Monday, July 10, 2006

SEPAKBOLA KAMPUNG



Dear All,
While we ar on front of TV to watch Zinedin Zidane (Best French Player) in the 2006 World Cup in Germany, our imagine will back to the past. Backt to our innocent time in our village. Really, we have became a true villager. We have mny games in the time e.q uniquely soccer with big orange as ball.
My writing about The Village Soccer eh, Sepakbola Kampung.
Enjoying it with warm heart...


SEPAKBOLA KAMPUNG
Oleh Fakhrunnas MA Jabbar

SETIAP datang musim Piala Dunia, hampir semua orang di dunia terlibat urusan sepakbola. Mulai dari kaum lelaki yang dominan lebih menyukai cabang olahraga ini hingga kaum perempuan yang mau tak mau ikut menemani atau mempersiapkan suguhan kopi dan pengaman buat suami saat menonton pertandingan sepakbola itu di layar TV. Lebih dari itu, anak-anak di kampung-kampung biasanya ikut-ikutan ketularan menendang bola di tanah lapangan yang biasanya gundul atau berlumpur disiram hujan. Itulah euforia sepakbola yang tak pernah lapuk dek hujan, lekang dek panas.
Suka atau tak suka, bila menyaksikan kepiawaian kaki-kaki para pemain sepakbola dunia seperti Ballack, Owen, Beckham atau Nakata, selalu saja terbayang bagaimana di masa kecil dulu kita pun pernah menunjukkan kepiawaian semacam itu dalam ruang lingkup yang paling kecil di kampung halaman sendiri. Penuh sorak-sorai dan keakraban. Berbahagialah orang-orang yang pernah menikmati indahnya bermain sepakbola kampung di masa kecilnya. Soalnya, kita boleh curiga bila ada suami yang suka-sukanya menendang anak-bininya karena luapan emosi tak terkendali di masa kini. Jangan-jangan di masa kecilnya lelaki seperti ini tak pernah merasakan romantisme menendang-nendang bola di laman bermain.
Secara psikologis, pelampiasan aksi kekerasan pada benda-benda mampu menjadi solusi dalam mengendalikan kemarahan. Ingat saja bagaimana film kungfu Drunken Master yang menampilkan adegan Sang Aktor memecahkan kendi-kendi yang dibawa selalu oleh jongosnya hanya untuk melampiaskan kemarahan yang tertahan. Memukul kendi sampai remuk berderai jauh lebih mulia dibanding memukul orang lain sampai lebam berdarah-darah. Tampaknya perlu dikembangkan gerakan ‘marah berkualitas’. Apalagi di negeri kita yang penuh kemarahan dan tak kunjung usai juga.
Ihwal sepakbola kampung mendedahkan kepada kita sebuah romantisme dan kemesraan yang selalu indah untuk dikenang. Main bola di lapangan rumput yang tak teratur atau di halaman rumah yang penuh pokok kayu atau lagi di halaman sekolah yang selalu diawasi ketat oleh penjaga sekolah, sebenarnya memperlihatkan sebuah spirit (semangat) berjuang, bekerjasama dan ajang berkomunikasi. Inilah yang sekarang didengung-dengungkan sebagai social capital yang kian luntur. Anak-anak semakin kehilangan laman tempat bermain-main karena dikepung dan diserbu oleh kapitalis kondominium, real estate, mal-mal atau gedung pencakar langit lainnya.
Bayangkan selalu, bagaimana bekas dan bercak lumpur kehitaman di dinding-dinding putih sekolah atau rumah akibat pantulan bola limau atau bola plastik yang sangat murah-meriah. Bertanding sepakbola tanpa kostum –cukup pihak lawan membuka baju setengah telanjang- di bawah terik matahari atau hujan gerimis yang tak kenal batas. Hebatnya, sportifitas itu tetap terjaga di bawah pengawasan anak-anak yang lebih tua usianya. Sekali-sekali memang terjadi perkelahian, tapi secepatnya bisa dilerai dan keesokan harinya berteman lagi. Ah, indahnya pertandingan masa kecil itu.
Menyaksikan pertandingan Piala Dunia 2006 yang menghadapkan kesebelasan favorit seperti Jerman, Inggris, Argentina atau Brasil dengan kesebelasan negara-negara Afrika yang selama ini dipandang sebelah mata seperti Angola, Togo, Trinidad atau Ghana, bagai menyindir diri sendiri. Di mana posisi negeri tercinta, Indonesia berada dalam gelak-tawa dan pestapora Piala Dunia itu? Dari 230 juta penduduk negeri ini, begitu susahnya menemukan 11 pemain dikali 2 yang dapat mensejajarkan nama bangsa kita di deretan bangsa-bangsa lain.
Kisah muram tentang pemain sepakbola negeri ini yang bertinju di lapangan hijau atau tawuran antar pendukung kesebalasan atau juga memukul dan memaki-maki wasit, selalu menyesakkan kenyamanan jiwa kita. Padahal, bangsa kita dikenal sejak dulu amat santun dengan tunjuk-ajar yang tak habis-habisnya sehingga ‘alam terkembang pun jadi guru’. Bendera besar berwarna biru bertuliskan : My Game for Fair Play yang selalu dikembangkan di lapangan hijau Jerman selama Piala Dunia 2006, terasa bukan hanya sekadar simbol. Tapi benar-benar menjadi kalimat ajaib yang memukau seluruh pemain dan penonton untuk menunjung selalu sportifitas. Padahal di masa kecil kita dulu, tabiat berlaku fair play sebenarnya sudah menjadi pakaian sehari-hari.
Dalam urusan sepakbola, negeri kita bagai tak bermaya untuk bangkit menjelang kegemilangannya. Untunglah masih ada pertandingan sepakbola unik yang diperagakan di sejumlah pesantren dengan menggunakan bola api atau bola buah durian yang berduri tajam. Para santri dengan kaki telanjang dan berkain sarung menyepak bola apiatau buah durian itu kian-kemari ke arah tiang gawang yang dijaga santri juga. Pertandingan itu tentu saja bisa lebih seru dibanding Piala Dunia karena keberanian para pemainnya yang tak takut api atau duri-duri yang tajam.
Sepakbola kampung terasa menjadi sesuatu penawar dalam pikiran kita ketika menyaksikan keperkasaan kesebelasan-kesebelasan dunia di ajang Piala Dunia yang bergengsi itu. Soal ketakberdayaan kesebelasan Indonesia di even dunia boleh jadi diperkuat oleh anekdot ini. Konon kabarnya, di zaman Belanda dulu, kesebelasan Aceh sulit memenangkan pertandingan melawan kesebelasan mana saja. Pasalnya, di tengah pertandingan, pihak lawan yang lihai selalu membisikkan pada pemain-pemain Aceh terutama kiper bahwa bola yang ditendang-tendang itu sebelumnya dilumuri minyak babi. Para pemain Aceh yang memang agamis sehingga negerinya dijuliki ‘Serambi Mekkah’, saat berhadapan dengan lawan membiarkan saja bola itu digiring pemain lawan. Parahnya lagi, kiper pun tak berani menyentuh bola sedikit pun saat ditendang ke arah gawang. ***

2 comments:

IR said...

Maju terus, keren dech blognya

Fakhrunnas MA Jabbar said...

trims ya..kuansinger. senang bisa berkomunikasi. salam