Tuesday, January 22, 2008

GURU

Dear All Lovely Readers,
Remember the teacher, remember to Omar Bakri of Iwan Fals song. There are many people were be sadly..but a bit people wanna do to grow up their welfare..

GURU, PAHLAWAN TANPA TANDA-TANDA?

SAYA termasuk orang paling sedih apabila ada sahabat atau orang lain memperkenalkan seseorang sebagai "ini bekas guru saya". Pasalnya, dalam soal guru, tak ada bekas guru apalagi guru bekas. Sebab, ilmu yang diajarkan guru sejak masa muda dulu selalu saja dibawa. dikembangkan dan diwariskan dari masa ke masa. Ilmu berhitung yang kita dapatkan dibangku SD dulu tetap saja menjadi titik pangkal yang menjadikan kita pintar menghitung secara matematik atau statistik. Ilmu aerodinamik yang dikembangkan seorang BJ Habibie tetap saja berpangkal pada hitungan dasar 1+1 didapatkannya lewat guru kampung yang diimajinasikan sebagai 'Oemar Bakri',
Persoalannya, sejak dulu hingga kini, nasib guru tak banyak berubah. Sindiran, cacian dan makian tetap ditujukan pada pemerintah sepanjang masa, namun keberadaan guru nyaris 'jalan di tempat'. Kita masih sering membaca di media bagaimana guru yang berprofesi mulia mencerdaskan kehidupan bangsa masih banyak yang bekerja menjadi tukang ojek, supir oplet, kernet angkot petugas cleaning service atau profesi di jalur 'grass root'. Meski sering kerja gambahan itu dapat menjatuhkan kewibawaannya sebagai orang yang terpandang di tengah masyarakat.
Tapi guru memang manusia biasa. Realitas hidup yang mesti dihadapinya untuk menyambung kehidupan keluarga, membuat dirinya harus mampu bertahan. Guru yang tak kuat memghadapi cobaan hidup dapat dipandang sebagai orang yang tak pantas gagal dalam hidupnya .Sebab, semua guru dalam pandangan publik nyatanya dianggap sebagai orang cerdas.
Dalam Puncak Nasional Hari Guru di Pekanbaru, belum lama berselang, yang dihadiri Presiden SBY, ribuan guru dari berbagai daerah di tanah air, boleh terhibur. Sebab, Presiden SBY juga memakai baju seragam guru denganm warna dan corak yang khas. Tapi setelah upacara usai, para guru yang sempat bertepuk ria bersama para petinggi negeri ini, selalu kembali ke habitatnya dengan rasa gundah gulana. Selalu ada kecemasan yang menyelubungi dirinya ketika menghadapi realitas hidup sehari-hari, mulai persoalan kekurangan uang belanja, uang sekolahanak-anak atau utang-piutang yang melilit pinggang. Siapakah yang peduli akan nasib mereka?
Di masa lalu, Presiden Soeharto yang berkuasa di masa Orde Baru selama 32 tahun sempat memberikan gelar kehormatan bagi para guru dengan sebutan 'Pahlawan Tanpa Tanda Jasa'. Gelar ini terkesan amat ironis dan memperlihatkan aroma kurang ikhlas. Bagaimana mungkin,.seorang yang dipandang berjasa tetapi tidak mendapatkan 'balasan' atas sumbangan dan pengorbanannya. Dalam dunia bisnis amat kental prinsip 'reward and punishment' yang selalu menjadi pagar dan morivasi bagi karyawan yang bekerja dengan menjunjung prestasi dan reputasi.
Profesi guru hari ini ternyata tak hanya sekadar 'Pahlawan Tanpa Tanda Jasa' tetapi lebih tersuruk lagi sebagai 'Pahlawan Tanpa Tanda-tanda' Profesi guru bagaikan kuburan massal yang tak bertanda apa-apa. Terasa ada tetapi tak jelas sosok bayangnya karena tenggelam dalam lindasan perputaran sejarah zaman.
Padahal, di negeri orang, profesi guru begitu mulianya dan ditempatkan istimewa bersama profesi-profesi lain. Kita masih ingat bagaimana apresiasi Kaisar Tenno Haika di Jepang,.saat bom atom di Nagasaki dan Hoiroshima dijatuhkan pihak sekutu pada Perang Dunia II, di saat genting masih mencoba bertanya berapa jumlah guru yang masih tersisa? Begitu pula di negeri jiran, Malaysia, profesi guru justru memperoleh pendapatan dan penghasilan yang tinggi sebagai apresiasi pemerintah terhadap tugas mulia guru.
Di Indonesia, nasib guru masih menimbulkan tanda tanya. Tak banyak kisah sukses para guru di negeri ini yang dapat memberi motivasi pada generasi berikutnya agar bercita-cta jadi guru. Akibatnya, profesi guru di negeri ini belum punya nilai jual yang tinggi. Anehnya, kebijakan pemerintah yang membuka-tutup-buka Fakultasd Keguruan dan Ilmu Pendidikan, makin memurukkan posisi guru.Banyak ironi yang muncul, satu sisi, kita mengalami kekurangan tenaga guru tapi di sisi lain para guru honor di desa-desa tak jelas status dan nasibnya.
Lantas, terjadilah pemandangan yang tak menarik pandangan mata: di mana-mana para guru berdemo, turun ke jalan untuk memperjuangkan nasib hidup mereka. Semakin lama demo berlangsung maka semakin berkurang pula penmghargaan puib;lik atas profesi guru yang semestinya dipandang mulia itu.
Guru yang miskin secara materialistis dipastikan akan berpengaruh pada kualitas keguruannya. Tak mungkin seorang guru yang masih bergulat memenuhi 'basic need'nya akan dapat membuat satuan acara pelajaran (SAP) sebagai bahan persiapan mengajar, pemenuhan syarat silabus dan penyiapan alat peraga dengan baik.
Akibatnya, guru tak lebih dari sebuah profesi yang serba bekekurangan dalam hidupnya. Jangan heran bila minat anak-anak muda menjadi guru terus menurun dari waktu ke waktu. Bila hal ini terus berlangsunmg lama maka niscaya di suatu saat nanti akan terjadi 'krisis guru'. Sulit dibayangkan apabila kaderisasi guru akan mengalami stagnasi.
Mari tenungkan lirik lagu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang terasa manis dikumandangkan, sejak dinyanyikan tapi sakit bila direfleksikan pada realitas hidup:

terpujilah wahai engkau, para guru kami
Dirgahayu Hari Guru.+++

No comments: