Thursday, March 29, 2007

MUNDUR

Dear All,
Mundur (retreat, resign) from the position is a gentlement attitude as a best responsibility. But, there are many our executive in bereucration have no this. Many subordinates depend their responsibility to their superordinate.. A minister in our country will never retreat or resign from his position although has many mistakes..Let see our Transportation Minister, Hatta Radjasa.. Many crashes related land, air and ater transprtation..but he feel free in his position..The great poet of Indonesia, Taufik Ismail have ever wiritten a nice poem that tittle : (Malu) Aku Jadi Orang Indonesia..(To be ashame become an Indonesian People)..
This is my opinion about the phenomenon..

Tradisi Mundur dari Jabatan

ADA anekdot soal naik kendaraan di Indonesia. Di masa Orde Baru dulu, katanya, perseneling mobil yang jarang digunakan saat berkendaraan adalah mundur. Apalagi kalau mobil tersebut dikendarai oleh para pimpinan kantor, pejabat publik atau organisasi. Sebab, kata-kata ‘mundur’ menjadi sesuatu yang ditabukan karena selalu dianggap identik dengan pertahanan sikap akan jabatan yang dipegangnya. Itulah sebabnya, nyaris sepanjang perjalanan birokrasi di negeri ini, sangat langka kita dengar ada pejabat publik yang mundur sebagai konsekuensi kelalaian tugas yang diembannya.
Akibatnya, meski sudah melakukan banyak kesalahan di mata publik, tradisi mundur itu benar-benar dikekalkan.Padahal, negeri Jepang yang sama-sama berasal dari bangsa Timur terus saja menyuburkan tradisi mundur sebagai konsekuensi tidak bisa memenuhi tanggungjawab tugas publik sebagaimana diharapkan masyarakat. Sering terjadi, Menteri Transportasi atau Perhubungan langsung mundur ketika terjadi kecelakaan pesawat terbang atau kereta api. Orang boleh saja bedalih kalau tradisi mundur di negeri Sakura itu terkait nilai-nilai budaya ‘harakiri’ (bunuh diri karena tak kuat menahan rasa malu) yang sudah berlangsung turun-temurun.
Boleh jadi, tradisi mundur dalam birokrasi Indonesia masih saja ‘diharamkan’. Sebutlah tragedi kecelakaan transportasi yang terjadi berulang-ulang, disikapi oleh pejabat public dan masyarakat secara berbeda. Cobalah runut sejumlah musibah terkait kasus kecelakaan transportasi sejak dulu hingga kini di antaranya kecelakaan laut berupa tenggelamnya Tampomas II, KM Levina dan masih banyak lagi. Kecelakaan udara bak silih berganti yang menewaskan ribuan jiwa seperti kecelakaan pesawat Garuda di Sibolangit (Sumut), Mandala di Polonia, Lion Air di Semarang, Adam Air yang ‘menghilang’ di dasar laut, kawasan Kalimantan, patahnya tubuh pesawat Adam Air dan terakhir terbakarnya pesawat Garuda Indonesia di Lanud Adi Sutjipto, Yogyakarta. Kecelakaan darat pun nyaris terjadi tiap bulan seperti tragedi KA Bintaro yang menghebohkan, anjloknya sejumlah kereta api di lintas Pulau Jawa. Ditambah pula tabrakan bus dan mobil kecil yang menghiasi halaman suratkabar dan layar kaca.
Jangan-jangan, Indonesia bakal tercatat di dalam Guinnes Book Record sebagai negara yang paling banyak kasus kecelakaan transportasinya. Kasus-kasus kecelakaan transportasi ini tenyata tak menggugah perasaan Menteri Perhubungan –dari masa ke masa- untuk mengundurkan diri. Semangat lagu ‘Maju Tak Gentar’ benar-benar telah mengilhami pejabat public kita terkait untuk tetap bertahan di jabatannya. Apa yang diucapkan Menteri Perhubungan, Hatta Radjasa, menyikapi tuntutan mundur dari berbagai pemangku kepentingan di negeri ini bahwa ‘saya akan mundur apabila dikehendaki oleh Presiden.’ Alasan-alasan semacam ini sudah menjadi kalimat baku bagi para menteri yang duduk dalam jajaran kabinet Indonesia sejak dulu.
Tidak punya sensitifitaskah Hatta Radjasa akan tuntutan publik yang merasa kecewa dengan kinerja Departemen Perhubungan? Tidak juga. Pasalnya, Radjasa justru menyikapi banyaknya kasus kecelakaan transportasi ini dengan melakukan restrukturisasi atau mengganti sejumlah Dirjen atau Direktur terkait. Padahal, bila seorang menteri merasakan terlalu banyak titik lemah para pembantu-pembantu dekatnya, bukankah sebenarnya hal itu bermakna kegagalan atas pembinaan yang dilakukannya sebagai pimpinan departemen.
Tradisi mundur dari jabatan di Indonesia apabila dipandang gagal oleh publik dalam mengurus manajemen tugas dan tanggungjawab sangat jarang dilakukan para pejabat publik kita. Alasannya, tidak mundur dari jabatan saat institusi yang dipimpinnya sedang bermasalah dipandang sebagai sikap kesatria dan bertanggungjawab. Mundur dapat diartikan sebagai ‘lari’ dari tanggungjawab. Sebaliknya, di sejumlah negara lain seperti Jepang dan negara-negara Barat, kegagalan dalam mengurus tugas dan tanggungjawab dipandang sebagai aib. Apalagi bila kesalahan itu terjadi berulang-ulang.
Syukurlah, Wapres Jusuf Kalla sempat berbasa-basi di depan para pengusaha asing belum lama ini dengan mengatakan ‘sangat malu’ atas tragedi dunia transportasi di Indonesia. Tapi itu pun hanya sebatas retorika belaka. Tak ada teguran atau sapaan bagi Menteri Perhubungan sepenuhnya bertanggungjawab dalam urusan transportasi itu.
Berulang-ulangnya kasus kecelakaan transportasi di tanah air memang mengundang tanda tanya dan renungan panjang bagi setiap manusia Indonesia. Kenapa harus Indonesia? Sementara penggunaan jasa transportasi di semua negara dunia justru semakin intensif. Sarana angkutan udara, darat dan laut pun sama-sama dipergunakan sesuai standar. Tapi, kenapa kasus kecelakaan di negara-negara lain tidak separah di Indonesia. Tanya kenapa?
Mengelola bidang transportasi tak terlepas dari kemampuan manajerial yang dikombinasikan dengan skill, knowledge dan kompetensi. Tuntutan seperti ini sudah dinukilkan dalam sebuah ajaran Islam bahwa ‘serahkanlah sesuatu pekerjaan pada yang ahlinya. Apabila tidak, tunggulah saat kehancurannya.” Dalam konteks ini, menjadi Menteri Perhubungan tentulah tak terlepas dari aspek manajemen dan teknis yang terkait dengan bidang yang dikelolanya.
Pemerintahan kita memang sudah terbiasa dengan tradisi gonta-ganti menteri yang sering mengabaikan aspek kemampuan teknis ini. Masyarakat mafhum bila jabatan setingkat menteri tentulah lebih ditekankan pada aspek manajerial karena sangat bersentuhan dengan keputusan-keputusan strategis dan politis. Namun, apabila terlalu sering terjadi kasus kecelakaan transportasi di bawah manajemen kementerian yang dipegangnya, tentulah ini tak terlepas dari aspek kompetenesi yang dimiliki.
Sebuah analogi sederhana dapat dilihat pada manajemen sebuah rumah makan. Banyak orang yang bekerja di bisnis semacam ini mulai dari tukang masak, pelayan, penyambut tamu, tukang cuci piring, tukang bersih ruangan dan sebagainya. Apabila para pekerja di rumah makan itu selalu dan selalu melakukan kesalahan –apakah akibat faktor ‘human error’ atau ‘aspek teknis peralatan’- sudah sepatutnya kemampuan manajer rumah makan itu patut dipertanyakan. Apalagi, komplain para pelanggan semakin deras dan akan mempengaruhi citra rumah makan. Ujung-ujungnya tentulah nilai jual rumah makan tersebut menjadi sangat rendah dan prospek bisnisnya ke depan menjadi suram.
Menteri Perhubungan, Hatta Radjasa dalam banyak kasus kecelakaan transportasi ini tentulah sama dengan posisi seorang manajer rumah makan. Diperlukan kemampuan manajerial untuk mengatur tim kerja terkait dengan tugas-tugas teknis. Sudahkah peralatan yang ada selalu dikontrol masa ekonomisnya? Para pekerja dites atau menjalani proses assement agar tetap prima dan punya standar kompetensi? Atau rotasi jabatan di lingkungannya memang berjalan obyektif bukan karena faktor-faktor emosional dan subyektifitas. Kepantasan mundur dari jabatan amat tergantung pada kepekaan memaknai tugas dan tanggungjawab serta kompetensi yang dimiliki. ***

Fakhrunnas MA Jabbar adalah budayawan, tinggal di Pekanbaru.

No comments: