Monday, February 16, 2009

CHILDREN

Dear Reader,
How is imprtant the children for you?
Many tragedy about the children in our country


PRIA bertubuh tegap itu tiba-tiba mengayunkan pisau ke leher bocah lelaki berusia 15 bulan. Kepalanya langsung terpenggal dan bercucuran darah. Peristiwa naas itu disaksikan langsung oleh ibu korban. Penyebabnya berawal dari pertengkaran antara keluarga yang mencapai puncaknya di supermarket. Pemenggal sadis itu tak lain adalah paman bocah tak berdosa. Ini terjadi di negara Suriah seperti diberitakan Arab News 4 Maret lalu.
Lagi-lagi anak yang jadi korban pelampiasan dendam dan kekerasan sepanjang waktu. Tak terhitung, berapa juta jiwa anak-anak di dunia yang mengalami nasib tragis baik akibat kekerasan dalam rumah tangga maupun peristiwa kriminal dan peperangan yang tak pernah henti. Anak-anak sering pula dijadikan sandera untuk meloloskan hajat seseorang.
Ihwal keberadaan anak dalam kehidupan ini, sudah disinggung oleh Kahlil Gibran lewat sebuah puisi yang sebagian liriknya berbunyi begini: anakmu bukanlah anakmu/ mereka adalah putra-putri kehidupan... Pada hakikatnya, anak memang milik Allah Yang Maha Kuasa. Orangtua hanyalah tempat titipan belaka. Numpang lewat belaka. Makanya anak selalu dipandang sebagai amanah Allah. Bahkan Kahlil Gibran dalam puisi yang sama menegaskan: kau bisa ambil raganya, tapi bukan jiwanya...
Namun, dalam kehidupan ini, anak yang begitu didambakan secara tiba-tiba bisa saja berubah jadi musuh bagi sebagaian orang tua. Masih ingat, tiga dasawarsa silam, bagaimana seorang anak bernama Ari Hanggara yang mati disiksa ayah kandungnya sendiri. Memang sejak itulah keberadaan anak yang terlahir dari darah-daging ayah dan ibunya dirasakan semakin tidak nyaman lagi. Anak-anak di mana-mana semakin sering menjadi obyek pelampiasan kekerasan dari orangtuanya sendiri.
Belum lagi, mitos ibu tiri yang makin menyudutkan keberadaan anak di tengah keluarga. Dalam banyak cerita fiksi dan kejadian nyata, ibu tiri selalu dilukiskan sebagai penyiksa bagi anak yang terlahir bukan dari rahimnya. Tapi, anak memang sewaktu-waktu dapat menjadi obyek pelampiasan kemarahan dan sakit hati salah seorng dari ayah atau ibu atau pula kedua-duanya sekaligus.
Seorang anak yang dilahirkan suci dan tanpa dosa bagaikn sepotong kertas putih tanpa bercak sedikit pun, semestinya diberikan hak dasarnya untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan dasar (basic need) yang paling asasi. Boleh jadi, anak terlahir ke muka bumi ini bukan kehendak dirinyamelainkan akibat tindak perbuatan kedua orangtuanya. Tapi misteri agung di balik kelahiran seorang anak sebenarnya tak lain berupa jalan takdir dari Allah yang tak seorang pun dapat membantahnya.
Anak-anak yang lahir tiap detik sepanjang waktu dari sebuah proses legal maupun illegal merupakan jalan fitrah yang sudah sepantasnya. Ayah dan bunya harus bertanggungjawab terhadap eksistensi anak tersebut hingga menjangkau masa depannya yang terbaik. Tapi tak semua anak bernasib baik menjalani takdirnya. Betapa banyak anak yang hidup terlantar sehingga jadi anak jalanan akibat tidak adanya rasa tanggungjawab kedua orangtuanya. Bahkan banyak pula anak yang sengaja dieksploitai oleh orangtuanya untuk mendapatkan keuntungan secara mudah.
Di sisi lain, anak-anak selalu merasa terancam hidupnya di tengah ergulatan hidup yang tak menentu. Kasus peperanganyang terjadi di banyak penjuru dunia telah membuat jutaan anak-anak menjadi terlantar, terluka bahkan meregang nyawa tanpa rencana. Banyak pula anak-anak yang menjadi korban kekerasan di dalam rumah tangga yang diperankan oleh orang-oran yang terdekat di dalam hidupnya mulai dari ayah, ibu, saudara-saudara hingga paman dan bibinya.
Hasil penelitian para dosen sebuah perguruan tinggi terhadap susu bubuk dan makanan bayi yang diduga mengandung bakteri, memperlihakan begitu lemahnya perlindungan pada anak-anak dalam banyak aspek. Oleh sebab itu, keberadaan Undang-undang Perlndungan Anak yang ditindaklanjuti dengan terbentuknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di segala jenjang struktural, dapat disikapi secara bijak. Betapa selama ini, anak-anak kurang mendapatkan perlindungan yang sepantasnya sehingga terlalu banyak hak-hak dasar mereka terabaikan di tengah carut-marut kehidupan.
Anak-anak memang terbilang makhluk yang serba salah karena selalu menjadi obyek dari ketidakberesan keadaan atau sistem. Ketika mereka diperlakukan secara tidak wajar oleh pihak eksternal, tentu masih ada kedua orangtuanya yang akan membela. Tapi, andaikan yang memperlakukan mereka itu tak lain orangtua kandung mereka sendiri, lantas mereka akan berlindung ke mana? Sudah terlalu banyak kisah tragis seperti kasus Ari Hanggara beberapa dasawarsa silam yang terus berlanjut hingga sekarang. Makanya, kekuatan nyali UU Perlindungan Anak benar-benar menjadi suluh bagi menerangi kasus-kasus tersembunyi terkait dengan kekerasan terhadap anak di rumah-rumah dan sekolah-sekolah.
Apa jadinya bila orang yang semestinya melindungi mereka tetapi justru menjadi pelaku kejahatan terhadap anak-anak itu sendiri. Perlakuan kasar yang dilakukan para orangtua dan guru-guru di sekolah baik sengaja atau tidak sengaja, harus menjadi renungan bersama. Ternyata masih ada monster menakutkan yang mengelilingi anak-anak di tempat-tempat yang semestinya akrab bagi kehidupan mereka.
Perlindungan terhadap anak memang hanya bisa dimulai dari rumah tangga. Oleh sebab itu, bila sepadang calon suami isteri ingin memulai sebuah kehidupan rumah tangga, hendaklah disadari buat apa rumah tangga itu dibangun dan bagaimana keberadaan anak kandung mereka bila terlahir kelak. Banyak pasangan muda suami isteri yang tidak faham bagaimana memelihara anak terutama di usia bayi dan bocah balita.
Seperti pernah terjadi di Kalimantan Selatan dua dasawarsa silam, seorang ayah muda teganya membanting bayi kandungnya sendiri hanya gara-gara si bayi menangis lama. Sementara si ayah masih dipengaruhi alkohol yang diminumnya setelah begadang semalam suntuk. Masih banyak lagi kisah tragis lain yang terkait perlakuan tak wajar pada anak-anak yang tak berdosa.
Berbahagialah anak-anak yang berada di bawah sentuhan lembut kasih sayang orangtua. Tapi seberapa banyak pula anak-anak malang yang terpaksa dibuang ke dalam kardus karena orangtuanya tidak menghendaki kelahirannya atau dianggap hanya mempersulit kehidupannya. Terkutuklah orangtua yang menyia-nyiakan anak kandungnya hanya atas alasan kebencian atau menganggap anak dipandang membawa sial bagi kehidupannya. ***

No comments: