Tuesday, June 02, 2009

MANOHARA

KETIKA Daisy Fajarina, ibunda model cantik, Manohara Odelia Pinot berharap dapat berita orisinal dari menantunya, Pangeran Tengku Muhammad Fakhry dari Kelantan, Malaysia, ternyata yang datang hanyalah Misda, seorang pembantu rumah tangga. Padahal, pihak Indonesia melalui jalur diplomatik terus berusaha menghubungi keluarga putra mahkota kesultanan Kelantan untuk mendapatkan klarifikasi. Kasus ‘pemerkosaan dan penculikan’ model cantik Indonesia, Manohara yang kini dipersunting Tengku Fakhry tidak hanya sebatas kasus hubungan rumah tangga melainkan melibatkan G to G –dua negara jiran serumpun: Indonesia-Malaysia.
Begitulah cara Malaysia ‘melecehkan’ saudara tuanya, Indonesia yang terus berlangsung sejak dulu dengan semangat arogansi. Padahal, jejak rekam sejarah setelah era ‘Ganyang Malaysia’ tahun 1960-an menunjukkan bagaimana ketergantungan negeri jiran itu pada Indonesia. Dulu, ribuan guru Indonesia didatangkan ke Malaysia. Dan ribuan mahasiswa Malaysia berlomba-lomba menuntut ilmu di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.
Hubungan kultural Indonesia –khususnya Riau- dengan Malaysia di masa jaya kerajaan Melayu Riau-Johor, Tumasik dan Melaka tiba-tiba ‘retak’ begitu saja. Padahal hubungan persebatian kedua negara serumpun semestinya laksana ‘mencencang air yang tak akan pernah putus.’ Mayoritas penduduk Malaysia justru masih hubungan kait-kelindan dan saudara-mara dengan orang-orang Indonesia. Lihatlah di sejumlah negara bagian Malaysia masih didominasi orang-orang dengan kultur etnik Indonesia baik yang berasal dari tanah Melayu Riau sendiri maupun Jawa, Bugis, Minangkabau, Boyan dan sebagainya.
Nasib Malaysia memang ditakdirkan lain. Negeri itu melesat laju di bidang ekonomi dalam rentang waktu 30 dasawarsa tiba-tiba telah menjadi salah satu pusat pertumbuhan di kawasan Asia Tenggara. Kebangkitan Malaysia menjadi newly industries country telah membalikkan fakta masa silam bagi Indonesia. Malaysia kini menjadi tumpuan harapan jutaan pekerja Indonesia terutama untuk sektor informal –pembantu rumah tangga, buruh, supir dan pekerja kasar lainnya- yang nasibnya mengalami pasang-surut tak berkesudahan.
Banyak kasus nestapa buruh migran Indonesia atau TKI yang terlunta-lunta dan diperlakukan tidak terhormat di negeri jiran seperti pernah dialami Nirmala Bonat dan masih ada ratusan lainnya. Secara psikologis, dominasi TKI di negeri Melayu tersebut justru dipandang rendah dan dilecehkan secara generative dengan panggilan ‘Indon’. Memang, sebutan Indon itu kira-kira samalah dengan sebutan ‘inlander’ yang pernah dipopulerkan penjajah Belanda atas orang-orang pribumi Indonesia di masa silam.
Pelecehan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia yang diperkirakan mencapai 3 juta orang –separuhnya merupakan TKI resmi, terus berlangsung. Penangkapan atas TKI illegal atau tuduhan kriminal yang belum tentu benar atas TKI kita selalu berujung di penjara yang diperlakukan tidak manusiawi. Belum lagi para pembantu rumah tangga yang dianiaya oleh para majikan orang Malaysia yang kurang mendapat pembelaan secara hukum dari pihak pemerintah Malaysia.
Padahal, semua orang tahu, para TKI itu di masa Pilihan Raya (Pemilu) selalu dimanfaatkan oleh partai pemerintah untuk mendapatkan dukungan suara bagi kemenangan pihak puak Melayu atau bumiputera.
Pelecehan demi pelecehan yang dilakukan pihak Malaysia terus saja bergulir. Sekadar mengingat kembali, ada kasus klaim Malaysia terhadap pulau Sipadan-Ligitan tahun 2002 yang akhirnya dimenangkan Malaysia di Mahkamah Internasional. Pencaplokan pulau-pulau Indonesia yang bersempadan dengan Malaysia itu belum berakhir. Tahun 2005, Malaysia kembali mengklaim kawasan Ambalat bermula dari perlakuan pemerintah Malaysia yang memberi konsesi kepada perusahaan minyak Amerika, Shell untuk melakukan eksplorasi di Laut Sulawesi itu. Malaysia mengklaim blok Ambalat yang berada di perairan Karang Unarang tersebut sebagai miliknya.
Sejarah sudah menegaskan berdasarkan deklarasi Juanda 1957, pulau tersebut terang-terangan milik Indonesia. Deklarasi Juanda sendiri pada tahun 1959 telah diadopsi oleh PBB ke dalam Konvensi Hukum Laut. Hingga kini, kasus Ambalat ini masih menjadi ‘puncak gunung es’ konflik antara kedua negara.
Belum lagi pemukukan wasit karate asal Indonesia dalam pertandingan sukan (olahraga) yang semestinya mengedepankan sportifitas. Begitu pula, klaim atas lagu “Rasa Sayange” sebagai milik mereka. Masih ada kasus penangkapan Muslianah, isteri seorang diplomat Indonesia -Atase Pendidikan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia- oleh Relawan Rakyat Malaysia (Rela) pada penghujung tahun 2007, yang memperlakukannya seolah-olah sebagai pendatang haram. DPR dan KBRI pun sempat melayangkan surat protes, bahkan Fraksi PAN menuntut diputuskannya hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Sensitifitas hubungan Indonesia-Malaysia tampaknya bakal serinh terjadi karena nilai-nilai kultural yang semestinya dapat merekat hubungan emosional penduduk kedua negara terasa kian luntur. Malaysia yang kian mengarah menjadi kapitalisme baru di kawasan Selat Melaka kian melupakan makna hubungan kultural negeri serumpun. Sikap angkuh ini boleh jadi untuk menebus luka sejarah di masa Konfrontasi Indonesia-Malaysia yang tak akan pernah dilupakan kedua negara.
Kesamaan akar budaya dan agama Islam –yang mendominasi kedua negara- ternyata tak cukup untuk meredam konflik atau pertikaian yang terjadi. Oleh sebab itu, jangan heran bila pada setiap konflik yang muncul dalam hubungan kedua negara, teriakan yel-yel ‘Ganyang Malaysia’ selalu mengemuka dari orang-orang Indonesia. Teriakan itu tentu saja sebagai refleksi atas perlakuan kurang terpuji atas orang-orang Indonesia di Malaysia yang terus menggumpal menjadi ‘dendam’ manusiawi.
Kasus Manohara yang diawali dengan ‘perkosaan’ oleh seorang keluarga Kesultanan Kelantan yang dilanjutkan ke jenjang pelaminan, memang padamulanya hanyalah urusan privasi suami-isteri. Namun, pengakuan ibunda Manihara, Daisy Fajarina yang memberikan kesaksikan bahwa banyak perlakuan tak wajar yang dialami Manohara –kelainan seksual Tengku Fakhry dan tindak kekerasan dalam rumah tangga- membuat persoalan ini pasti bersentuhan dengan domain hukum.
Tidak terbukanya pihak aparat penegak hukum dan pemerintahan Malaysia atas kasus Monahara ini dipastikan menimbulkan ketegangan kedua negara. Sikap ini sekali lagi memncerminkan arogansi dan upaya pelecehan sebagai pengulangan atas kasus-kasus sebelumnya. Di sisi lain, pihak Indonesia masih saja bersabar sambil menantikan perubahan sikap pemerintah Malaysia yang lebih santun sebagaimana diajarkan dalam nilai-nilai tunjuk-ajar Melayu.
“Sudahlah, Encik, jangan lagi lecehkan kami!” Boleh jadi. Hanya inilah ungkapan yang dapat menggetarkan arogansi negeri jiran itu. Sekaligus menyadarkan bahwa Indonesia-Malaysia itu negeri sejiran dan serumpun Melayu. ***

2 comments:

DAFFA said...

Manohara,,,
Mengembalikan ingatan Saya pada (Man)Ohara, tampilan wajah tua nan berwibawa,sejuk,lembut dan tenang dan cerdas... Ohara situa dalam flm OHARA.

Senang dapat membaca postingan Anda Boss, bila sudi dan ada kesempatan, mohon ajari Saya menulis, ini keinginan lama yang sudah bersemayam di hati sejak lama dan terabaikan...
TQ,

AKU CINTA SASTRA said...

Wah..terimakasih atas komentarnya. Belajar menulis gampang..harus dimulai saja dengan gemar membaca tulisan orang lain..filosofi sederhananya: orang lain bisa, kenapa saya tidak..salam