Tuesday, January 22, 2008

THE NATION WITHOUT COMPETITIVENESS

Dear All,
One day, this year, i read a news about the list out of countries that have competitiveness in the world. One of criteria related with their security and safely for growing the investment value. Where is Indonesia position? Sorry to say, Indonesia in -around- 124 level to be investment address...I am remember with a joke of Pak Chaidir (Ketua DPRD Riau). Any 4 country group in the world based on their people basic character. First, the country that a lot speaking, but a bit doing. Second, the country that a bit speaking, a lot doing. Third, the country that a lot speaking, a lot doing. Fourth, the country that a bit speaking, a bit doing. Where is Indonesia position? Really, Indonesia is not include in all criteria. Why? Caused, Indonesia have special character: other thinking but other doing...

NEGERI TAK BERDAYA SAING

MALANG benar negeri kita. Dari waktu ke waktu setelah berganti pemerintahan yang satu ke pemerintahan yang lain, bak jalan di tempat belaka. Tak ada tanda-tanda yang menggembirakan. Baru ada sekelabat cahaya di angkasa, tiba-tiba pudar pula seketika. Ketika nilai tukar rupiah ke dolar AS mulai merambah ke wilayah di bawah Rp. 9000, bukannya fenomena ini serta-merta menggembirakan semua pihak. Sebab, nilai rupiah menguat ternyata menggelisahkan bagi para eksportir namun menggembirakan para importir.
Oleh sebab itu, muncul anekdot. Doa para eksportir berbunyi begini: “Ya Tuhan, perlemahlah terus nilai rupiah agar kami bisa terus melakukan ekspor dengan nyaman.” Tapi lain lagi doa para importir :”Ya Tuhan, perkuatlah nilai rupiah agar impor yang kami lakukan berjalan lancar…” Hukum kausalitas erupa ini tak akan pernah berklahir karena semua orang ada dan bekerja sesuai kepentingan dan misinya masing-masing. Para dokter tentu akan merasa produktif apabila banyak pasien yang sakit. Para rentenir akan nyaman bekerja apabila makin banyak orang yang miskin sebagai nasabah yang akan berutang. Para aparat hukum akan tertantang bekerja apabila para pelaku kejahatan masih selalu ada.
Laporan International Institute for Management Development (IMD) yang berpusat di Lausianne, Swis pertengahan Mei 2007 ini mjengeluarkan Buku Tahunan daya Saing Dunia (World Competitiveness Yearbook) yang membentangkan nilai rating daya saing 55 negara di dunia. Survei IMD ini memakai 323 kriteria dari empat kelompok indikator yakni kinerja ekonomi, efisiensi birokrasi, efisiensi bisnis dan ketersediaan infrastruktur. Untuk indikator ekonomi, rata-rata negara yang disurvei memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5% per tahun.
Mau tahu di mana posisi negeri kesayangan kita, Indonesia? IMD menempatkan Indonesia di urutan ke-54 dari 55 negara yang disurvei. Bahkan di jajaran 13 negara Asia saja, Indonesia justru menempati urutan nomor buncit. Ini bermakna Indonesia berada di bawah negara Filipina dan Thailand. Sementara yang menempati posisi teratas di tingkat Asia adalah Singapura. Sedangkan untuk peringkat 20 top dunia negara yang mempunyai daya saing tertinggi adalah Amerika Serikat, Singapura dan Hongkong. Negara China berada di urutan ke-15.
Siapa pun yang memiliki kesadaran nasional yang tinggi akan terkesima menyaksikan kinerja negara kita di antara negara-negara dunia. Kinerja ini selalu memiliki kedekatan dengan business ethic dan good governance (pemerintah yang bersih dan berwibawa). Bercerita soal korupsi di Indonesia, barangkali bakal jadi ‘never ending story’. Selalu saja ada kisah yang mengejutkan bila kasus-kasus baru tindak korupsi terungkap ke permukaan. Siapa duga, kasus non-bujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang dimpimpin oleh Menteri Rokhmin Dahuri -masa itu- senilai 35 milyar -kira-kira- justru telah meluber ke mana terutama kalangan para politisi.
Realitas posisi Indonesia di antara negara-negara dunia yang mempunyai daya saing baik tentu saja semakin menyurutkan hati kita untuk mendapatkan investasi yang sebesar-besarnya dalam membangun negeri ini. Investasi memang tetap menjadi instrumen penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, baik Presiden maupun para Kepala Daerah setingkat Gubernur dan Bupati/ Walikota selalu berdalih mencari investor lantas bepergian ke luar negeri dengan serombongan tim yang ‘kebesaran’. Padahal hampir semua provinsi dan kabupaten/ kota itu sudah membuat website yang memuat informasi peluang investasi dan prosedur yang harus dilakukan dengan biaya yang amat besar pula. Bahkan ada pemerintah daerah yang mengalokasikan sampai belasan miliar rupiah untuk menubuhkan website dimaksud. Maklumlah, untuk teknologi informasi yang canggih seperti itu harus menyewa tenaga ahli IT dan pembelian peralatan hardware dan software yang selalu dikesankan amat mahal-hal-hal….
Padahal enggannya investor datang ke negeri ini selain terkait basic need of investment yakni prasarana jalan sebagai akses, listrik, telekomunikasi dan fasilitas air bersih melainkan hak mendasar yakni jaminan keamanan dan kenyamanan. Sudah lazim di negeri ini, untuk suatu urusan perizinan selain memerlukan waktu yang berbulan-bulan juga ‘keseraman’ menghadapi banyak meja birokrasi. Masing-masing meja birokrasi itu tegak dengan keangkuhan kekuasaannya yang cenderung bisa dijinakkan dengan ‘uang pelicin’. Saya masih ingat, di era Orde Baru dulu, seorang nelayan kapal motor yang ingin menangkap ikan di laut dalam proses pengurusan izin usahanya harus melewati 15 mata rantai birokrasi mulai dari RT hingga Dinas Perikanan dan Adpel.
Syukurlah, hampir semua pemerintah daerah termasuk Provinsi Riau di bawah kepemimpinan Gubernur Riau, HM. Rusli Zainal segera memberlakukan pelayanan satu atap dalam proses perizinan-perizinan investasi. Hal ini diungkapkan Rusli Zainal di depan 20 Duta Besar negara-negara sahabat di Departemen Luar Negeri belum lama ini saat memberikan presentasi tentang peluang bisnis dan investasi di Provinsi Riau.
Sejak terjadinya huru-hara awal reformasi di negeri ini, Mei 1998 silam, memang kegerahan para investor yang sudah mengembangkan usaha dan bisnisnya di Indonesia amat terkait soal kenyamanan dan keamanan. Aset yang bernilai triliunan rupiah di negeri ini bagai tak terlindungi saat kekuatan massa hendak merebut atau merusaknya. Inilah biang persoalan yang selalu membuat para calon investor merasa was-was untuk menanamkan modalnya meskipun Indonesia pernah digemakan ke masyarakat dunia sebagai ‘negeri zamrud khatulistiwa yang indah dan penduduknya ramah-ramah pula.’ Keramahan itulah yang kini terasa kian mahal karena hari-hari kita seperti ditayangkan lewat TV dan halaman suratkabar banyak berlalu dengan unjuk-rasa dan huru-hara.
Oleh sebab itu, tahun lalu, Indonesia pernah ditempatkan di urutan ke 135 dari 179 negara di dunia sebagai negara tujuan investasi. Andaikan posisi ini tak berubah lebih baik lagi, apalah maknanya road show yang dilakukan oleh para birokrat kita ke mencanegara untuk menjajakan peluang dan daya tarik investasi di mancanegara itu? Ibarat seorang pedagang obat keliling yang menjajakan obat pembasmi penyakit panu sementara di sekujur tubuh penjual itu dipenuhi panu berbagai ukuran seperti Kepulauan Indonesia. He he….***

Fakhrunnas MA Jabbar adalah budayawan, tinggal di Pekanbaru.
Komentar : klik www.fakhrunnasjabbar.blogspot.com atau email: fakhrunnas_jabbar@aprilasia.com

No comments: