Tuesday, June 02, 2009

EMANSIPASI POLITISI PEREMPUAN

POLITISI perempuan Indonesia bolehlah bernapas agak lega. Pasalnya, pengumuman verifikasi KPU tentang daftar nama-nama anggota DPR RI periode 2009-2014 telah memastikan sejumlah 101 caleg perempuan mengisi kursi dewan terhormat dari 560 orang yang ada. Ini bermakna, keterwakilan kaum perempuan mencapai 18,3 persen. Kondisi ini ternyata jauh lebih baik dibanding periode 2004-2009 yang hanya 61 orang dari 550 orang (11 persen). Meskipun sebenarnya masih berada jauh dari target 30 persen yang diimpikan sejak lama.
Sumbangan parpol terbesar bagi caleg perempuan yag menempati Gedung Senayan dari Partai Demokrat sebanyak 37 orang. Selanjutnya diisi oleh PDIPsebanyak 19 orang dan urutan ketiga ditempati Partai Golkar sebanyak 17 orang. Selebihnya diisi oleh enam parpol lain yang dinyatakan lolos dalam parliamentary electoral treshold minimum 2,5 persen.
Realitas ini setidaknya dapat menjawab kekhawatiran semakin ‘terpinggirkan’ perwakilan perempuan di jajaran lembaga legislatif itu. Bahkan sebelumnya, diwanti-wanti agar keterwakilan kaum perempuan harus mencapai 30 persen di lembaga tersebut. Apalagi sebelumnya KPU menetapkan apabila sistem perolehan suara ditentukan berdasarkan nomor urut akan diberlakukan sistem proteksi di mana setiap 2 orang caleg laki-laki harus diisi oleh caleg perempuan.
Sistem penetapan anggota legislatif dengan suara terbanyak ternyata telah memberikan peluang free competition bagi caleg perempuan. Persaingan mereka dengan caleg laki-laki tanpa perlu mendapatkan hak istimewa atau proteksi tentu saja memberikan kepercayaan yang tinggi untuk menunjukkan kepiawaian dan pengaruh mereka dalam bergelut di kancah politik Indonesia.
Upaya mengedepankan peran perempuan di domain politik Indonesia tentu tak lepas dari perjuangan emansipasi kaum perempuan yang tekah diperjuangkan jauhnhari oleh Raden Ajeng Kartini. Bahkan, isu emansipasi menggelinding begitu bebas dengan segala multi-tafsir yang selalu bermuara pada hegemoni kaum perempuan dan kaum laki-laki.
Peranan kaum perempuan di kancah politik Indonesia telah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda dan Jepang hingga masa pergerakan mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Di masa perjuangan, para pejuang perempuan telah menorehkan tinta emas sejarah yang terus dikenang oleh bangsa kita seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Rasuna Said dan masih banyak lagi.
Di masa awal kemerdekaan dan pembangunan, sejumlah politisi perempuan juga memperlihatkan peranan yang luar biasa. Sebutlah nama-nama besar seperti SK. Trimoerti, Herawati Diah, Aisyah Amini hingga generasi kini yang muncul dalam beragam profesi yang dapat mengharumkan nama bangsa.
Di bidang sains dan teknologi, banyak nama perempuan Indonesia yang mencengangkan banyak pihak karena keahlian yang dimilikinya seperti pernah ditunjukkan oleh seorang Dr. Pratiwi Sudarmono, calon antariksawan Indonesia pertama. Meski gagal berangkat dalam misi luar angkasa Amerika Serikat, namun Pratiwi sudah menjadi ikon keandalan perempuan Indonesia sejak dulu.
Era kebangkitan kaum perempuan secara global sebenarnya telah diramalkan oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000. Sejumlah Negara di dunia telah mempercayakan peran Kepala Pemerintahan dan para Menteri Kabinet mengurusi berbagai bidangb yang dulunya hanya didominasi kaum pria. Misalnya tradisi politik di India telah memunculkan nama harum kaum perempuan, Indira Gandhi yang diikuti oleh menantunya, Sonia Gandhi. Di Pakistan sejumlah kaum perempuan perkasa di bidang politik telah berhasil menguasai pemerintahan seperti ditunjukkan oleh Benazir Buttho. Begitu pula di Bangladesh dengan Khaleeda Zia yang terus mengalami jatuh bangun. Filipina juga mengukir sejarah atas kebangkitan politisi perempuan dengan munculnya Cory Aquino sebagai Presiden setelah melalui perjuangan people power yang berdarah. Tradisi ini dilanjutkan pula oleh Arroyo.
Khusus Indonesia, dipilihnya Megawati Soekarno Putri menjadi Presiden mencatat sejarah baru tampilnya perempuan pertama Indonesia memimpin negara di lintasan khatulistiwa ini. Hal yang sama terlihat kian menguatnya peran perempuan yang menjadi Kepala Daerah setingkat Gubernur,Bupati/ Walikota, Camat hingga Kades dan Lurah.
Dalam penyelenggaraan Pemilu di era reformasi yang ditandai dengan sistem pemilihan langsung, keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu baik di tingkat Pusat maupun di Provinsi dan Kabupaten/ Kota selalu diisi oleh sejumlah tokoh perempuan. Beratnya tugas KPU dan Bawaslu yang selalu dikejar tenggat waktu di bawah sorotan tajam masyarakat dan LSM, ternyata tidak membuat para perempuan yang terlibat di dalam tugas-tugas itu menyerah.
Dalam praktik politik di lembawa legislasi baik nasional maupun provinsi dan kabupaten/ kota, wakil rakyat dari kalangan perempuan ternyata bisa bersuara lantang sebagaimana kaum laki-laki. Apalagi suara yang diteriakkan politisi perempuan itu tak lagi sebatas menyamakan hak gender tetapi sudah lebih menukik ke persoalan substantif kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apabila selama ini, masih terkesan para politisi perempuan lebih dominan memperjuangkan hak-hak asasi perempuan atau perlakuan kurang adil terhadap kaum perempuan, tentu lebih didorong oleh sikap manusiawi-kodrati. Dalam konteks ini, bisa difahami bila politisi perempuan begitu sensitif untuk membicarakan soal pelecehan seksual, poligami, trafficking, TKW (Tenaga Kerja Wanita), masalah pornografi dan porni-aksi, hak anak dan sebagainya.
Emansipasi politisi perempuan kadangkala menjadi sesuatu yang dilematis. Satu sisi, politisi perempuan merasa tidak perlu diproteksi dalam bersaing dengan kaum laki-laki. Di sisi lain, politisi perempuan secara nyata masih sulit untuk menyaingi kaum laki-laki bila diberlaku free competition dalam berbagai aktifitas kehidupan.
Persoalan jumlah politisi perempuan di DPR RI memang tak memberikan peluang bagi mereka untuk memenangkan voting dalam mengambil keputusan legislasi yang berkaitan dengan isu-isu gender. Kondisi ini sering dipersulit oleh mitos perjuangan emansipasi perempuan yang tak akan pernah sampai pada titiik kulminasi dalam hegemoni gender itu sendiri.
Apabila emansipasi yang hendak diperjuangkan kaum perempuan dimaksudkan secara hitam-putih terkait peran dalam kehidupan ini, maka secara manusiawi tak semua perempuan mampu bersaing. Apalagi persaingan merebut peran tersebut banyak berkaitan dengan penggunaan tenaga secara fisik. Walau sebenarnya sudah ada perempuan perkasa yang berani naik ring di dunia tinju seperti Laila Ali, anak petinju legendaris dunia, Mohammad Ali. ***

No comments: