Thursday, March 29, 2007

PEJABAT TERAS DI HARI JUMAT

dear reader,
every friday, we always see many guys will come to the mosque for praying. any interesting view when many of them will come late while the space of the mosque have full. where do will sit at the mosque? yeah, the will sit at the terrace of the mosque. i call them as 'pejabat teras' (people at the terrace of the mosque)...
may be one of them inclue me too.. he he..this outo-criticsm...
let read it..

KOLOM

Fakhrunnas MA Jabbar



PEJABAT TERAS DI HARI JUMAT



HARI Jumat boleh digunakan untuk mengukur kadar ketunakan se sesorang dalam menjalankan ibadah di tengah public yakni sholat Jumat. Setidak—tidaknya saat pertamakali hadir di masjid. Dulu, para guru mengaji mengajarkan kita bahwa pahala bagi seorang yang paling pertama datang di masjid untuk menunaikan sholat Jumat akan mendapatkan pahala senilai berqurban seekor unta. Begitu pula untuk jamaah yang datang di urut nomor dua dan seterusnya akan memperoleh pahala senilai korban seekor sapi, lembu, ayam dan seterusnya. Namun, bagi yang datang di penggalan akhir, harus puas menerima senilai qurban sebutir telur ayam saja. Begitulah keadilan Allah dalam memberikan imbalan yang pantas dan obyektif dalam konteks ritual ubudiyah.

Dalam urusan ibadah, memang tak ada perlakuan istimewa pada seorang jamaah di mata Allah. Inna akrama kum, ‘indallahi atqakum (Yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling tinggi ketaqwaannya). Seseorang yang terlambat menempati shaf dalam sholat berjamaah, harus puas berdiri di bagian belakang yang masih kosong. Itulah sebabnya, seorang imam selalu berpesan sebelum memulai ibadah sholat agar para jamaah mengisi shaf terdepan lebih dulu.

Tapi, dalam realitas sehari-hari, kita masih sering menyaksikan bagaimana protokoler duniawi bercampur-aduk dengan urusan ukhrowi atau ubudiyah ini. Seorang pejabat publik yang ikut dalam ritual ubudiyah berjamaah ini selalu diberi tempat istimewa dalam barisan shaf terdepan, meski datang terlambat. Hal ini dilegalisir dengan pertimbangan semata urusan protokoler duniawi atau kewibawaan pejabat bersangkutan. Padahal, Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin dulu yang juga terbilang sebagai pejabat public –setingkat Kepala Negara dan Pemerintahan- tidak memberlakukan protokoler serupa itu. Bahkan, mereka melepaskan hak privilege (istimewa)nya selaku orang nomor satu dalam urusan pemerintahan bila berhadapan dengan urusan syari’ah.

Ada hal yang menarikyang amat kontras dijumpai dalam setiap peristiwa sholat Jumat. Sebagian besar jamaah justru berebutan datang ke masjid dan mencari shaf justru pada detik-detik akhir menjelang dimulainya ibadah sholat Jumat. Akibat bagian dalam masjid tak memadai lagi menampung para jamaah sehingga bagian luar masjid-lah yang menjadi alternative satu-satunya. Syukurlah kebanyakan masjid sekarang sudah diperluas dengan membangun teras atau serambi baik terutama di kiri-kanan bangunan induk masjid.

Pertanyaan kita: siapakah mereka yang menempati shar luas masjid itu? Itulah kelompok yang boleh disebut ‘Pejabat Teras’ di hari Jumat. Maksudnya, orang-orang yang selalu menempati shaf di bagian teras masjid karena keterlambatan kehadirannya dalam ritual sholat Jumat. Tentu saja, semua orang punya alasan untuk datang terlambat karma terkait urusan-urusan duniawi baik di rumah tangga maupun di kantor. Alasan keterlambatan ini tentu hanya bisa diadili secara jernih dan obyektif oleh Allah bersama para malaikat yang ditugaskan mengawasi aktifitas manusia di dunia.

Padahal, semua kita sadar akan kewajiban untuk segera meninggalkan aktifitas duniawi agar mengutamakanl ibadah Jumat. Khatib Jumat selalu mengingatkan para jamaah, apabila waktu sholat Jumat tiba, hendaklah semua orang meninggalkan urusan duniawi dan bergegas ke masjid agar berkonsentrasi memperhambakan diri kepada Allah. Bahkan, semestinya semua urusan jual-beli (muamalah) dihentikan selama melaksanakan ibadah sholat Jumat tersebut. Jadi, sholat Jumat ini mestinya menjadi kebutuhan sebagaimana para sufi menjadikan ibadah sebagai kelengkapan hidupnya.

Tapi, secra individual, urusan beribadah memang berpulang kepada masing-masing orang untuk mengamalkannya. Sebab, bear kecil dosa yang dilakukan sudah menjadi tanggungjawab pribadi bagi orang yang sudah akil-baligh untuk memikulnya. Dan semua perbuatan dosa itu akan dimintai pertangungjawabannya di hari akhirat kelak.

Di masa kecil dulu, guru mengaji saya selalu bercerita tentang orang-orang yang berbuat baik dan berbuat jahat untuk menjelaskan batasan kebenaran dan kesalahan. Tujuan guru mengaji ini tak lain agar murid-muridnya faham dan kelak menjadi orang yang alim atau taat. Dikisahkan, tentang orang yang melalaikan sholat Jumat. Begini: sejumlah orang di sebuah kampung di zaman dahulu kala asyik mencari ikan di sungai pada hari Jumat. Mereka asyik menangkap ikan karena jumlahnya memang banyak dan berukuran besar-besar pula. Sayangnya, sampai saat adzan di masjid bergema, mereka terus saja menangkap ikan. Seolah-olah tak peduli saja. Beberapa orang alim yang lewat di dekat sungai itu, menyerukan agar mereka segera meninggalkan usaha dan menunaikan sholat Jumat. Tapi, justru mereka bukannya patuh dan sadar melainkan memperolok-olokkan para orang alim yang lewat. Layaknya seekor monyet memperagakan kegembiraan begitu mendapatkan ikan-ikan besar sambil tertawa-tawa ceikikan. Panggilan kebenaran ternyata mereka sambut dengan olok-olok dan meremehkan.

Sewaktu para jamaah pulang Jumat, mereka terkejut saat melewati sungai tadi. Puluhan monyet sedang berpesta sambil tertawa-tawa dengan memperagakan sikap berlebihan karena mendapatkan ikan yang banyak. Seperti bisa diduga, menurut guru mengaji dulu, ternyata orang-orang yang tidak melaksanakan sholat Jumat itu, atas kehendak Allah telah berubah menjadi monyet-monyet besar.

Begitulah ajaran kebajikan yang bijak selalu muncul di sepanjang masa. Adakalanya ajaran itu turun dari langit atau gunung. Bahkan tak jarang pula tamsil-tamsil bijak itu mencuat dari dasar laut atau lembah yang dalam. Allah pun telah membentangkan kehidupan dunia ini untuk seua orang mencari rezeki bagi kelangsungan hidup diri dan anak-istri atau keturunannya. Sebagaimana sebuah hadits Rasulullah : “Kejarlah duniamu, seolah-olah kamu akan hidup untuk selamanya. Tapi kejar pula akhiratmu seolah-olah kamu akan mati esok hari.”

Ibadah sholat lima waktu dan sholat Jumat pada hakikatnya hanya menguras beberapa menit saja disbanding waktu 24 jam yang tersedia dalam sehari. Benar kata Bimbo : “sholat itu laksana interupsi belaka”. Tidak akan menyita banyak waktu. ***

No comments: