Tuesday, July 31, 2007

MENONTON (PENONTON) SEPAK BOLA INDONESIA

Dear All,
Some time, we will be ashame to get a dream abour our soccer pretigous. Want to be the winner of world cup? Asian cup? SEA Games? More than that, can we become a good host for world class game? I and my oldest son, Fariz, have bad experience when we want to watch the soccer game in Asian Cup at Gelora Bung Karno on June this year. How did we get the expensive ticket by crowded process at the ticket box. So, I just like to tell you about my experience to watch the supporter...
regards

KETIKA pertarungan awal kesebelasan Indonesia melawan Bahrain dalam ajang Piala Asia 2007 di GOR Bung Karno, Senayan, Jakarta, 11 Juli lalu, saya bersama anak saya, Fariz yang sudah mahasiswa dan hobi sepakbola, merasa beruntung ikut menyaksikan pertandingan itu. Meskipun kemenangan pasukan yang dikapteni Bambang Pamungkas itu berhasil menekuk Bahrain 2:1 patut dikenang, namun perjuangan kami mendapatkan dua potong tiket masing-masing senilai Rp. 200 ribu masih membekas dalam ingatan. Sampai-sampai, Fariz kalang-kabut mencari potongan tiket yang sudah terbuang ke dalam tong sampah kamar hotel untuk disimpan guna mengenang getirnya meraih kedua tiket yang disebutnya diperoleh ‘dengan pertarungan nyawa’. Ah, masak?

Fariz sudah antri di depan loket GOR Bung Karno sejak pukul 12.00 setelah menelepon pengurus GOR menginformasikan penjualan tiket dimulai pukul 13.00. Waktu itu, sudah ada dua baris antrian panjang. Perbincangan selama antrian menyibakkan banyak cerita. Bahkan ada di antara pengantri yang datang jauh-jauh dari Bandung dan antri sejak pukul 10.00 pagi. Namun, ada pula yang sudah miondar-mandir dari Gambir-Senen mendatangi toko Nike yang katanya juga mendistribusikan tiket. Namun, tidak mendapatkan apa-apa di sana karena petugas toko bilang bahwa tiket tersebut belum tersedia.

Kerumunan calon penonton sepakbola yang berjumlah ratusan orang itu semakin tak karuan. Baris antrian tiba-tiba hancur-lebur dan desak-desakan pun semakin keras. Caci-maki yang ditujukan pada pihak panitia dan PSSI saling bersahutan. Botol-botol minuman air mineral pun mulai berterbangan. Suasana semakin tak menentu ketika loket baru dibuka sekitar pukul 15.30 -sementara pertandingan antara kesebelasan Indonesia: Bahrain dimulai pukul 17.00.

Terjadilah tontonan yang mengenaskan mata dan memilukan hati. Setiap pembeli yang sudah mengantongi tiket terpaksa mengigit potongan tiket itu di mulut lalu menaiki pagar besi pembatas untuk merayap memanjati atap bangunan loket yang tingginya sekitar 1,5 meter. Sedihnya lagi, sejumlah calon penonton perempuan juga harus melewati prosesi semacam itu. Sesampai di atap bangunan loket yang lancip, para pembeli harus memeras keringat dan keberanian untuk bisa turun melewati pagar GOR Bung Karno yang dihiasi tiang besi yang runcing menganga.

Merasa miris dan gamang, saya sampai melaporkan kejadian yang sedang berlangsung pada beberapa petugas polisi. Saya hanya meminta mereka agar turun tangan memberi jalan keluar bagi pembeli yang sudah memperoleh tiket. Tapi, para polisi itu langsung buang badan. “Kami tahu persoalan ini. Tapi kami sudah bagi-bagi tugas dengan panitia. Mereka yang menjaga keamanan di sekitar loket. Kami tidak boleh mencampuri tugas mereka,” kata seorang polisi yang menjadi pimpinan regu patroli di kawasan jalan di luar pagar GOR Bung Karno. Saya sangat kecewa sambil terus menonton geliat (calon) penonton sepak bola petang itu. Apalagi Fariz masih terkepung di dalam kerumunan yang saling sikut dan bermandikan keringat. Sementara beberapa bule yang sejak siangnya melihat-lihat kerumunan itu dari jarak agak jauh, kian tak bergeming. Saya tak dapat membayangkan bagaimana Fariz dan para bule itu juga harus memanjati atap bangunan loket yang seumur-umurnya tak pernah dilakukannya.

Selanjutnya, saya hanya bisa berkirim kabar via SMS dengan beberapa redaktur suratkabar nasional yang sudah saya kenal baik. “Ada liputan menarik. Saya lagi menonton para penonton sepakbola petang ini yang harus memanjat bangunan loket untuk mendapatkan sepotong tiket. Luar biasa!” tulis saya,

Tepat pukul 17.00, tiket kelas murah masing-masing Rp. 15.000 dan Rp. 25.000 sudah habis. Sementara pertandingan antara Indonesia melawan Bahrain sudah dimulai yang ditandai teriakan riuh penonton dari dalam GOR Bung Karno. Situasi ini agak mengurangi kerumunan. Ditambah pula, desakan para penonton yang tidak kebagian tiket ternyata merangsek ke pintu masuk dan berhasil membobolnya. Alhasil, saya dan Fariz baru bisa menyaksikan pertandingan sepakbola petang itu setelah 40 menit berlalu.

Persoalan sepakbola Indonesia memang tidak semata urusan teknis dan prestasi bermain. Iklim persepakbolaan harus ditumbuhkan dari budaya para penontonnya. Apa yang selama ini sudah jadi hapalan kita tentang nekatnya para ‘bonek’ -terutama asal Surabaya dan beberapa kota lainnya- telah ikut mempertaruhkan nama baik bangsa dalam dunia persepakbolaan. Belum lagi, huru-hara saat pertandingan berlangsung yang mengakibatkan sejumlah stadion sepakbola tidak diperbolehkan menjadi tuan rumah karena dinilai tidak aman.

Distribusi penjualan tiket yang tidak profesional ini memang makin menjauhkan harapan bagaimana mungkin Indonesia menjadi tuan rumah pesta sepakbola yang lebih besar semisal Piala Dunia atau Olimpiade. Sekadar membanding, saat SEA Games di Chiang Mai, Thailand belasan tahun silam, saya punya sedikit pengalaman untuk mendapatkan tiket. Ternyata, antrian yang teratur di bawah pengawalan ketat para petugas keamanan cukup memberi jaminan bagi penonton untuk menyaksikan banyak pertandingan waktu itu. Semestinya, di depan loket penjualan tiket harus ada petugas keamanan yang menjamin arus pembelian tiket. Tidak dibiarkan serabutan sehingga jalan keluar dari loket harus memanjati tembok dan atap bangunan loket.

Bila suasana seperti ini dibiarkan terus berlangsung, bagaimana mungkin menjadikan stadion sepakbola sebagai sumber pendapatan yang dapat menghidupi klub-klub sepakbola profesional seperti yang sudah diterapkan di Eropa dan Amerika Serikat. Klub-klub sepakbola bergengsi bisa dihidupi dari hasil penjualan tiket setiap pertandingan yang dikelola dengan manajemen dagang yang teruji. Bagaimana pun penonton adalah aset dan pundi-pundi para pengelola stadion di samping iklan dan sponsorship dari perusahaan-perusahaan dan industri besar. Bila penonton tak bisa dimanjakan dalam mendapatkan kemudahan meraih tiket, niscaya tontonan sepakbola yang santun hanya ada dalam mimpi. Jangan-jangan kelak, menonton para penonton sepakbola kita merebut lembaran tiket menjadi jauh lebih menarik dibanding tontonan sepakbola itu sendiri. ***

No comments: