Tuesday, January 22, 2008

DONGENG RAKYAT

Dear Lovely Reader,
Once more, the biggest hope for our legislative member...
KOLOM

DONGENG RAKYAT
Oleh Fakhrunnas MA Jabbar


Di Kerajaan Barantaka hiduplah ribuan rakyat di bawah kepemimpinan seorang raja yang suka berkuasa sewenang-wenang. Merasa diperlakukan tidak adil, maka pemuka-pemuka rakyat berhimpun dan akhirnya membentuk lembaga Rakjat Jelata (Raje) yang bertugas menyalurkan aspirasi dan perjuangan rakyat. Padamulanya Sang Raja tidak menerima kehadiran lembaga tersebut, namun setelah adanya masukan-masukan dari para stafnya, keberadaan lembaga tersebut diakui juga. Mulanya, Laraje sangat kritis dan tajam dalam menyikapi kebijakan-kebijakan kerajaan. Beberapa tahun kemudian, Laraje mulai kehilangan taring setelah raja menemukan ‘formula baru’ dengan memberikan fasilitas dan kemudahan bagi petinggi dan anggota BPR.
Selain itu, Raja pun membuat tradisi baru dengan menghadiahkan minuman khas organik bagi semua anggota Laraje yang katanya berfungsi meningkatkan stamina tubuh dan vitalitas kerja. Minuman khas itu sengaja diciptakan oleh Kepala Tabib Kerajaan yang sangat piawai. Bertahun-tahun hal itu berlangsung sehingga semua anggota Laraje benar-benar tersugesti dan memperlihatkan stamina tubuh yang luar biasa. Ajaib, semenjak tradisi baru itu berlangsung, para anggota Laraje memang semakin kehilangan sikap kritisnya.
Rakyat mencium adanya kolusi terselubung antara raja dengan Laraje sehingga terjadilah unjuk-rasa rakyat secara besar-besaran. Unjuk rasa yang berujung pada amuk massa itu menguasai dan merusakkan Istana Raja dan gedung perkantoran termasuk gedung Laraje. Sebagian anggota Laraje ada yang tewas terinjak-injak namun masih ada pula yang melarikan diri. Kemarahan dahsyat rakyat itu telah menumbuhkan sifat kanibalis dalam diri mereka sehingga tubuh anggota Laraje yang mati itu dirobek untuk mengambil bagian hatinya. Alangkah terkejutnya merka ketika akan mengunyahnya, hati itu begitu keras sekali Hampir semua hati para anggota Laraje benar-benar mengeras bak batu.
Usai amuk-massa itu, pergunjingan pun berkembang di seluruh keajaan soal ‘hati batu’ para anggota Laraje. Ketika kasus ini ditanyakan pada Kepala Tabib Kerajaan, diperoleh jawaban yang menggelikan. “Tepat sekali., hati yang membantu itu memang disebabkan minuman hasil ramuan khas yang bertahun-tahun diminum oleh para anggota Laraje. Raja menginginkan agar mereka benar-benar kebal perasaan…” kata Kepala Tabib Kerajaan.
Seluruh rakyat di Kerajaan Barantaka itu benar-benar tersulut marah kembali setelah menyadari betapa para anggota Laraje sudah kehilangan sensitivitas atas setiap kebijakan yang dibuat Raja. Kepercayaan yang semula begitu penuh diberikan kepada perwakilan mereka serta-merta dicabut secara sepihak. Laraje pun dibubarkan dan tak diakui lagi.
Dongeng rakyat ini boleh terjadi di mana dan kapan saja. Wakil rakyat yang dipilih secara demokratis-langsung semestinya benar-benar mengemban amanah rakyat yang diwakilinya agar selalu mendapat dukungan dan simpati. Apabila amanah itu telah dilencengkan, niscara dukungan itu akan tercabut sendiri dan mereka tak akan dihargai lagi.
Ramai-ramai soal PP 37/ 2006 yang terlalu berpihak pada kepentingan para wakil rakyat di negeri ini mencerminkan kekurang-arifan baik pihak eksekutif maupun legislatif. PP tersebut jelas merupakan produk pemerintah dan manfaatnya bagi para wakil rakyat. Secara kasat-mata, semua orang bisa melihat adanya upaya ‘main mata’ atau kolaborasi antara kedua pihak agar tidak saling mengkritisi. Padahal, pemerintah tahu persis banyak kejanggalan atau kekurang-patutan atas diterbitkannya PP tersebut. Misalnya, pemberian rapel tunjangan protokoler dan komunikasi sebagai konsekuensi berlaku surutnya PP. Ini tak lazim dilakukan untuk urusan begini. Belum lagi, tudingan banyak pihak, PP tersebut seolah-olah melegalkan tindakan korups bagi kalangan legislatif di tengah suasana negeri ini ingin berbenah diri dan ‘bersih-bersih’ dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Lebih dari itu, PP tersebut muncul ketika rakyat kecil sedang merintih menahan perih atas derita kehidupan yang kian susah.
Akibatnya, reaksi rakyat atas ‘pesta pora’ para wakil rakyat di daerah itu begitu sangat negatif. Tudingan pada wakil rakyat pun tak tanggung-tanggung sebagai tindakan ‘melukai hati rakyat’ seperti diungkapkan Ketua Perhimpunan Masyarakat Madani, Ismet Hasan Putro. Selain itu, tak sedikit pula rakyat yang mencaci-maki para wakilnya sebagai ‘sudah kebal perasaan’ atau ‘mengidap penyakit mati rasa’. Tak cukup kata-kata untuk melukiskan kekecewaan rakyat atas perolehan rezeki nomplok bagi para wakil rakyat yang rata-rata bisa memperoleh Rp. 60 juta – 200 juta. Bila dijumlahkan seluruhnyabisa mencapai Rp. 14 triliun. Suatu jumlah yang tak sedikit bila dibandingkan kebutuhan dana untuk pembangunan negeri yang kian porak-poranda ini.
Syukurlah, pemerintah akhirnya menyadari reaksi keras rakyat atas pemberlakuan PP 37/2006 yang kontroversial itu. Revisi pun dilakukan secara seksama. Belum jelas hasil revisi itu dibuat, rakyat pun dikejutkan oleh reaksi balik para wakil rakyat melalui sejumlah institusi perwakilan mereka dengan berunjuk-rasa mendatangi Pimpinan MPR/ DPR RI untuk mengadukan keluh-kesah mereka. Susana ini benar-benar terasa kontras di tengah sebagian besar rakyat yang tinggal di ibukota Jakarta sedang menghadapi musibah banjir atau membenahi harta-benda mereka pasca-banjir. Pertanyaan mendasar yang muncul kemudian di dalam setiap hati rakyat kecil tak lain: bagaimanakah detak suara hati-nurani sesungguhnya?
Wakil rakyat di negeri ini sejak dulu ditempatkan pada posisi yang sangat mulia dan terhormat. Perhatikan saja dalam setiap pertemuan atau perjumpaan, rakyat akan menyebut sapaan lembut dan penuh kepercayaan : ‘para wakil rakyat yang terhormat’. Penekanan kata ‘terhormat’ itu menunjukkan adanya titipan amanah dari rakyat yang diwakili agar bnar-benar bisa mengemban kepercayaan sesuai dengan hati nurani rakyat. Bincang-bincang soal kata ‘terhormat’ ini mengingatkan saya pada sebuah cerpen ‘Bapak Wakil Rakyat Yth di Jakarta’ karya sastrawan Hamid Jabbar (Alm). Saya beruntung sekali bertemu Hamid dan menjelaskan maksud cerpen itu. “Saya hanya ingin memperjelas ahwa Bapak-bapak Wakil Rakyat itu hanya terhormat di Jakarta saja. Di luar daerah itu, entahlah…” ucap Hamid sambil terbahak-bahak. Entah serius, entah main-main…Mana kutahu!.****

No comments: