Wednesday, February 11, 2009

PHK, PULP AND ILLEGAL LOGGING ISSUE

SUDAH hampir dua tahun, isu illegal logging (illog) di Provinsi Riau bergulir tanpa ujung yang pasti. Proses hukum yang ditimpakan pada oknum-oknum pelaku mulai dari jajaran pejabat publik hingga pelaku industri kehutanan masih terus berjalan. Tim Penanggulangan Kasus Illog Riau yang dikoordinir oleh Menkopolhukkam dengan melibatkan belasan pejabat setingkat Menteri telah membuat simpulan-simpulan akhir. Namun, keputusan itu terkesan mandul sehingga tak bisa dilaksanakan sama sekali. Bahkan, , industri kehutanan khususnya pulp dan kertas di Provinsi Riau tetap saja mengalami stagnasi.
Kasus illog di Riau bagaikan banjir bandang yang muncul secara tiba-tiba, menyapu bersih tatananan proses izin kehutanan yang berlaku selama ini. Bagaimana mungkin, dokumen perizinan yang diterbitkan oleh instutusi resmi baik Departemen maupun Dinas Kehutanan pada level berjenjang dicurigai tidak punya asas legalitas setelah puluhan tahun berproses sesuai prosedur dan perundang-unadangan yang berlaku.
Bila memang ditemukan hal-hal yang janggal atas proses dan prosedur perizinan kehutanan selama ini, kenapa tidak dilakukan saja audit nasional atas semua perizinan industri kehutanan di Indonesia. Apalagi, wilayah yang berpotensi memiliki kawasan hutan dan peluang pemanfaatan hasil hutanan itu tidak hanya ada di Provinsi Riau. Sejumlah provinsi di Indonesia sampai saat ini masih memiliki pitensi hutan yang luar biasa sebutlah Jambi, Kalimantan dan Papua.
Jangan-jangan sebetulnya sorotan atas legalitas perizinan kehutanan yang diterbitkan selama ini di Provinsi Riau lebih bersifat kelemahan administratif belaka. Oleh sebab itu, kesalahan adnministratif semestinya didekati dengan tindkan atau sanksi-sanksi administartif pula.

Pendekatan holistik.
Pandangan holistik tentang pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam termasuk hutan bertolak pada amanah Allah bahwa alam hendfaklah dipelihara dan dapat digunakan untuk kesdejahteraan umat manusia. Oleh sebab itu, pihak pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengelola kekayaan sumberdaya hutan tersebut. Pengaturan wilayah melalui konsep Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang dijabarkan lagi melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) memungkinkan adanya kawasan hutan dengan peruntukannya masing-masing seperti Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Kawasan Konesrvasi dan sebagainya.
Industri kehutanan yang dikembangkan di Indonesia termasuk Provinsi Riau sengaja diundang untuk berinvestasi dengan segala kemudahan yang ditawarkan. Munculnya industri pulp dan kertas yang diawali berdirinya PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) lebih seperempat abad silam yang diikuti sepuluh tahun kemudian oleh industri PT Riau Andalan Pulp And Paper (RAPP) merupakan perwujudan sinergitas antara kebijakah Pemerintah Provinsi Riau dengan para investor.
Apalagi di masa itu, revolusi pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit (palm oil) memang sangat luar biasa. Sisa-sisa tumbangan kayu hasil land clearing yang cenderung hanya dibakar –pada waktu itu- seolah-oleh mendapat solusi dengan dimanfaatkan oleh industri pulp yang menggunakan bahan baku serpih berukuran kecil. Anehnya, wacana publik yang berkembang kemudian dikesankan seolah-olah industri pulp ‘rakus kayu’ karena pemanfaatan kayu-katyu berdiameter di atas 6 cm. Ini fakta yang pincang bagaimana sebenarnya industri pulp ikut menyelamatkan sisa-sisa tebangan land clearing yang biasanya dibakar namun ternyata bisa berbnilai produktif sebagai sumber bahan baku sementara.

Stagnasi perizinan.
Pembangunan pabrik pulp dan kertas dengan invetsasi triliunan rupiah tentu dimaksudkan dalam jangka waktu panjang. Apalagi retun of investment-nya butuh waktu lama dengan segala risiko bisnis termasuk aspek keamanan dan jaminan hukum dan perizinan. Salah satu dukungan yang diharapkan investor tentu saja terkait konsesi lahan sebagai sumber bahan baku jangka panjang.
Memang benar, industri pulp dan kertas di Riau mendapatkan konsesi kawasan HTI yang bersumber dari kawasan hutan alam sisa –bekas pemanfaatan HPH yang dikonversi menjadi kawasan IUPHHKT dengan tetap mempertimbangkan kawasan konservasi (biodiversity, satwa, green belt dll). Al hasil, konsesi HTI kepunyaan RAPP, misalnya, hanya bisa dikelola untuk kawasan tanaman akasia sekitar 50 persen lebih. Oleh sebab itu, pihak perusahaan harus bekerja keras membina hubungan kemitraan dengan perusahaan HTI mitra agar dapat memenuhi kekurangan lahan yang ada bagi keperluan HTI tersebut.
Dalam proses mendapatkan izin-izin kawasan HTI mitra inilah, proses legalitas perizinan itu digelindingkan yang mencuat ke permukaan dengan isu illog. Banyak orang yang tidak memahami esensi persoalannnya namun ikut berbicara dengan menuding sana-menuding sini. Padhal, Rasulullah sudah mengingatkan pentingnya arti profesionalisme dengan menyebutkan ‘serahkanlah segala sesuatu pada ahlinya, kalau tidak ya tunggulah kehancurannya.’
Persoalannya sangat ironis, bagaimana mungkin seseorang yang sudah mendapatkan kegalitas izin dari institusi terkait dengan konsekuensi membayar DR/ PSDH (Dana Reboisasi/ Provisi Sumberdaya Hutan), tiba-tiba dinyatakan bertindak illegal. Semestinya, pisau bedah yang digunakan melaljui pendekatan administratif sehingga nama baik pemerintahan tidak dicoreng sedemikian rupa. Akibatnya? Ketakutan nasional di kalangan para pejabat publik yang menerbitkan izin benar-benar mewabah. Stagnasi perizinan pun tak dapat dielakkan lagi yang berdampak pada gangguan iklim investasi.



Sumber Bahan Baku Lestari
Stagnasi perizinan bagi industri pulp dan kertas di Privinsi Riau ternyata mempunyai implikasi luas. Rencana penanaman HTI yang sudah diatur sejak awal berdiri PT RAPP tiba-tiba mengalami gangguan. Padahal, RAPP sudah memiliki kawasan HTI seluas 230 ribu hektare yang ditanam sejak tahun 1992 silam. Bahkan, sebagian sumber bahan baku perusahaan pulp dan kertas itu bersumber dari tanaman akasia dikawasan HTI tersebut.
Melalui research and development (R&D) bagian forestry, setiap tahun dijadwalkan daopat ditanam akasia seluas 50 ribu hektare. Sebenarnya, pola dan perencanaan penanaman akasia seperti ini memberikan kepastian sumber bahan baku bagi RAPP dalam jangka panjang sehingga target pemenuhan bahan baku sepenuhnya dari akasia –bila segalanya berjalan normal- dapat dicapai tahun 2010 mendatang. Namun, apa daya, stagnasi perizinan RKT pemanfaatan sisa kayu alam land clearing telah mengganggu jadwal penanaman sejak dua tahun terakhir. Kepastian hukum bagi dunia industri lagi-lagi menjadi mimpi buruk.
Ketika Krisis Global menghantam seluruh negara-negara dunia termasuk Indonesia, hampir tidak ada dunia industri yang dapat lolos dari kepungan krisis yang luar biasa itu. PT RAPP bagaikan sudah ditimpa tangga dua kali sehingga bebannya terasa kian berat.
Sumber bahan baku sementara dari sisa hutan alam land clearing tidak dapat mendukung sumber bahan baku pabrik dalam jangka panjang terus menggerus ketersediaan sumber bahan baku akasia. Akibatnya, seperti dtuturkan Dirut PT RAPP, Rudi Fajar, tanaman akasia yang dijadwalkan baru bisa dipanen dalam usia 7 tahun ternyata terpaksa dipanen lebih dini yakni saat uainya masih 4-5 tahun. Kualitas serat kayu yang dihasilkannya tidak memadai sehingga berakibat boros sumber bahan baku.

Tergantung RKT
Pertanyaan publik ketika RAPP menyatakan kekurangan bahan baku justru amat beragam. Sebagian besar menuding industri pulp dan kertas tersebut tidak mempunyai perencanaan pemenuhan bahan baku jangka panjang. Padahal, bagaimana mungkin perencanaan ini dapat dipenuhi oleh hambatan-hambatan proses penanaman HTI baru sangat tergantung pada proses izin RKT yang mengalami stagnasi sejak dua tahun terakhir.
Perencanaan produksi sejak awal juga sudah disesuaikan dengan kemampuan mesin pulp dengan kapasitas prloduksi terpasang yang disejajarkan dengan target pemenuhan sumber bahan baku. Tentu saja, tidak ada hal yang salah dalam perencanaan produksi, kemampuan mesin dan kapasitas produksi terbatas yang sudah disusun sejak awal berdirinya pabrik.
Proses produksi pabrik pulp dan kertas yang melambat akibat keterbatasan bahan baku sudah pasti akan menurunkan angka produksi. Asas efisiensi pun tetap berlaku agar tidak terjadi pemborosan modal. Ketika produksi pulp RAPP sudah menyentuh angka 40 persen sementara biaya produksi dengan segala over head cost-nya tetap, tak ada jalan harus disikapi dengan tindakan rasionalisasi. Bisa dimaklumi bila Manajemen RAPP melakukan tindakan PHK dan proses perumahan karyawan dengan harapan situasi krisis bahan baku dan krisis global dapat segera diatasi.

Benarkah Aset Daerah?
Dengar Pendapat Manajemen PT RAPP dengan Komisi B dan D DPRD Riau beberapa waktu silam diharapkan dapat menemukan solusi atas stagnasi perizinan, keterbatasan sumber bahan baku dan penurunan angka produksi pulp yang dapat menggerus modal.
Bila industri pulp dan kertas sebesar PT RAPP dipandang sebagai asset daerah yang ikut menyumbangkan kesempatan peluang kerja dan usaha serta sumber devisa bagi Negara dan daerah maka keberadaan semua industri di daerah ini perlu dijaga dan dipertahankan.
Negara sekuat AS pun tetap saja memberikan perlindungan pada sejumlah industri strategis yang kini ‘terduduk’ diterpa badai krisis global. Bahkan bantuan kucuran dana dari pihak pemerintah AS pun menjadi keniscayaan karena implikasi luas akibat tindakan PHK besar-besaran yang dilakukan sejumlah perusahaan raksasa tersebut seperti General Motor, Ford dan Chrysler.
Bagi RAPP, wujud bantuan dari pemerintah lebih diarahkan pada proses perizinan yang sangat menentukan kelangsungan pabrik yang telah dibangun dengan nilai investasi yang sangat besar. Apalagi, implikasi sosial ditutupnya pabrik pulp dan kertas bagi daerah sekitarnya dapat menimbulkan traumtik jangka panjang bagi masyarakat.
Lihat saja, pengurangan daya listrik bagi Kota Pangkalan Kerinci yang bersumber dari daya listrik PT RAPP selama ini dipastikan akan menjadi ibukota Kabupaten Pelalawan itu menjadi gelap gulita. Padahal, sumber listrik kota berasal dari turbin listrik yang terintegrasi dengan mesin pulp dan kertas yang ada. Artinya, sepanjang mesin pulp dan kertas masih bisa berfungsi maka aliran listrik pun masih dapat bekerja. Apalagi, sumber bahan bakar listrik bersumber dari kulit kayu (barking) yang dibakar untuk menghasilkan energi.
Sebenatrnya perencanaan sumber bahan baku lestari RAPP sudah dipersiapkan terjadwal dengan target pemenuhan sumber bahan baku dari HTI keseluruhan pada tahun 2010. Namun, stagnasi perizinan yang terjadi sejak dua tahun terakhir telah berakibat semakin sulitnya pencapaian target dimaksud sehingga perlu re-schedule lagi. Kemampuan RAPP dalam melakukan penanaman akasia dengan segala variestas unggul lainnya tak perlu diragukan.
Perusahaan hanya butuh penciptaan iklim kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya indsurti pulp dan kertas yang prospektif. Sebab, Indonesia termasuk ‘rising star’ bagi industri pulp dunia setelah berabad-abad didominasi oleh Negara AS dan Eropa. Bayangkan saja, AS saat ini mempunyai produksi pulp mencapai 56 juta ton per tahun sementara Indonesia baru sebesar 6 juta ton pulp. ***

No comments: