Thursday, March 29, 2007

STUDI BANDING

Dear All,
Benchmarking is important things to upgrade our performance. Many people love to do with go around many places in the world. May be, we are include as people that too love to do benchmarking with reason to get knowledge and best practice from others..while in their deepest heart that only for travelling...may you are not include this type..
warm regards,

KOLOM

Fakhrunnas MA Jabbar


STUDI BANDING


MASIH ingat kasus pemecatan Joko Edhi, anggota DPR RI dari Fraksi PAN yang dipecat oleh institusi partai setelah melakukan studi banding bidang keagamaan di Mesir? Begitulah, studi banding saat ini sudah kehilangan marwah. Banyak pihak menggunakan sebutan studi banding untuk mengemas sebuah perjalanan rekreasi dengan menggunakan dana publik. Padahal, setiap sen dana publik itu hendaklah dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada pemiliknya yakni rakyat.

Padahal studi banding (benchmarking) yang benar merupakan proses pembelajaran pada pihak lain yang lebih sukses dalam melakukan suatu aktifitas dengan harapan kesuksesan tersebut dapat diadopsi. Perusahaan-perusahaan besar yang menjalankan praktis bisnisnya secara professional selalu melakukan proses studi banding ini guna meningkatkan kinerja. Jangan heran, dana yang dikucurkan untuk melakukan studi banding itu sangat besar karena feed back yang diharapkan sesudahnya dapat meningkatkan efisiensi dan keuntungan bisnis.

Negeri kita yang tak henti-hentinya ingin belajar, kegiatan studi banding menjadi aktifitas rutin dan seremonial di semua jenjang organisasi dan institusi. Dikhawatirkan, ada pihak yang menjadi studi banding sebagai pekerjaan pokok karena studi banding dipersepsikan sebagai traveling (perjalanan). Fenomena ini melanda organisasi kemasyarakatan dan politik hingga para birokrat pemerintahan. Selalu dan selalu saja bila hendak memulai suatu program yang baru –apalagi berbau spektakuler- di dalam anggaran yang disusun akan diawali dengan kegiatan studi banding. Padahal, apa yang akan dipelajari di tempat atau negara lain itu belum tentu lebih baik dibanding apa yang sudah dipraktikkan di tempat sendiri.

Studi banding yang berkepanjangan di negeri benar-benar membuat sebuah program menjadi tak menentu dan salah kaprah. Amati saja bagaimana pengembangan sistem pendidikan di negeri kita yang berpola maju-mundur sejak dulu. Semua kebijakan pendidikan itu diawali dengan studi banding di negara lain. Ironisnya, negara bandingan kadang-kadang hanya ditetapkan berdasarkan dorongan emosional dan subyektifitas para Meneri dan pejabat tinggi Departemen Pendidikan. Bila unsur pimpinannya mempunyai back ground pendidikan di negara Prancis maka kebijakan pendidikan kita akan merujuk ke negara bersangkutan atau Eropa. Tanpa terasa, secara silih berganti, kebijakan pendidikan kita berganti-ganti rujukan mulai dari Canada, Australia, Eropa dan tak mustahil ke negara-negara Asia sendiri termasuk Malaysia dan Singapura.

Masih ingat ‘kan, ketika masa belajar dalam sistem pendidikan kita yang gonta-ganti dari pola triwulan, caturwulan hingga semester. Sistem semester ini diprakarsai oleh Mendikbud, Daoed Joesoef yang sering melahirkan kebijaka-kebijakan controversial. Tapi untunglah logika penggunaan sistem semester ini masuk akal juga sebab kebijakan itu dimaksudkan untuk penyesuaian masa belajar di negeri kita dengan Eropa dan Amerika. Dengan demikian bila ada pelajar kita yang melanjutkan pendidikannya di luar negeri khususnya Eropa dan Amerika, tidak harus menunggu beberapa bulan untuk penyesuaian masa belajarnya.

Teramat banyak masalah dan kebijakan pendidikan kita yang berdampak akhir pada rakyat. Celakanya, kebijakan itu justru bisa-bisa mencederai rakyat kecil yang berpenghasilan pas-pasan. Ingat saja kebijakan ganti buku cetak pelajaran tiap tahun yang mengakibatkan belanja buku para orangtua menjadi membengkak karena buku tahun ini tak dipakai lagi untuk generasi tahun berikutnya. Kelak ditengarai ada ‘mafia buku’ yang melakukan praktik-praktik tak terhormat dengan mengorbankan rakyat.

Studi banding pengembangan pariwisata benar-benar menjadi pembenaran untuk traveling ke mancanegara. Sebab, berwisata itu sendiri merupakan bagian yang harus distudi. Tapi ketika angka-angka jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung di negeri kita tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan, terasalah studi banding itu menjadi basa-basi belaka. Lihat saja data statistik dari tahun ke tahun, jumlah kunjungan wisatawan asing ke negeri kita berkisar 1-3 juta saja, sementara Singapura yang tak lebih dari negeri pulau seluas 50 ribu hektare mampu meraih angka 5-6 juta per tahun.

Belum lagi, studi banding soal pengentasan kemiskinan di sejumlah negara. Sudah tak terhitung perjalanan studi banding yang dilakukan pihak pemerintah kita –mulai pusat hingga daerah-daerah- dalam menangani orang-orang miskin yang tiap tahun cenderung terus bertambah. Tapi, angka kemiskinan dan nasib orang-orang miskin di negeri ini tak kunjung berubah secara signifikan. Malah, data-data kemiskinan saja begitu simpang siurnya. Pantas saja, budayawan Idrus Tintin (alm) menggagaskan untuk mengatasi kemiskinan cukup dikeluarkan sebuah Perda yakni Perda Kemiskinan. Salah satu pasal penting di dalam Perda itu berbunyi begini : setiap penduduk di daerah ini dilarang miskin. Barangsiapa yang masih miskin akan didenda atau menjalani masa kurungan/ tahanan. Dahsyat!

Tahun 2006 ini, begitu seorang bankir Bangladesh yang bernama Muhammad Yunus meriah Nobel Perdamaian, bukan tak mustahil banyak negara dan provinsi yang berhasrat melakukan studi banding ke sana. Sebab, Muhammad Yunus bersama sebuah bank yang mengucurkan kredit tanpa agunan bagi orang-orang miskin –khususnya kaum perempuan- berhasil mengangkatkan harkat banyak orang miskin di negeri itu. Siapa yang tak tergiur untuk mempraktikkan keberhasilan Muhammad Yunus itu ketika semua negara di dunia melalui Millenium Development Goal’s (MDG’s) ingin membasmi kemiskinan dan aspek-aspek social strategis lainnya.

Tradisi tak tertulis yang berlaku di negeri kita, setiap munculnya sebuah UU atau Perda baru tentang suatu masalah, sudah bisa dipastikan akan diikuti oleh kegiatan studi banding baik di dalam negeri sendiri maupun luar negeri. Bisa dibayangkan, berapa besar dana yang terkuras dalam melakukan studi banding itu. Akibatnya, apa yang dikatakan pepatah Melayu : hilang kapak karena mencari jarum.

Wahai para penyuka studi banding, kembalilah ke jalan yang benar bila tusi banding itu tak bakal menghasilkan apa-apa. Setiap sen uang rakyat yang dipergunakan hendaklah dipertanggungjawabkan dengan memberikan kemudahan pada rakyat. ***



Penulis adalah budayawan dan peminat masalah sosial, tinggal di Riau.

No comments: