Tuesday, June 02, 2009

KAPAN KITA SEBENAR-BENAR BANGKIT?

TAK TERASA usia Hari Kebangkitan Nasional sudah seabad lebih terhitung 20 Mei 1908. Momentum hari bersejarah itu selalu dijadikan sebagai dasar lompatan baru untuk membawa bangsa ini ke jenjang yang lebih maju. Sudah tak terbilang pula jargon-jargon yang diharapkan member inspirasi bagi segebap anak bangsa untuk bangkit dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tapi, bagaimana keberadaan bangsa kita hingga hari ini? Kita merasa seolah-olah masih jalan di tempat.
Suasana ini mengingatkan kita pada karikatur Om Pasikom-nya GM Sudarta di sebuah media nasional terkemuka sekitar tiga dasawarsa silam. Digambar sebuah perahu di tengah samudera yang didayung seorang kakek dan cucu. Lantas, sang cucu bertanya pada kakeknya: “Kek, kita sekarang apakah sedang maju atau mundur?” Pertanyaan sang cucu memang tak pernah mendapatkan jawaban yang pasti. Banyak orang kini mengajukan pertanyaan yang sama ketika merasakan perahu raksasa Indonesia yang terus mengharungi samudera kehidupan sejak dulu namun tak tahu sudah berada di mana?
Lantas, kita pun selalu menoleh ke negara-negara tetangga terdekat seperti Malaysia dan Singapura. Indikator income per kapita saja sudah cukup jadi bukti betapa kita jauh tertinggal dari mereka. Alasan pembenaran pun gampang diajukan. Seperti pernah disampaikan ahli ekonomi, Sudradjat Djiwandono tiga dasawarsa silam bahwa sulit membandingkan tingat pertumbuhan Indonesia dengan Singapura. Sebab, analogi yang ditampilkannya bahwa kalau Singapura itu laksana sebuah speed boat yang lincah dan bisa lari cepat. Sedangkan Indonesia laksana sebuah kapal tanker raksasa sehingga begitu sulit melakukan manuver berbelok arah.
Dulu, alasan Sudradjat Djiwandono itu mudah diterima. Tapi setelah puluhan tahun berjalan, iklim global ikut memprotak-porandakan teori-teori besar ekonomi. Ternyata Negara yang berpenduduk besar itu tidak hanya Indonesia. Masih ada Negara-negara lain yang berpenduduk jauh lebih besar seperti China dengan penduduk di atas satu milyar atau India yang mendekati satu milyar pula. Namun kedua Negara itu secara ekonomis telah berubah menjadi raksasa-raksasa baru ekonomi dunia menyusuli Jepang yang selama ini dipandajang sebagai ‘naga Asia’ yang tak tertandingi.
Lihatlah China dan India hari ini dengan segala perkembangan dan perubahan yang tak bisa dihentikan. Kota-kota besar China kini tak kalah dengan kota-kota besar di Amerika dan Eropa. Begitu pula urusan kemakmuran, Indonesia semakin jauh tertinggal. Kebangkitan negara-negara industri baru (newly industries country) terus bertumbuh dan berupaya mensejajarkan diri dengan Negara-negara industry maju yang sejak dulu didominasi oleh Eropa dan Amerika.
Banyak teori yang dapat dipadankan kenapa sebuah negara bisa maju. Ini laksana orang menyoal bagaimana sebuah warung runcit bisa jadi toserba atau mall dalam rentang waktu yang panjang. Namun, betapa banyak warung runcit yang justru tidak mengalami perkembangan sama sekali melainkan langsung ‘layu sebelum berkembang.’
Penelitian Prof. McLelland di sebuah desa di India puluhan silam memberikan sedikit argumentasi terkait adanya sebuah virus kemajuan yang dinamakannya virus n-Ach (virus an achievement). Begitu pula, Prof. Iwan Jaya Aziz (alm)pernah mengamati bagaimana Negara-negara Ekonomi Baru (newly economic countries) di kawasan Asia justru didominasi oleh negara-negara yang penduduknya menganut agama bumi seperti Khonghucu dan menggunakan huruf Kanji. Iwan menjajarkan negara-negara tersebut mulai dari China (baca: Hongkong), Taiwan, Korea Selatan hingga Singapura.
Meski belum terjawab pasti, faktor apa yang negara-negara di kawasan Asia itu bisa melesat maju, namun boleh jadi faktor budaya cukup memberi pengaruh. Faktor budaya itu bisa dikonversi menjadi etos kerja yang dapat menjadi mesin turbo penggerak untuk maju dan berkembang. Di Indonesia sendiri, perkembangan ekonomi sejak dulu tetap saja didominasi oleh orang-orang keturunan Tionghoa yang memegang peran dalam dunia usaha.
Menatap kebangkitan Indonesia kadangkala membuat hati pilu. Perkembangan inovasi teknologi bergerak lamban sejak dulu. Padahal, kajian-kajian dan penelitian di bebagai bidang bukannya tak dilakukan. Coba teroka sendiri. Bagaimana pekembangan inovasi di bidang pertanian di mana sejak dulu kita menyebut diri sebagai salah satu negara agraris terbesar di dunia. Sementara produk-produk pertanian unggulan kita masih tergantung pada impor seperti kacang kedele yang didominasi oleh benih dari Amerika Serikat. Buah-buahan kita masih kalah mutunya dengan buah-buah impor yang merajai pasar buah di tanah air sendiri.
Industri automotif dunia baik mobil maupun motor yang berpacuan terus dengan persaingan model yang ketat. Terasa sedih bila industri automotif yang genuine Indonesia tak kunjung muncul sementara Malaysia saja sudah mengeluarkan generasi Proton yang tak henti-hentinya. Belum lagi perkembangan inovasi dan teknologi di bidang elektronika, komputer, mesin dan produk industri strategis lainnya. Syukurlah, kita sudah punya industri teknologi tinggi berupa pesawat terbang yang dipelopori oleh BJ. Habibie melalui IPTN yang perkembangannya terkesan terus melambat.
Di sisi lain, pekembangan kasus pembajakan dan pemalsuan merek produk-produk konsumtif di negeri kita bagai cerita bersambung yang tak tamat-tamatnya. Pelanggaran hak cipta itu bagaikan sebuah kelaziman bila ingin survive untuk sekadar mempertahankan hidup. Lihatlah kasus pembajakan VCD/ DVD film-film Hollywood, merek sepatu, tas, minuman kaleng, model pakaian, sabun, kosmetika dan obat-obatan yang secara mudah disaksikan di lembaran suratkabar atau layar TV.
Padahal, secara kualitatif, sumberdaya manusia Indonesia semestinya tak kalah bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Lihatlah, di berbagai ajang olimpiade dunia di bidang matematika atau sains, putra-putra terbaik kita mampu memenangkan kompetisi ilmu pengetahuan bergengsi itu.
Di sisi lain, institusi penelitian dan pengembangan yang terdapat di berbagai dinas dan departemen termasuk LIPI bagai tak teredengar gemanya. Penelitian-penelitian terus dilakukan namun belum berdampak langsung melahirkan karya-karya inovatif yang dapat dikonsumsi anak bangsa sendiri. Biasanya dalam perayaan Hari Kebangkitan Bangsa setiap tahunnya karya-karya inovatif itu ditampilkan. Namun, sayang, penampilan itu hanya sekadar melengkapi sebuah ritual perayaan karena setelah itu nyaris tak terdengar kelanjutan penelitian menjadi produk massal yang dapat ditemukan di pasaran.
Di era pemerintahan SBY-JK, justru tragedi ilmu pengetahuan dan teknologi justru menjadi bulan-bulanan publik belaka seperti kasus Blue Energy, Benih Padi Unggul dan masih banyak lagi. Tapi, bangsa kita tak kunjung termotivasi mematahkan mitos sebagai bangsa yang pandainya meniru atau mengkonsumsi produk-produk dunia bahkan menjadi penampung sampah elektronik dunia berupa barang-barang bekas yang banyak dimanfaatkan kembali.
Di Tanah Melayu, ada sejenis kue yang dapat memacu kemajuan dan boleh dikonsumsi. Namanya, Kue Bangkit. Perlukah kita ramai-ramai memakain kue itu agar terstimulasi untuk benar-benar bangkit? ***

No comments: