Tuesday, January 22, 2008

PAK PEJABAT, TAK ELOK BERTELAGAH

Dear Lovely Reader,
Everey day, we got an disharmony between our leader in the country. While, according to Stpehen R. Covey, the founder of 7th and 8th Habit, the leader should be a model of their people.

PAK PEJABAT, TAK ELOK BERTELAGAH

PEJABAT itu laksana gajah. Rakyat itu ibarat pelanduk. Kata pepatah bila gajah bertelagah, pelanduk pasti mati terjepit Inilah kiasan yang molek bagaimana situasi yang terjadi bila para pemimpin asyik bertelagah justru akan menimbulkan kebingungan di kalangan rakyat. Bila rakyat sudah bingung karena sulit mencari pemimpin panutannya maka situasinya ibarat : anak ayam kehilangan induk. Akibatnya, rakyat pun berkecai-kecai. Konflik horisontal dan vertikal pun tak bisa dihindari.
Pejabat publik di jajaran birokrasi pada hakikatnya adalah pemimpin. Ia ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah dari rakyat yang dipimpinnya. Oleh sebab itu, pejabat semestinya menjadi panutan pula bagi rakyat. Hal ini senapas dengan konsep ulil amril minkum dalam Islam yang menempatkan pemimpin sebagai sumber tauladan. Keteladanan itulah yang memberikan ketajaman aura kharisma yang terpancar dari dirinya
Apa pun gerak dan tindak para pejabat kita tentulah selalu menjadi sorotan rakyat atau publik yang dipimpinnya. Pantas bila rakyat mkenaruh harapan besar pada semua pejabat yang diberi kewenangan mengatur birokrasi pemerintahan. Sebab muara keberhasilan kepemimpinannya mestinya dinikmati oleh rakyat. Sebab, dana pembangunan yang dikelola oleh para birokrat memang berasal dari kekayaan sumberdaya alam yang sepenuhnya milik rakyat. Filosofi itu amat penting dijiwai oleh jajaran birokrat untuk menghindari munculnya kesombongan kekuasaan. Bahkan kekuasaan yang berada di tangan para birokrat tak lebih dari titipan sementara yang diamanatkan oleh rakyat melalui prosedur birokrasi dan konstitusional.
Mencermati perjalanan birokrasi kita di era reformasi yang ditandai banyak perubahan mendasar -kebebasan dalam arti luas, penyelenggaraan pemilihan umum dan kepala daerah secara langsung- makin membuka terjadinya pertelagahan antara para pejabat publik. Motifnya tak lain berebut soal kekuasaan dan kesempatan untuk memperlihatkan siapakah yang paling eksis. Bius kekuasaan memang sudah menjadi sesuatu yang dominan dalan kehidupan umat manusia. Oleh sebab itu, siapa pun akan mempertaruhkan segala daya dan upaya untuk meraihnya. Tak mustahil melalui cara-cara yang tak halal sekali pun sebagaimana pernah ditengarai oleh Machiavelli.
Inilah tak moleknya persaingan hidup sesama manusia. Kalau tak dahsyat, manalah ada ungkapan Latin : homo homini lupus (yang kuat memakan yang lemah) bak hukum rimba saja. Begitu pun, pepatah Arab menyebutkan : al insanun hayawanun natiqah (manusia itu tak lebih dari hewan yang berakal). Oleh sebab itu, jangan heran bila persaingan antar umat manusia sedekat apa pun hubungannya bisa berakhir dengan cara-cara yang sangat tidak terhormat. Tragedi pertelegahan para pejabat yang semula berada dalam satu tim untuk merebyut sebuah posisi jabatan, boleh jadi berakhir secara tragis.
Dalam filem lama, The Great Wall -informasi ini saya peroleh dari Pak Syarwan Hamid- dikisahkan bagaimana seorang Raja yang baru menduduki singgasana berkat dukungan para orang-orang dekatnya. Namun, ketika struktur kekuasaan disusun, ternyata Sang Raja membuat keputusan yang mencengangkan. Raja itu tiba-tiba berubah pikiran sehingga langsung memerintahkan agar orang-orang dekatnya sesama berjuang agar dibunuh. Alasannya? Justru orang-orang dekat yang sudah banyak tahu ‘rahasia’ kehidupan dan perjuangan Sang Raja, suatu saat akan menjadi orang pertama yang akan menggulingkan atau membuka borok-boroknya.
Pertelagahan yang terjadi di antara pejabat publik penting kita memang bisa bermula dari hal-hal kecil belaka. Tapi yang pasti, dalam kekuasaan melalui sistem parpol di negeri kita, persaingan mengibarkan bendera parpol masing-masing tak dapat disembunyikan. Sebutlah SBY yang bernaung di bawah bendera Partai Demokrat dan JK di bawah Partai Golkar, amat sulit dipastikan apakah masih berduet dalam menghadapi Pemilu 2009 mendatang? Kekuatan parpol yang sangat ditentukan oleh konstituen parpol masing-masing tak mungkin bisa dihadapi oleh sosok seorang pimpinan tertinggi parpol. Itulah namanya suara rakyat.
Terlepas dari latar apa pun soal terjadinya pertelegahan itu, namun yang pasti dibingungkan adalah rakyat. Sebab, sudah sangat lama rakyat menantikan perubahan-perubahan mendasar terkait peningkatan kesejahteraan. Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan negara menjamin kesejehteraan rakyat, kian terasa hanya sebagai lips service yang tak kering-keringnya diulang-ulang. Angka kemiskinan yang tak menurun secara signifikan menunjukkan secara nyata hasil-hasil pembangunan yang terus dilaksanakan menggunakan uang rakyat melalui APBN dan APBD, belum sepenuhnya menyentuh kepentingan rakyat. Banyak janji dan harapan sudah ditebar dalam rangkaian kampanye dan pidato-pidato kenegaraan dan pemerintahan di segala jenjang kekuasaan secara bertikal dan horisontal, namun kata-kata ‘makmur dan sejahtera’ bagaikan kata-kata hambar yang tak bermakna.
Oleh sebab itu, di tengah penantian panjang rakyat akan menikmati hidup yang lebih sejahtera, justru para pejabat yang mestinya bersatu-padu dalam memikirkan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat, malah bercekau pula sesamanya. Analogi ini bagaikan membangun istana pasir di tepi pantai. Sekali ombak menyibak, hancur leburlah istana pasir itu. Ombak garang memang terlalu banyak di negeri kita sehingga gerak pembangunan itu menjadi tidak efektif karena dikhianati oleh orang-orang yang berada sebarisan dalam kekuasaan yang sedang berjalan.
Pertelagahan dalam sejarah hidup umat manusia memang sudah berumur lama. Kisah Habil dan Qabil yang akhirnya saling berbunuhan hanya karena memperebutkan seorang perempuan yang bakal dijadikan isteri, memperlihatkan persaingan sudah menjadi fitrah alamiah. Tinggal, bagaimana membuat keseimbangan dalam menghadapi persaingan itu agar berjalan secara fair. Persoalannya persaingan yang muncul dalam banyak kasus di negeri kita justru sarat oleh motif-motif yang bersifat pribadi. Bahkan ada rasa sakit hati seseorang terhadap kesuksesan orang lain hanya karena rasa sinis dan prasangka buruk belaka (apriori).
Apriori? Cara-cara ini memang sangat tidak obyektif dan sangat dikendalikan oleh nafsu syaithaniyah belaka. Peristiwa kecil yang diwarnai oleh sikap apriori dapat terjadi dalam kisah berikut: Dalam sebuah pertandingan sepakbola di kampung, Ahmad, penyerang handal kesebelasan kampung tuan rumah berusaha memperlihatkan kehebatannya. Meski belum berhasil menggolkan gawang lawan, Ahmad terus mendapat teriakan dan dukungan penonton. Tapi di antara penonton itu terdapat Basrul, yang sejak awal permainan mencemooh diri Ahmad, dengan sangat sinis. Bila Ahmad tak berhasil menendang bola dengan baik, Basrul langsung berkomentar. “Suailah…rambut aja kribo,,hidung pesek..mana bisa menendang dengan baik..!” teriak Basrul. Apa hubungan rambut kribo dan hidung pesek dengan kepiawaian menendang bola? Bukan itu persoalannya. Ternyata Basrul sudah apriori sejak lama karena Masni, isteri Ahmad dulunya adalah kekasih Basrul. Masih apriori lagi? ***

No comments: