Tuesday, June 02, 2009

'PERCINTAAN POLITIK' CAPRES-CAWAPRES

MENCARI pasangan Capres-Cawapres persis sebuah proses percintaan. Mulai dari lirik-melirik, menggoda, kencan, ngapel (mengunjungi) hingga runding-merunding. Intensitas kegiatan yang berujung untuk menyatukan pikiran dan perasaan agar menjadi pasangan serasi sehingga berkekalan hingga anak-cucu. Meskipun sebenarnya tak ada jaminan bila semua ritual percintaan itu dilakukan jauh hari akan berakhir bahagia. Lihat saja, pasangan SBY-JK yang justru retak di ujung perjalanan masa jabatan mereka.
Tingginya intensitas hubungan para Capres-Cawapres pada Pilpres 2009 yang berlangsung 8 Juli ini bisa-bisa membingungkan rakyat. Tayangan TV dan pemberitaan di media yang begitu dominant memperlihatkan sebuah tontonan menarik yang membuat hati rakyat jadi gamang dan gundah. Betapa tidak? Ternyata para politisi di negeri ini justru lebih terpesona untuk mencari kecocokan pasangan ketimbang mengusung agenda politik yang dapat mengubah nasib rakyat yang terlalu lama menderita.
Kombinasi saling-kunjung para capres-cawapres beserta tim sukses masing-masing bagaikan sebuah benang kusut yang bertalian sehingga tak jelas ujung pangkalnya. Upaya menemukan format koalisi dari masing-masing parpol yang dinyatakan lolos presidential threshold bagai tak mempunya pola normative lagi.
Para pakar politik dulu selalu memprediksi, pasangan capres-cawapres Indonesia selalu mempertimbangkan aspek ideolog-agama dan faktor geografis yang dipandang merepresentasikan pluralitas Indonesia. Sebutlah pertimbangan Islam-non Islam atau Jawa-non Jawa dan boleh jadi tuntutan laki-laki dan perempuan. Tradisi politik bagi pasangan presiden-wapres tersebut kini boleh sirna begitu saja karena pertimbangan para ‘penguasa’ parpol sudah beralih pada ambisi merebut kekuasaan belaka.
Apa yang tak dibayangkan tak akan pernah terjadi ternyata dalam proses pinang-meminang pasangan capres-wapres pada Pilpres kali ini boleh saja jadi kenyataan. Sebutlah, PKS yang mengusung ideologi-Islam sempat sesumbar tak akan berkoalisi dengan Partai Golkar (PG). Tapi ketika PKS ‘dikecewakan’ Partai Demokrat (PD) dan SBY setelah PKS menyerahkan jiwa raga ‘cinta’nya ternyata hanya bertepuk sebelah tangan.
Begitu pula, ketika koalisi besar yang diperankan oleh PDIP dan PG untuk menaklukkan dominasi PD dan SBY yang memenangkan Pemilu Legislatif 2009, ketika JK dengan PG cepat-cepat mendeklarasikan pasangan capres-cawapres dengan Wiranto, PDIP pun tiba-tiba mendekati PD untuk berkoalisi. Pantas saja bila sebagian pengurus PDIP seolah-olah ‘mengharamkan’ Megawati Sukarnoputri dan PDIP sendiri merapat ke kubu SBY yang menjadi musuh bebuyutanya sejak lima tahun terakhir.
Bagaimana rakyat tak bingung menyaksikan ‘akrobat politik’ para politisi menjelang Pilpres 2009 ini. Perubahan sikap dalam sehari bisa terjadi tanpa mudah diprediksi. Bahkan para pengamat dan analis politik sempat menyerah ketika isu akan bergabungnya Megawati dengan SBY begitu kuat bergaung. Koalisi ini benar-benar mematahkan prediksi-prediksi yang selama ini diandalkan para pengamat dan analis politik. Bagaimana mungkin, Mega bakal bersatu dengan SBY di tengah perang pernyataan dan komunikasi politik yang terus memburuk.
Arah koalisi di sebagian parpol dengan capres unggulannya terus kian nyata. Dimulai saat JK mengumumkan pasangannya dengan Wiranto yang disikapi banyak kalangan dengan berbagai komentar dan dugaan. JK yang Ketua Umum PG bergandengan tangan dengan Wiranto yang juga pernah jadi kader PG –bahkan pada Pemilu 2004, Wiranto memenangkan Konvensi PG untuk capres. Jadi, pasangan JK-Win sebenarnya tak lebih dari koalisi sesame kader PG juga.
Setelah itu, parpol-parpol lain pemenang Pemilu Legislatif 2009 bergerak kian kemari dengan pola yang sulit diraba. Koalisi besar yang dimotori PG dan PDIP terasa mulai guncang. Di sisi lain, PD dengan capres unggulan, SBY semakin menebar harapan pada banyak parpol yang tak bisa mandiri mengajukan capres sendiri. Bisa dimaklumi ketika sejumlah parpol di antaranya PKS, PAN, PPP, PKB jauh-jauh hari menyatakan siap berkoalisi dengan PD.
Lebih dari itu, SBY bagaikan seorang putra mahkota yang ingin cari jodoh dengan membuka peluang bagi para calon permaisurinya. Rayuan SBY berhasil menghimpun 19 nama dari kalangan parpol koalisi dan non-koalisi. Waktu itu, orang mulai menduga-duga bahwa SBY akan menggandeng kalangan agamis seperti Hidayat Nur Wahid atau Tifatul Semabiring dari PKS. Begitu pula, kandidat dari PKB (Muhaimin Iskandar) atau Hatta Radja (PAN) dan sejumlah nama lagi.
Di tengah penantian para cawapres dari kalangan parpol tiba-tiba SBY memunculkan wacana cawapres dari kalangan professional. Ternyata, tokoh yang dipilih SBY adalah Boediono yang kini menjabat Gubernur Bank Indonesia. Secara psikologis, para cawapres parpol tentu saja hanya bisa melongo, kecewa dan terkejut setengah mati. Cinta yang sudah diobral ternyata tak berbalas sebagaimana diharapkan. Jangan-jangan ada di antara parpol yang merasa sakit hati. Tampaknya, PKS telah mengekpresikan perasaan semacam itu.
Koalisi PD dengan sejumlah parpol mulai goyah karena merasa dilecehkan atau tidak dihargai. Sebaliknya, SBY bukannya tak punya alas an memilih Boediono. Boleh jadi, SBY ingin menghindari konflik yang lebih besar di kalangan parpol-parpol koalisi. Ini persoalan menimbang-nimbang perasaan dan rasa keadilan. Makanya, SBY memutuskan tidak memilih kandidat dari parpol.
Di kubu PDIP pun bukan main dinamik pula. Megawati seolah-olah khawatir ‘melajang’ atau menjomblo. Pinangan yang ditujukan pada Prabowo dari Gerindra ternhyata banyak menyisakan negosiasi yang tak kunjung selesai. Banyak konsekuensi yang harus dihadapi.
Itulah politik. Segalanya mungkin terjadi. Jargon yang mengungkapkan ‘tak ada teman abadi, tak ada musuh abadi kecuali kepentingan itu sendiri.’ Semua politisi memang sedang berebut kepentingan itu. Akibatnya? Substansi program yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat menjadi terpinggirkan. Tradisi politik begini memang menjadi ‘penyakit’ lima tahunan dalam merebut kekuasaan. Memang sedih menjadi rakyat dalam tradisi begini. ***

No comments: