Monday, February 16, 2009

DEMOCRACY IS EXPENSIVE THING IN OUR COUNTRY

Dear All,
A politician is death. Many people kill him. Democracy is blooding...
I am really sad..

BERHATI-HATILAH menilai kinerja para anggota legislatif kini. Kritik dan sindiran tajam yang dilontarkan banyak pihak selama ini tiba-tiba menjadi arus balik. Kasus kematian tragis Abdul Aziz Angkat, Ketua DPRD Sumut setelah dianiaya para pengunjuk rasa dari kelompok perjuangan Provinsi Tapanuli, 4 Februari 2009, telah menumbuhkan kesadaran baru.
Seharusnya para wakil rakyat kita perlu mendapat perlindungan keamanan. Kalau perlu mereka juga diasuransikan agar saat terjadi penganiayaan atau perlakuan kelompok-kelompok yang menyerangnya dengan risiko yang tak bisa diduga.
Menjadi wakil rakyat di era reformasi memang perlu banyak perhitungan dan pertimbangan. Sudahlah perjuangannya untuk menempati posisi terhormat itu memerlukan pengorbanan dana, tenaga dan pikiran yang cukup besar ditambah pula bila sudah duduk di singgasana kekuasaan harus benar-benar ‘bersih’. Wakil rakyat harus bisa jadi cermin panutan di mata rakyat yang berharap banyak pada pengabdian dan pemikirannya. Rakyat sudah terlalu lama menderita meski negeri ini sudah merdeka lebih dari setengah abad.
Para oknum wakil rakyat yang tersandung kasus hukum dan criminal itu cukup banyak. Puluhan anggota legislatif mulai dari jenjang DPR RI hingga DPRD Kabupaten/ Kota harus berurusan dengan hukum dan masuk bui. Sebutlah sejumlah nama yang terlibat dalam kasus gratifikasi, pemerasan atau korupsi dalam kasus BLBI, Pelabuhan Bintan (Kepulauan Riau) dan Tanjung Api-api (Sumsel) proyek pengadalan kapal Departemen Perhubungan dan masih banyak lagi.
Perkembangan demokrasi di negeri ini terkait keberadaan para wakil rakyat bukan lagi sekadar arus balik. Tapi sudah jadi arus bolak-balik. Dulu, di masa Orde Baru para sebagian wakil rakyat dipandang sebagai orang pilihan yang tahunya hanya 5 D (datang, duduk, dengar, diam dan duit). Kemudian di era reformasi, wakil rakyat kita berupaya memperbaiki citra seiring makin kuatnya pengawasan baik formal maupun formal dari pihak eksternal.
Rakyat mulai optimis dan menaruh harapan lebih agar proses legislasi (pengadaan undang-undang) bisa lebih obyektif, tanpa intrik dan gratifikasi. Sebab, dulunya di masa Orde Baru, sudah jamak diketahui publik, untuk sebuah undang-undang, oknum-oknum anggota dewan itu melakukan ’tawar-menawar’ dengan pihak eksekutif yang berkepentingan.
Barangkali, belum hilang dari kenangan, di masa Menaker Abdul Latief dulu –sekitar tahun 1980-an- saat membahas dan mengesahkan UU Ketenagakerjaan, sebagian besar panitia kerja yang tak lain para wakil rakyat itu justru diajak ‘studi banding’ di Singapura. Pembahasan undang-undang tersebut sampai-sampai dilakukan di sana. Mereka dilayani bak raja sehingga undang-undang yang dihasilkan ditengarai sesuai dengan apa yang sudah direncanakan.
Melahirkan sebuah Undang-undang di negeri ini menjadi barang mahal. Sebab, selain adanya kemungkinan ‘main mata’ antara pihak legislatif dengan eksekutif juga ditengarai adanya kepentingan pihak ketiga yang terkait dengan undang-undang tersebut. Boleh jadi institusi pemerintah sendiri, organisasi, badan hukum atau pihak lainnya. Lihat saja, UU tentang Mahkamah Agung (MA) yang akhirnya meloloskan batas usia maksimum Hakim Agung yang disetujui menjadi 70 tahun.
Belum lagi, ‘negosiasi’ yang bisa terjadi dalam hal penetapan struktur badan atau institusi yang menjadi kewenangan pihak DPR RI. Uji kelayakan (fit and proper test) kadangkala bisa pula menjadi ajang tawar-menawar sebagaimana terjadi dalam kasus fit and proper test direksi Bank Indonesia. Mantan Anggota DPR, Agus Condro mengaku pihaknya bersama sejumlah anggota legislatif yang lain menerima aliran dana Rp. 500 juta dari kandidat –waktu itu- Miranda Goeltom.
Kematian tragis Abdul Aziz Angkat –Ketua DPRD Sumut- saat terjadinya unjuk rasa besar-besaran oleh massa pendukung Provinsi Tapanuli memang mengejutkan semua orang. Ternyata menjadi anggota legislatif itu bukannya tanpa risiko. Begitu pula memperjuangkan sesuatu yang mulia seperti pemekaran wilayah mestilah dilakukan secara santun, tertib dan beradab.
Namun, dalam proses negosiasi memperjuangkan sesuatu sering ditimpali proses komunikasi yang tidak pas. Gaya lugas dan buka-bukaan (low context) sering beradu dengan gaya yang sama kerasnya. Inilah yang sering memicu terjadinya konflik atau pertengkaran terbuka. Bahkan tak jarang berakhir dengan rusuh. Atas nama ketersinggungan atau keterhinaan, sesorang atau suatu kelompok dapat melakukan apa saja. Bila hal ini terjadi maka emosi massa akan sulit dikendalikan.
Padahal, banyak ajaran yang beradab dimiliki masyarakat agama dan kultural kita. Cara-cara santun dan diplomatis sering membuahkan hasil yang gemilang. Dalam budaya Melayu, proses komunikasi itu dilukiskan dalam ungkapan : ibarat menarik rambut dalam tepung, tepung tak tumpah dan rambut pun tak putus. Begitu hati-hati dan bijaknya.
Menegakkan demokrasi di negeri yang baru sebelas tahun menjalani hidup reformastif memang selalu memunculkan banyak friksi dan guncangan. Gaya demokrasi terpimpin di masa Orde Lama dilanjutkan demokrasi sentralistik dengan segenap kebijakan yang bersifat monolitik di era Orde Baru tiba-tiba banting stir ke gaya reformasi. Segalanya serba terbuka. Bom waktu demokrasi satu per satu pun meletus dalam berbagai corak dan warna.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung (free election) melengkapi Pemilihan Legislatif yang semakin proporsional-terbuka tentu menumbuhkan berbagai keterkejutan (shock) di kalangan rakyat. Era keterbukaan telah memunculkan banyak harapan yang berlebihan sehinga euphoria massa pun tak terhindarkan. Berbagai Pilkada untuk Gubernur dan Bupati/ Walikota di negeri ini tekah mencoreng wajah demokrasi kita. Sebutlah kasus Pilkada Gubernur Maluku Utara, Jawa Timur dan sejumlah pemilihan Bupati/ Walikota di Indonesia.
Demokrasi terasa menjadi barang mahal. Demokrasi kadangkala harus dipertaruhkan dengan penderitaan, keringat, darah dan nyawa. Inilah yang sering terjadi di negara-negara berkembang yang baru ‘belajar’ berdemokrasi secara bebas dan terbuka. Padahal, demokrasi bebas telah disalah-tafsirkan sehingga menimbulkan ekses-ekses yang tidak sedap bagi perjalanan bangsa.
Wakil rakyat yang menghuni ‘Rumah Legislasi’ DPR memang tidak masanya lagi duduk enak di singgasana kekuasaannya. Sudahlah bereforia di masa-masa wakil rakyat mereguk kemewahan dengan fasilitas dan tunjangan yang beragam di masa lalu. Kini saatnya hidup lebih realistic karena jutaan pasang mata rakyat menyaksikan apa dikerjakan para wakil rakyat bagaikan dalam sebuah akuarium raksasa dengan kaca bening dan transparan. ***

No comments: