Thursday, March 29, 2007

PENYAKIT MATI RASA

dear all,
when i read the newpaper and watching the TV that show us about mostly of the legislative member in Indonesian-wide make demonstration in President Place of Indonesia in Jakarta...they push our government to get them some allowance (out of salary)..while many people mut live in poor...
in my mind..they have loss their sensivity...
my writing about that case..

KOLOM

Fakhrunnas MA Jabbar



PENYAKIT ‘MATI RASA’



PENYAKIT apakah yang paling berbahaya di Indonesia saat ini? Jawabannya sudah bisa dipastikan berkisar penyakit flu burung dan HIV/AIDS. Pasalnya, wabah flu burung telah merenggut nyawa 62 orang dari hampir 100 kasus. Penderita HIV/ AIDS di Indonesia hingga akhir tahun 2006 lalu mencapai 11.000 lebih penderita dan ratusan orang lainnya sudah menjemput ajalnya. Dahsyat memang.

Persoalan yang melanda bangsa Indonesia tak sebatas penyakit endemik yang tersebar luas di tengah-tengah masyarakat yang terbilang penyakit medik. Tentu saja, selalu ada alternatif obat yang ditemukan melalui penelitian-penelitian ilmiah untuk mengatasi penyakit medik itu. Sebutlah penemuan Buah Merah yang konon dapat menghambat perkembangan inkubasi virus HIV atau CVO (Coconut Virgin Oil) yang berkhasiat tinggi untuk melumpuhkan banyak penyakit medik. Kita sedang menghadapi wabah penyakit sosial yang disebut penyakit ‘mati rasa’. Gejala-gejala klinis-sosialnya memperlihatkan rendahnya rasa empati, tenggang-rasa, kesetiakawanan atau suka menzalimi sesamanya.

Padahal, semua ajaran agama mengingatkan betapa penting makna sebuah persaudaraan. Bahkan dalam ajaran Islam ditegaskan melalui sebuah hadits :”Tidak sempurna iman seseorang kamu, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai diri sendiri.” Banyak kisah menarik yang mengandung ajaran kebajikan jadi tamsil bagaimana arti sebuah tenggang rasa atau setia kawan sesama saudara atau tetangga. Muaranyanya tak lain munculnya rasa persatuan dan kesatuan serta rasa aman di suatu lingkungan sosial.

Di tengah rakyat didera derita panjang sejak bermulanya era Reformasi, wakil rakyat yang sudah diamanahkan memperjuangkan aspirasi rakyat yang beragam terutama urusan periuk-nasi sebagai basic need. Rakyat yang awam hanya memelukan adanya perubahan signifikan akan nasib mereka sehari-hari. Pepatah lama : ‘berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian’ yang mengisyaratkan kebahagiaan hanya dapat diraih dengan bersakit-sakit lebih dulu, sudah tak mempan lagi menyejukkan tabularasa rakyat. Sebab, memang rakyat kita memang sudah bersakit-sakit lama sekali tanpa perubahan yang berarti. Pergantian rezim dan sistem demokrasi, ternyata tak kunjung menyentuh perubahan nasib rakyat.

Di tengah-tengah kondisi semua harga barang-barang kebutuhan melambung tinggi dan terjadinya penurunan pendapatan rakyat karena nilai tukar rupiah yang terdepresiasi, barang-barang kebutuhan dasar rakyat justru sulit ditemukan di pasar. Beras yang sudah menjadi kebutuhan dasar semua rakyat ternyata harganya melambung karena Bulog tidak melakukan antisipasi dan poraktif. Belum lagi persoalan ketersediaan minyak tanah tiba-tiba hilang di pasaran mengakibatkan harganya melambung tinggi mencapai Rp. 12.000 per liter melebihi harga solar atau bensin. Pertanyaan yang muncul kemudian, di mana apa saja yang sudah dilakukan Pertamina atau BP Migas sebagai pemegang hak monopoli untuk urusan dasar tersebut? Keperihan rakyat terutama di ceruk-ceruk kampong bagai kehabisan gema ketika sampai di gedung-gedung wakil rakyat.

Dalam suasana seperti itulah, Pemerintahan SBY-JK menerbitkan PP 37/ 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD yang bermuara dengan polemik dan unjuk rasa rakyat dan kalangan professional serta LSM. PP yang identik dengan upaya memperkaya para wakil rakyat atau melegalkan korupsi itu akhirnya diputuskan Presiden SBY untuk dicabut. Padahal, hampir 80 persen para wakil rakyat di daerah-daerah –Provinsi dan Kabupaten- telah mencairkan rapel dana tersebut. Dipastikan, persoalan baru akan muncul karena pengembalian dana yang sudah dicairikan dan dipakai itu cukup besar pula. Untuk seorang anggota DPRD bisa memperoleh dana mencaai 60 jt dan unsur pimpinan mencapai Rp. 200 juta. Untunglah tenggat waktu pengembalian dana tersebut ditoleransi hingga Desember 2007.

Munculnya PP 37/ 2006 yang mengundang kontroversial publik itu memang menyisakan banyak pertanyaan. Apakah tidak dilakukan pengkajian dan analisis-analisis lebih dulu dengan mempertimbangkan unsur kepantasan di tengah negeri ini dilanda banyak persoalan. Bukankah pemberian tunjangan dalam jumlah besar untuk anggota legislatif ini lebih memberi kesan adanya ‘main mata’ kalangan eksekutif dan legislatif? Secara kasar, realitas itu mengesankan: ’sesama bis kota dilarang saling mendahului’? Kolaborasi kedua lembaga pemerintahan itu justru makin membuat praktik-praktik korupsi yang dilegalkan akan semakin banyak terjadi.

Di sisi lain, rakyat benar-benar kecewa ketika para wakil rakyat kurang bereaksi untuk mengkritisi PP 37/2006 yang terang-terangan melukai hati-nurani para konstituen-nya. Syukurlah, masih ada segelintir kalangan legislatif itu –sebagaimana ditunjukkan oleh Fraksi PKS- yang berketetapan hati akan menghimpun dana tunjangan mencapai Rp. 14 milyar yang akan disumbangkan untuk rakyat miskin. Sikap ini sangat simpatik dan terpuji sehingga akan mengurangi kekecewaan rakyat.

Kekhawatiran banyak orang, para wakil rakyat kita semakin kehilangan sensitivitas dan sikap kritis terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat. Di sisi lain, sebagian besar di antara mereka justru memperlihatkan sikap lebih mmentingkan diri dan kelompok. Padahal, rakyat tidak buta dan tuli untuk memotret gerak-gerik mereka saat berkiprah di panggung politik yang dinamik. Kekhatiran banyak orang, janganlah wakil rakyat kita sampai mengidap penyakit ‘mati rasa’ atau tak punya sensitivitas lagi. Sebab, menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi negara dan bangsa terutama rakyat kecil amat membutuhkan keberpihakan sikap dan tindakan. Jangan biarkan rakyat kehilangan penghormatan atau apresiasi sementara keberadaan wakil rakyat sejak dulu memang amat dihormati dan dimuliakan.

Penyakit ‘mati rasa’ hanya dapat diobati dengan selalu ber-empati dengan sering memasuki hati rakyat yang terdalam. Nestapa rakyat mestinya harus dimaknai sebagai keperihan para wakil rakyat pula. Syukur-syukur, tak hanya sekadar merasakan tetapi berbuat suatu yang nyata sebagai keteladanan yang patut ditiru. ***





Fakhrunnas MA Jabbar adalah budayawan, peminat masalah sosial, kini tinggal di Pangkalan Kerinci, Riau.

No comments: