Tuesday, January 22, 2008

ADA APA DENGAN ILLEGAL LOGGING RIAU?

Dear All,
Suddenly, Illegal Logging issue in Riau became a biggest case related the forestry indsutry in Indonesia. Why?


ADA APA DENGAN
ILLEGAL LOGGING RIAU?

ISU pemberantasan illegal logging di Riau bagaikan banjir bandang yang lambat surut. Banyak pihak yang kini tersadai dan terapung-apung di tengah gelombang ketidakpastian penegakan hukum dalam penyelesaian kasus itu. Semua pihak terkait merasa paling benar karena didukung argumentasi masing-masing yang dapat dipertanggungjawabkan. Situasi ini menjadi berlarut-larut karena tak ada persepsi yang sama dalam menengahi kasus yang melebar di tataran dan wacana nasional. Bahkan, isu ini menggelinding jauh bernuansa global di tengah dunia sedang kemaruk memikirkan pemanasan global dan perubahan iklim.
Tentu saja, banyak dampak yang menyertai aksi pemberantasan illegal logging yang banyak memakan waktu, memakan korban dan terganggunya aktifitas kehidupan banyak orang yang selama ini menggantungkan harapan hidupnya pada sumberdaya hutan. Secara nasional, kebelum-jelasan akhir aksi penyelamatan hutan ini akan berdampak langsung terhadap citra negatif Indonesia di mata dunia internasional. Apalagi, Conference of Party (COP) XIII di Bali yang baru berlangsung bulan Desember tahun lalu benar-benar mengangkat tema Perubahan Iklim dan Pemanasan Global (Climate Change and Global Warming) diikuti 10 ribu orang, justru memerlukan tindak-lanjut butir-butir yang terkandung di dalam Road Map of Bali. Semua isu tersebut menjadi momen menentukan dalam menempatkan Indonesia dalam kontribusi dan konstelasi kerusakan lingkungan dalam skala internasional.
Selain itu, haru-biru aksi pemberantasan illegal logging yang terkesan kurang terkoordinasi secara harmoni ini juga berpengaruh langsung terhadap iklim investasi. Banyak kalangan investor mancanegara yang bakal berpikir dua kali untuk berinvestasi di negeri yang diagungkan sebagai jamrud khatulistiwa atau ‘sepotong surga’ di dunia ini. Investasi jangan hanya dipandang sebagai pemasukan devisa belaka. Lebih dari itu, investasi yang besar akan memiliki multiplier and snow ball effect bagi memacu laju pertumbuhan Indonesia. Secara langsung, investasi juga bakal menekan angka pengangguran dan mengurangi kemiskinan.
Secara holistik, hutan diciptakan Allah Yang Maha Kuasa tentulah untuk kesejahteraan umat manusia. Apa gunanya hutan yang lebat tapi tidak bermanfaat bagi miliaran orang di seluruh belahan dunia. Oleh sebab itu, manusia sebagai 'khalifah fil ard' (pemimpin di muka bumi) yang telah dibekali akal dan pikiran, harus dapat memanfaatkan seluruh potensi sumberdaya alam termasuk hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Adanya sistem sosial yang mengatur hubungan antar manusia dengan Maha Pencipta dan lingkungan, memungkinkan alam terkembang ini dibagi secara proporsional agar memberikan manfaat bagi kehidupan. Oleh sebab itu, kawasan hutan yang terbentang luas dengan segala kelengkapan ekosistem flora, fauna, tanah,.air dan udara mestilah dibagi-bagi secara proporsional menurut fungsi dan kegunaannya.
Di Indonesia, kawasan hutan diamanahkan kepada Departemen Kehutanan dan Lingkungan Hidup agar ditata secara bijak yang telah melahirkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) secara nasional. Selanjutnya kebijakan ini diimplementasikan dan dikoordinasikan melalui Tata Ruang Provinsi dan Kabupaten(RTRWP/RTRWK). Penanganan masalah ini dilakukan para pejabat yang berkompeten. Semestinya, tiadak ada pihak yang meremehkan kapasitas dan kemampuan para pejabat di Departemen tersebut dalam mengelola kawasan hutan agar tetap lestari bagi masa depan kehidupan manusia Indonesia. Bukankah Rasulullah pernah mengatakan: serahkanlah segala sesuatu pada ahlinya. Kalau tidak, tunggulah kehancurannya.
Ketika Dephut mengeluarkan izin pemanfaatan kawasan hutan dengan pola-pola yang sudah dipertimbangkan secara profesional seperti Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) dan sebagainya, harus dipandang sebagai sebuah keputusan normative yang memiliki kekuatan hukum yang menjadi landasan berpijak semua pihak terkait di bidang industri dan usaha yang berbasis kehutanan.
Munculnya gebrakan pemberantasan illegal logging yang dilakukan pihak aparat hukum kepolisian memang patut diacung-jempolkan. Tapi sayang, pendekatan yang dilakukan tampaknya kurang terkoordinasi dengan institusi yang berkompeten yakni Departemen Kehutanan. Malah, ironisnya, Menteri Kehutanan, MS Kaban yang sangat gencar melakukan aksi pemberantasan illegal logging sejak awal kepemimpinannya justru menghadapi arus balik yang tak terduga-duga. Kaban tiba-tiba jadi sasaran tembak untuk dijadikan sebagai tersangka pelaku illegal logging. Padahal, publik tahu bahwa Kaban sejak awal kepemimpinannya di Dephut amat gencar mempertanyakan kelanjutan proses hukum para tersangka pelaku kejahatan kehutanan yang dilakukan aparat kepolisian namun tak jelas kelanjutannya.
Selanjutnya, Gubernur dan sejumlah bupati di Riau bakal diseret sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan dan keputusan pemanfaatan sumber daya hutan yang patut dijajal ke meja hijau. Muara akhir dari bidikan senjata hukum terhadap isu illegal logging ini tak dapat dielakkan akan melibatkan sejumlah dunia usaha yang bergerak di bidang kehutanan.
Tidak samanya persepsi tentang definisi illegal logging antara pihak kepolisian dan aparat kehutanan, membuat makin runyamnya penuntasan kasus pemberantasan illegal logging ini. Sementara sejumlah industri di bidang kehutanan seperti perusahaan pulp dan kertas yang telah berkontribusi bagi negara berupa devisa, pajak dan retribusi serta menampung ratusan ribu tenaga kerja baik langsung maupun tak langsung, meski sudah punya legalitas perizinan dan dokumen, tiba-tiba menjadi stagnan karena belum adanya kepastian hukum yang tegas terkait isu yang menjadi salah satu focus pemerintahan Presiden SBY ini.
‘Kebuntuan’ proses hukum pemberantasan illegal logging ini yang padamulanya amat bernuansa teknis tiba-tiba berpindah ke domain politik. Semua orang tahu, bila hukum didekati secara politik dipastikan akan melibatkan kekuasaan yang tak habis-habisnya. Lihatlah, sekarang, Presiden SBY menugaskan Menko Polkam untuk memimpin Tim Pemberantasan Illegal Loggng Riau yang bermakna ada kesan ‘ketidakpercayaan’ atau sikap terlalu berhati-hati terhadap proses hukum yang sudah dilakukan sebelumnya. Bahkan Presiden SBY juga tak tanggung-tanggung telah meminta institusi penting sekaliber Lemhanas utuk mendapatkan 'second opinion' tentang hasil dan masukan semua pihak yang telah bekerja keras dalam menghimpun data dan informasi terkait fenomena kasus illegal logging Riau.
Apabila pandangan lebih ditukikkan, patut kita bertanya kenapa hanya Riau yang dijadikan 'kelinci percobaan' kasus illegal logging di Indonesia. Sementara, maraknya kasus illegal logging tak kalah serunya dibanding apa yang terjadi di Papua, Kalimantan, Jambi atau Sumut. Sudah begitu 'manis'kah kawasan hutan Riau hingga dikerubuti banyaki 'semut' yang ingin mencicipi rasa manis hutannya?
Tuduhan praktik illegal logging yang ditujukan pada banyak perusahaan dan tuduhan kekeliruan oleh pihak pemerintah melalui departemen teknis terakit dalam mengeluarkan izin pemanfaatan suberdaya hutan, memang harus disikapi secara bijak dan tidak sembrono. Dephut bersama dinas-dinas terkait telah melakukan tugasnya dengan mengedepankan asas normative berpatokan pada peraturan dan perundang-undangan. Kalau pun ditemukan ada cacat celanya mestinya harus dibedah dengan 'pisau' hukum yang berorientasi pada kesalahan tindakan administratif. Lain halnya bila perusahaan kehutanan itu melakukan penebangan hutan di kawasan yang tidak berizin atau kawasan hutan yang peruntukannya bagi kelestarian lingkungan hidup atau konservasi. Bila hal ini tetap dipaksaan dengan pendekatan pidana semata niscaya akan memunculkan polemik hukum saat diajukan ke pihak kejaksaan dan pengadilan baik di PN, PT dan MA.
Kita memang masih harus belajar banyak dalam menyikapi kasus pemberantasan illegal logging ini bila ingin mendapatkan kepastian hukum yang didukung oleh semua pihak . Tak ada keputusan hukum yang bersifat mutlak karena keterbatasan manusiawi para penegak hukum secara personal yang mesti diuji dengan obyektifitas yang paling mendekati kebenaran. Jangan biarkan ironi pemberantasan illegal logging menjadi permainan di mata publik, agar keputusan hukum mempunyai wibawa sebagaimana mestinya.***

No comments: