Tapi, kenapa kasus kecelakaan di negara-negara lain tidak separah di Indonesia. Tanya kenapa?
Mengelola bidang transportasi tak terlepas dari kemampuan manajerial yang dikombinasikan dengan skill, knowledge dan kompetensi. Tuntutan seperti ini sudah dinukilkan dalam sebuah ajaran Islam bahwa ‘serahkanlah sesuatu pekerjaan pada yang ahlinya. Apabila tidak, tunggulah saat kehancurannya.” Dalam konteks ini, menjadi Menteri Perhubungan tentulah tak terlepas dari aspek manajemen dan teknis yang terkait dengan bidang yang dikelolanya.
Pemerintahan kita memang sudah terbiasa dengan tradisi gonta-ganti menteri yang sering mengabaikan aspek kemampuan teknis ini. Masyarakat mafhum bila jabatan setingkat menteri tentulah lebih ditekankan pada aspek manajerial karena sangat bersentuhan dengan keputusan-keputusan strategis dan politis. Namun, apabila terlalu sering terjadi kasus kecelakaan transportasi di bawah manajemen kementerian yang dipegangnya, tentulah ini tak terlepas dari aspek kompetenesi yang dimiliki.
Sebuah analogi sederhana dapat dilihat pada manajemen sebuah rumah makan. Banyak orang yang bekerja di bisnis semacam ini mulai dari tukang masak, pelayan, penyambut tamu, tukang cuci piring, tukang bersih ruangan dan sebagainya. Apabila para pekerja di rumah makan itu selalu dan selalu melakukan kesalahan –apakah akibat faktor ‘human error’ atau ‘aspek teknis peralatan’- sudah sepatutnya kemampuan manajer rumah makan itu patut dipertanyakan. Apalagi, komplain para pelanggan semakin deras dan akan mempengaruhi citra rumah makan. Ujung-ujungnya tentulah nilai jual rumah makan tersebut menjadi sangat rendah dan prospek bisnisnya ke depan menjadi suram.
Menteri Perhubungan, Hatta Radjasa dalam banyak kasus kecelakaan transportasi ini tentulah sama dengan posisi seorang manajer rumah makan. Diperlukan kemampuan manajerial untuk mengatur tim kerja terkait dengan tugas-tugas teknis. Sudahkah peralatan yang ada selalu dikontrol masa ekonomisnya? Para pekerja dites atau menjalani proses assement agar tetap prima dan punya standar kompetensi? Atau rotasi jabatan di lingkungannya memang berjalan obyektif bukan karena faktor-faktor emosional dan subyektifitas. Kepantasan mundur dari jabatan amat tergantung pada kepekaan memaknai tugas dan tanggungjawab serta kompetensi yang dimiliki. ***

Fakhrunnas MA Jabbar adalah budayawan, tinggal di Pekanbaru.

STUDI BANDING

Dear All,
Benchmarking is important things to upgrade our performance. Many people love to do with go around many places in the world. May be, we are include as people that too love to do benchmarking with reason to get knowledge and best practice from others..while in their deepest heart that only for travelling...may you are not include this type..
warm regards,

KOLOM

Fakhrunnas MA Jabbar


STUDI BANDING


MASIH ingat kasus pemecatan Joko Edhi, anggota DPR RI dari Fraksi PAN yang dipecat oleh institusi partai setelah melakukan studi banding bidang keagamaan di Mesir? Begitulah, studi banding saat ini sudah kehilangan marwah. Banyak pihak menggunakan sebutan studi banding untuk mengemas sebuah perjalanan rekreasi dengan menggunakan dana publik. Padahal, setiap sen dana publik itu hendaklah dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada pemiliknya yakni rakyat.

Padahal studi banding (benchmarking) yang benar merupakan proses pembelajaran pada pihak lain yang lebih sukses dalam melakukan suatu aktifitas dengan harapan kesuksesan tersebut dapat diadopsi. Perusahaan-perusahaan besar yang menjalankan praktis bisnisnya secara professional selalu melakukan proses studi banding ini guna meningkatkan kinerja. Jangan heran, dana yang dikucurkan untuk melakukan studi banding itu sangat besar karena feed back yang diharapkan sesudahnya dapat meningkatkan efisiensi dan keuntungan bisnis.

Negeri kita yang tak henti-hentinya ingin belajar, kegiatan studi banding menjadi aktifitas rutin dan seremonial di semua jenjang organisasi dan institusi. Dikhawatirkan, ada pihak yang menjadi studi banding sebagai pekerjaan pokok karena studi banding dipersepsikan sebagai traveling (perjalanan). Fenomena ini melanda organisasi kemasyarakatan dan politik hingga para birokrat pemerintahan. Selalu dan selalu saja bila hendak memulai suatu program yang baru –apalagi berbau spektakuler- di dalam anggaran yang disusun akan diawali dengan kegiatan studi banding. Padahal, apa yang akan dipelajari di tempat atau negara lain itu belum tentu lebih baik dibanding apa yang sudah dipraktikkan di tempat sendiri.

Studi banding yang berkepanjangan di negeri benar-benar membuat sebuah program menjadi tak menentu dan salah kaprah. Amati saja bagaimana pengembangan sistem pendidikan di negeri kita yang berpola maju-mundur sejak dulu. Semua kebijakan pendidikan itu diawali dengan studi banding di negara lain. Ironisnya, negara bandingan kadang-kadang hanya ditetapkan berdasarkan dorongan emosional dan subyektifitas para Meneri dan pejabat tinggi Departemen Pendidikan. Bila unsur pimpinannya mempunyai back ground pendidikan di negara Prancis maka kebijakan pendidikan kita akan merujuk ke negara bersangkutan atau Eropa. Tanpa terasa, secara silih berganti, kebijakan pendidikan kita berganti-ganti rujukan mulai dari Canada, Australia, Eropa dan tak mustahil ke negara-negara Asia sendiri termasuk Malaysia dan Singapura.

Masih ingat ‘kan, ketika masa belajar dalam sistem pendidikan kita yang gonta-ganti dari pola triwulan, caturwulan hingga semester. Sistem semester ini diprakarsai oleh Mendikbud, Daoed Joesoef yang sering melahirkan kebijaka-kebijakan controversial. Tapi untunglah logika penggunaan sistem semester ini masuk akal juga sebab kebijakan itu dimaksudkan untuk penyesuaian masa belajar di negeri kita dengan Eropa dan Amerika. Dengan demikian bila ada pelajar kita yang melanjutkan pendidikannya di luar negeri khususnya Eropa dan Amerika, tidak harus menunggu beberapa bulan untuk penyesuaian masa belajarnya.

Teramat banyak masalah dan kebijakan pendidikan kita yang berdampak akhir pada rakyat. Celakanya, kebijakan itu justru bisa-bisa mencederai rakyat kecil yang berpenghasilan pas-pasan. Ingat saja kebijakan ganti buku cetak pelajaran tiap tahun yang mengakibatkan belanja buku para orangtua menjadi membengkak karena buku tahun ini tak dipakai lagi untuk generasi tahun berikutnya. Kelak ditengarai ada ‘mafia buku’ yang melakukan praktik-praktik tak terhormat dengan mengorbankan rakyat.

Studi banding pengembangan pariwisata benar-benar menjadi pembenaran untuk traveling ke mancanegara. Sebab, berwisata itu sendiri merupakan bagian yang harus distudi. Tapi ketika angka-angka jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung di negeri kita tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan, terasalah studi banding itu menjadi basa-basi belaka. Lihat saja data statistik dari tahun ke tahun, jumlah kunjungan wisatawan asing ke negeri kita berkisar 1-3 juta saja, sementara Singapura yang tak lebih dari negeri pulau seluas 50 ribu hektare mampu meraih angka 5-6 juta per tahun.

Belum lagi, studi banding soal pengentasan kemiskinan di sejumlah negara. Sudah tak terhitung perjalanan studi banding yang dilakukan pihak pemerintah kita –mulai pusat hingga daerah-daerah- dalam menangani orang-orang miskin yang tiap tahun cenderung terus bertambah. Tapi, angka kemiskinan dan nasib orang-orang miskin di negeri ini tak kunjung berubah secara signifikan. Malah, data-data kemiskinan saja begitu simpang siurnya. Pantas saja, budayawan Idrus Tintin (alm) menggagaskan untuk mengatasi kemiskinan cukup dikeluarkan sebuah Perda yakni Perda Kemiskinan. Salah satu pasal penting di dalam Perda itu berbunyi begini : setiap penduduk di daerah ini dilarang miskin. Barangsiapa yang masih miskin akan didenda atau menjalani masa kurungan/ tahanan. Dahsyat!

Tahun 2006 ini, begitu seorang bankir Bangladesh yang bernama Muhammad Yunus meriah Nobel Perdamaian, bukan tak mustahil banyak negara dan provinsi yang berhasrat melakukan studi banding ke sana. Sebab, Muhammad Yunus bersama sebuah bank yang mengucurkan kredit tanpa agunan bagi orang-orang miskin –khususnya kaum perempuan- berhasil mengangkatkan harkat banyak orang miskin di negeri itu. Siapa yang tak tergiur untuk mempraktikkan keberhasilan Muhammad Yunus itu ketika semua negara di dunia melalui Millenium Development Goal’s (MDG’s) ingin membasmi kemiskinan dan aspek-aspek social strategis lainnya.

Tradisi tak tertulis yang berlaku di negeri kita, setiap munculnya sebuah UU atau Perda baru tentang suatu masalah, sudah bisa dipastikan akan diikuti oleh kegiatan studi banding baik di dalam negeri sendiri maupun luar negeri. Bisa dibayangkan, berapa besar dana yang terkuras dalam melakukan studi banding itu. Akibatnya, apa yang dikatakan pepatah Melayu : hilang kapak karena mencari jarum.

Wahai para penyuka studi banding, kembalilah ke jalan yang benar bila tusi banding itu tak bakal menghasilkan apa-apa. Setiap sen uang rakyat yang dipergunakan hendaklah dipertanggungjawabkan dengan memberikan kemudahan pada rakyat. ***



Penulis adalah budayawan dan peminat masalah sosial, tinggal di Riau.

PERI KEBINATANGAN

hi all,
i just read about the treatment of some people on their pet..some animal treated as a human as like happen in hongkong..so i write how about 'perikebinatangan' that's opposite to 'human being' (perikemanusiaan".. the world is crazy ... peter pan sing a song with lyric : duniaku, tak dapat kumengerti/ kaki di kepala/ kepala di kaki...
enjoy this colomn :

KOPI PAGI
Fakhrunnas MA Jabbar

PERIKEBINATANGAN

TEMBANG anyar Peter Pan yang berlirik bolak-balik :”pikiranku, tak dapat kumengerti, kaki di kepala, kepala di kaki…” bolehlah menggambarkan bagaimana semrawutnya pemikiran umat manusia. Sesuatu yang semestinya menurut ukuran nilai-nilai normatif manusia harus disepelekan, tiba-tiba berubah jadi maha-penting. Sebaliknya, sesuatu yang esensial dalam kehidupan ini begitu mudahnya disepelekan. Inilah kehidupan duniawi yang penuh pernak-pernik sejalan dengan perkembangan pola pikir manusia.
Kantor berita AFP (5/1) melaporkan sebuah berita aneh. Di kota Ilan, Taiwan dilangsung pesta perkawinan yang tak lazim yakni dua ekor babi berlainan jenis. Sepasang babi yang bertekad menjadi pasangan sehidup semati itu disandingkan dengan memakai baju pengantin lengkap dengan segala aksesorisnya. Tak kurang dari 400 undangan -jenis bukan babi, tentu saja- menghadiri pesta perkawinan yang jarang terjadi itu. Hebatnya lagi, para undangan juga bawa hadiah perkawinanan berupa uang saweran yang sudah ditetapkan sebesar TWD 100 (setara dengan Rp. 27 ribu).
Ide perkawinanan itu muncul dari seorang warga Taiwan, Hsu Wen-chuan pemilik usaha peternakan babi di kota Ilan. Hsu ingin salah satu babi jantan peliharaannya bernama Shui Fu-ko bisa punya keluarga sendiri. Untuk meraih ambisianya, Hsu sampai memasang iklan lewat internet untuk mencarikan jodoh bagi Fu-ko kelahiran Desember 2005 itu.
Dalam ikllan itu, Hsu menyatakan Fu-ko dan pasangannya nakal hidup bahagia dalam sebuah kandang mewah yang memiliki kolam renang dan pemandangan gunung. Iklan ini disambut seorang peternak lain bernama Huang Pu-pu yang punya seekor babi betina. Akhirnya sepasang babi itu dinikahkan secara resmi oleh seorang pejabat pemerintah setempat. Oleh sebab itu jangan heran bila kedua babi ini mendapat sertifikat plus pemberkatan dari sebuah gereja setempat. Selidik punya selidik, ternyata Hsu sengaja mengawinkan babi kesayangan itu guna ikut menyambut datanganya Tahun Babi pada Hari Raya Imlek, 18 Februari ini.
Lantas, untuk apa digunakan uang saweran para undangan? Uang itu digunakan untuk amal dengan cara membeli mobil bagi anggota jemaah gereja yang mengalami gangguan mental. Nah, benar-benar rumit ‘kan? He he
Peristiwa ini bolehlah menjadi pertanda betapa semakin tingginya nilai-nilai peri-kebinatangan dalam hidup ini. Mudah-mudahan, peri-kebinatangan itu tidak mengancam nilai-nilai peri-kemanusiaan yang cenderung kian tergerus oleh perubahan zaman. Deraan dukacita dan tantangan kehidupan yang kian sulit di hampir seluruh dunia telah menempatkan manusia dalam posisi yang tersudut. Tak sedikit di antaranya yang gagal bertahan sehingga hidup mereka pun mengadopsi cara-cara binatang seperti ungkapan Machiavelli : “menghalalkan segala cara..”.
Ihwal binatang kesayangan yang dipelihara manusia memang banyak ragam kisahnya. Banyak sekali manusia yang hidup serumah dengan binatang-binatang itu dengan ikatan emosional yang luar biasa. Jenis binatang yang dipelihara pun makin lama semakin komplit. Mulai dari harimau, anjing, ikan, kucing, burung, ular, kelinci hingga herwan purba, iguana. Kasih sayang yang diluahkan untuk binatang kesayangan itu kadangkala sangat berlebihan. Seorang kolega saya bercerita bagaimana seorang kaya -sahabatnya- memelihara seekor monyet yang tidur seranjang bertiga dengan istrinya. Hebatnya lagi, monyet itu tidur di tengah-tengah. Tapi sial, suatu malam, monyet itu tiba-tiba mengamuk sampai menggigit telinga tuannya. Cemburukah Sang Monyet pada istri tuannya? Ow, tunggu dulu. Ternyata saat tidur, Si Tuan sempat menghimpin bagian tubuh monyet sehingga merasa kesakitan dan balas dendam…
Masih banyak cara mengistimewakan binatang kesayangan yang terus berlangsung di dunia ini. Ada lomba merias binatang, fashion show atau lomba atau adu kehebatan lainnya. Bahkan, banyak sekali kelompok penyayang binatang yang bermunculan untuk membela hak-hak asasi binatang. LSM besar dunia seperti Greenpeace sdan WWF berulangkali melakukan protes eksploitasi dunia binatang yang dilakukan manusia seperti penangkapan atau pencemaran atas habitat ikan paus atau perburuan hewan liar yang kian langka. Termasuk, menjadikan hewan langka yang diawetkan itu dijadikan pajangan di ruang tamu. Bahkan, organisasi -organisasi tersebut pernah memprotes para selebriti dunia yang doyan mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit ular, harimau atau hewan lainnya.
Harga binatang peliharan ini pun makin lama meningkat tajam. Bukan berita yang mengejutkan bila ada harga burung atau kucing peliharaan mencapai ratusan juta rupiah. Itulah sebabnya, binatang-binatang peliharaan itu disayangi mati-matian. Sebuah survei di Jepang menunjukkan binatang peliharaan terutama anjing dan kucing ternyata memiliki usia hidup lebih lama. Hampir separuh dari anjing peliharaan di negeri itu mencapai usia 7 tahun atau setara dengan usia 50 tahun pada manusia. Analisis Asosiasi Produsen Makanan Binatang Peliharaan (PFMA) di negeri Geisha itu melansir sebagai akibat kian bagusnya kualitas makanan hewan dan tingkat perawatan yang makin sempurna.
Manusia dan binatang itu sebenarnya dipisahkan oleh sehelai benang saja. Ada sebuah pepatah Arab begini : al insaanu ahayawanun natiqah (manusia itu adalah hewan yang berakal). Maknanya, selagi manusia masih menggunakan akal sehatnya maka sempurnalah kemanusiaannya. Tapi bila akalnya sudah tiada atau menjauh dari rasionalitas maka perilaku kebinatanganlah yang akan muncul ke permukaan.
Ajaran bijak ‘alam terkembang jadi guru’ yang sangat terkenal di ranah Minangkabau mengingatkan kita agar selalu belajar dari alam termasuk binatang. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebenarnya sudah memulainya jauh hari. Bagaimana, gaya aerodinamis pada pesawat terbang dan kapal ternyata mengadopsi format tubuh burung. Begitu pula, teknologi pesawat terbang bersandar pada pola burung terbang yang mengepakkan sayapnya.
Sayangilah binatang, kata manusia. Jangan sampai binatang-binatang suatu kelak akan berucap pula : “sayangilah manusia.” Ini maknanya betapa sudah hancurnya kebudayaan dan peradaban kita. ***