Tuesday, July 31, 2007

ENTERPRENEURSHIP GOVERNMENT

Fakhrunnas MA Jabbar

ENTERPRENEURSHIP GOVERNMENT

SUATU kali saya berkesempatan punya waktu panjang berbincang dengan seorang pejabat penting di pemerintahan. Si pejabat mengeluhkan kinerja aparat kepala dinas/ badan di lingkungan kerjanya. Padahal, jauh hari ketika jabatan strategis itu ditawarkan kepada mereka sudah diikuti target-target yang harus dicapai untuk memperkuat performa pemerintahan. Jadi semacam ‘kontrak politik’yang dibuat dari ke hati sebagai komitmen moral.

Dalam perbincangan itu, tak tergambar jelas bagaimana pertanggungjawaban itu bisa diminta kembali ketika masa jabatan telah dilewati 1-2 tahun. Si Pejabat di posisi puncak ini hanya agak mengeluh karena komitmen-komitmen yang sudah dibuat sebelumnya tak sepenuhnya bisa dibuktikan orang-orang kepercayaannya.

Lantas saya pun mencoba menganalisis kenapa situasi seperti itu bisa terjadi dalam realitas pemerintahan kita. Orientasi pemerintahan kita selalu bukan didasarkan pada kompetensi melainkan senioritas masa tugas dalam kepangkatan di jalur birokrasi. Apabila ada pejabat senior di daerah yang memiliki kepangkatan tinggi setara dengan Eselon II, misalnya, biasanya mau tidak mau diberi jabatan sebagai Kepala Dinas/ Badan sebagai sikap menghargai atau menghormati. Walaupun bidang tugas kedinasan yang dikomandoinya tak ada kait-mengait dengan latar-belakang pendidikan keilmuannya. Misalnya, jangan heran bila jabatan Kepala Dinas Kehutanan dijabat oleh seorang berdisiplin ilmu perikanan atau sarjana ekonomi.

Selain itu, posisi Kepala Dinas/ Badan seolah-olah disetarakan dengan jabatan politis sehingga peneunjukannya boleh jadi sangat disarati aspek-aspek balas budi atau balas jasa. Bisa dimafhumi bila penempatan posisi Kepala Dinas/ Badan di suatu daerah usai proses Pilkada mencerminkan hubungan sebuah lokomotif dengan gerbong. Artinya, ‘kabinet’ pemerintahan di daerah akan sangat ditentukan oleh ‘orang-orang’ yang sehaluan dengan Kepala Daerah.

Politik balas budi inilah yang selalu ‘mencederai’ jalannya pemerintahan baru karena penempatan para pejabat yang lebih didasarkan hubungan emosional belaka. Padahal, dalam tradisi Dinasti Cina masa silam, dikisahkan, apabila seorang raja sudah menempati posisinya maka para tim sukses sengaja dilenyapkan karena suatu ketika akan menggerogoti kekuasaan denbgan alasan minta imbal jasa.

Ada anekdot yang beredar di kalangan birokrat kita terutama di daerah-daerah perihal pengisian jabatan-jabatan penting pemerintahan ini. Sebagai birokrat karir, bukannya tidak ada penjenjangan sekolah atau pendidikan yang harus dilewati. Jenjang pendidikan yang bernuansa kepemimpinan ini dimulai dengan SPAMA (tingkat dasar/ pertama), SPAMEN (tingkat menengah) dan SPATI (tingkat tinggi). Biasanya apabila seseorang sudah meraih sertifikat SPATI ini hanya menunggu sejengkal lagi untuk menempatyi posisi yang pantas dalam struktur pemerintahan.

Alkisah, ada seorang birokrat senior yang sudah bersertifikat SPATI selama belasan tahun, tak kunjung diberi jabatan Kepala Dinas/ Badan. Situasi ini dari ke waktu menjadi siksaan batin baginya karena diperolok-olokkan oleh rekan sekerja yang masih muda-muda pula.

“Pak, SPAMA, SPAMEN dan SPATI saja tak cukup sekarang ini. Masih ada satu jenjang sekolah lagi yang belum Bapak tempuh,” olok teman-teman sekerjanya.

“Ah, sekolah macam apa lagi yang harus saya lewati. Soal kepiawaian dan kepemimpinan, saya siap untuk diuji,” tangkis birokrat malang ini.

“Ternyata jenjang sekolah yang tertinggi itu, bukan SPATI. Sekolah yang masih kurang pada Bapak adalah SPAHAM (baca :sepaham)…” ujar teman-teman mudanya sambil tertawa. Si Birokrat tua ini pun ikut pula tersenyum getir.

Pola penempatan pejabat yang bersifat subyektif itulah yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan birokrasi. Apalagi, pola kerja yang diciptakan tanpa target-target yang jelas dengan dukungan kerja keras dan disiplin yang tinggi. Andai saja, pelaksanaan pemerintahan kita diperkaya dengan pola-pola penjenjangan kepangkatan dan jabatan di perusahaan atau institusi swasta, niscaya tingkat keberhasilan seorang pejabat akan lebih terukur dan profesional. Inilah pola enterpreneurship government yang mestinya menjadi wacana yang perlu diwujudkan.

Perusahaan-perusahaan swasta di era global sudah menerapkan konsep dan target keberhasilan yang benar-benar terukur. Seseorang yang dirpomosi menjadi pimpinan departemen mulai superintendent, manajer, GM (general manager) atau Direktur lebih dulu diberi target besar departemen melalui KPI (key performance indicator). Setelah itu, KPI ini dikerucutkan menjadi balance score card (BSC) yang berisi skoring atas apa yang harus dicapai melalui departemen yang dipimpin bersama staf. Secara personal, pimpinan departemen ini harus membuat kontrak kinerja (performance contract-PC) untuk jangka waktu setahun ke depan. PC ini benar-benar berisi kontrak atas kinerja yang harus dicapai mulai dari aspek finance, costumer satisfaction, succession dan empowering para staf.

Tingkat pencapaian PC itulah yang dijadikan dasar pemberian bonus atau promosi yang dibahas dalam Management Development Review (MDR) yang meneroka setiap pimpinan, staf atau karyawan untuk prospek dirinya ke depan. PC boleh dikatakan semacam rapor yang menjadi pegangan obyektif bagi atasan dalam mempromosikan atau menempatkan seseorang di jenjang jabatan perusahaan. Tentu saja, pertimbangan-pertimbangan aspek kepribadian dan moral menjadi bagian tersendiri yang dibahas dalam MDR tersebut. Hebatnya lagi, proyeksi ke depan seseorang staf sudah terbaca sejak dini sesuai dengan potensi yang dibedah melalui analisis SWOT (strengh, weakness, opportunity dan threat) yang lazim dipergunakan di mana-mana.

Andai saja proses suksesi dalam birokrasi kita menggunakan pendekatan enterpreneurship government (pemerintahan bergaya swasta) ini dapat diterapkan, niscaya tidak diperlukan lagi pemaksaaan ‘kontrak politik’ oleh rakyat di awal kekuasaannya. Sebab, ‘rapor’ yang dikemas di dalam PC tadi secara individual memberikan keleluasaan bagi seorang pejabat untuk mengukur diri dan memposisikan dirinya apakah perlu melanjutkan jabatannya atau lebih baik mengundurkan diri akibat kinerjanya yang buruk.***

No comments: