Thursday, February 12, 2009

THE LAND BURNING 'CULTURE'

Dear Lovely Reader,
Any nice joke. In Indonesia just has not two season but became three season. That are Dry Season, Wet Season and Haze Season. Haze season show us that land burning has still be culture for a part people. According to my friend, right now, only 2-3 people of local community that doing it. But the problem, that the people are still burn the land are friend of the 2-3 people. Oh, Indonesia...

SEJAK maraknya kebakaran lahan di Indonesia yang menimbulkan jerebu (kabut asap) telah menjadikan negeri ini begitu populer di mata dunia internasional. Indonesia tiba-tiba dijuluki sebagai negara ‘pengekspor asap’. Atau, negeri yang tak mampu mengelola kawasan hutan secara bijak. Citra buruk ini terus saja berlanjut di tengah pertelingkahan pendapat yang tak habis-habisnya soal kerusakan dan penyelamatan lingkungan yang melibatkan semua pihak.
Fenomena jerebu pula yang telah mengakrabkan semua lapisan masyarakat dari perkotaan hingga pedesaan terkait sejumlah jargon. Sebutlah, hotspot, no burning, global warming, climate change, carbon trade dan masih banyak lagi. Tentu saja istilah short time, tidak ada kait-mengaitnya dengan isu jerebu ini. He he.
Datangnya musim jerebu kali ini dipastikan akan menyengat sensitivitas masyarakat dunia dan pemerhati lingkungan. Apalagi, COP XIII di Bali pada bulan Desember 2007 lalu dengan thema Climate Change (Perubahan Iklim) yang melahirkan Road Map of Bali, justru sedang menunggu implementasinya secara global.
Persoalannya, kenapa selama COP XIII berlangsung, kebakaran lahan tidak terjadi dan jerebu pun seolah-olah bersembunyi? Sebab, semua pihak mulai dari aparat keamanan hingga petugas dinas terkait dan lapisan masyarakat sama berjaga-jaga atau bersiaga. Ini membuktikan, budaya ‘basa-basi’ memang masih menjadi tabiat yang melekat pada diri bangsa ini. Setelah pengawasan tak diperlukan, maka banyak pihak berkepentingan melanjutkan tradisi bakar lahan baik dalam skala kecil maupun luas.
Data pantauan satelit National Oceanographic and Atmospheric Administration (NOAA) 18 pada 19 Februari 2008 menunjukkan hotspot (titik panas, bukan titik api) di Pulau Sumatera sejumlah 163 hotspot, namun 89 hotspot di antaranya berada di Provinsi Riau. Padahal, sebagian besar provinsi di pulau Swarna Dwipa ini memiliki kawasan hutan dengan masyarakat hutan tradisionalnya. Apa yang salah dengan Riau?

Local Wisdom Melayu
Maraknya hotspot (titik panas, bukan titik api) yang mencuat sejak hampuir satu dasawrasa terakhir dan merebak di mana-mana, membuat Menteri Kehutanan, M. S. Kaban merasa gamang dan kelabakan juga. Tahun lalu, dalam sebuah pertemuan di Riau, Kaban menanggapi soal hotpsot itu dengan sebuah kelakar. Suatu kali, satelit memantau hotspot di Indonesia ini pada siang dan malam hari itu berbeda sangat signifikan. Jumlah hotspot pada malam hari ternyata jauh lebih banyak disbanding siang hari.
“Para ahli pun mencoba menganalisis data hotspot itu. Bahkan, foto citra landsat itu pun diperbesar (zoom). Tahu-tahunya, hotspot malam hari itu bersumber dari para tukang sate. Maklumlah, sensitivitas peralatan satelit itu bisa mendeteksi panas yang bersumber dari pembakaran daging sate..” ucap Kaban yang membuat para hadirin tertawa lebar.
Provinsi Riau dengan dominasi budaya Melayu mempunyai kawasan hutan cukup luas memang memiliki kearifan lokal (local wisdom). Dalam masyarakat Petalangan –salah satu puak Melayu- sudah dianut dan diimplementasikan sejak lama bagaimana pemanfaatan sumberdaya hutan sesuai klasifikasinya. Khusus kawasan hutan produksi yang menjadi sumber lahan dan sumber bahan baku kayu bagi kehidupan masyarakatnya diatur sedemikian rupa. Sistem ladang berpindah-pindah yang diawali dengan penebangan kawasan hutan melalui sistem rotasi, telah dapat menyelamatkan kerusakan lingkungan di kawasan hutan. Persebatian hidup antara masyarakat tradisional dengan alam lingkungannya terjaga begitu rapi dalam jangka waktu yang panjang.
Tradisi membakar lahan dalam proses land clearing sudah berlangsung sejak masyarakat tradisional ini memanfaatkan kawasan hutan sebagai sumber nafkah penghidupan. Penebangan kayu hutan pun tidak dilakukan secara sporadis melainkan hanya menggunakan peralatan sederhana seperti beliung, kapak atau pun parang.

Perda Karhutla
Realitas inilah yang membuat pihak legislatif dan pemerintah daerah Provinsi Riau berinisiatif melahirkan Perda tentang Pedoman Pengendalian Kebakaran Hutan, Lahan, dan Dampak Lingkungan Hidup (Karhutla) yang disikapi publik secara kontroversial. Kenapa? Perda tersebut membolehkan masyarakat petani tradisional untuk membuka lahan dengan cara membakar dengan luas maksimum dua hektare saja. Semangat Perda itu dinilai sangat tidak mendidik masyarakat karena melegitimasi mereka untuk membakar lahan yang pasti berakibat pada kerusakan lingkungan. Apalagi dalam implementasinya, bila pembakaran lahan seluas dua hektare itu dilakukan secara sporadis justru dipastikan minimbulkan wabah jerebu yang luar biasa.
Polemik soal Perda Karhutla di provinsi Riau ini memang tak dapat dielakkan. Semua pihak yang berkepentingan saling adu argumentasi yang tak habis-habisnya. Ketua DPRD Riau, Drh. Chaidir, MM secara tegas menampik tudingan macam-macam yang sangat memojokkan pihak pembuat kebijakan dan masyarakat petani tradisional. Apalagi, Perda itu dibuat dan didukung oleh mekanisme implementasinya yang paling aman bagi aspek lingkungan.
"Kita melahirkan perda tersebut demi kepentingan masyaraikat banyak dan sebelum perda itu disyahkan, sudah dibahas secara seksama dampaknya," kata Chaidir pada media saat Perda Karhutla tersebut disosialisasikan. Menurut dia, perda itu dibuat sebagai benuk keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat tradisional untuk mengelola lahan yang dimiliknya.
Sejiwa itu dengan Wakil Ketua DPRD Riau, Suryadi Khusaini ‘membela’ Perda Karhutla itu dengan mengedepankan asas hukum yang lebih mendasar. ‘’Perda itu kita susun antara lain berdasarkan semangat UUD 45 yang
menghargai hak-hak dan tradisi yang hidup dalam masyarakat,’’ kata Suryadi.
Namun, Menteri Negara Lingkungan Hidup. Rachmat Witoelar menolak mentah-mentah Perda Karhutla yang sudah disetujui pihak DPRD Riau yang dianggapnya ‘sesat’ itu.
"Perda Riau itu sesat, karena membolehkan orang membakar sampai dua hektar hutan atau lahan," kata Rachmat usai membuka Lokakarya Sistem Penataan dan Penegakan Hukum di Bidang Lingkungan Hidup pada tahun 2005.
Menurut Rachmat Witoelar, pihaknya sedang bekerja keras untuk membahas Perda Karhutla tersebut dengan Menteri Dalam Negeri agar meninjau ulang keberadaan peraturan hukum itu.
Senada dengan itu, Menteri Kehutanan MS Kaban dan Kapolda Riau memberikan reaksi penolakan. Menteri Kehutanan keberatan terhadap salah satu isi pasal Perda tersebut yang membolehkan masyarakat membakar hutan dalam membuka lahan maksimal dua hektar.
Menurut Kaban, kebijakan itu bertentangan dengan kebijakan "zero burning" alias pembakaran nol persen yang diperjuangkan selama ini. Sedangkan di sisi Polda Riau, mereka telah memberi sinyal tidak akan menggunakan Perda Karhutla dalam menangani kasus-kasus pembakaran hutan.
Bila dilihat dari aturan hukum, Perda Karhutla ini bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi yaitu UU No19 tahun 2004 tentang Kehutanan, Di dalam pasal 3 Ayat (3) Perda tersebut dinyatakan diperbolehkannya masyarakat tempatan melakukan pembakaran hutan maksimal 2 hektare per kepala keluarga.
Departemen Dalam Negeri (Depdagri) meminta pembatalan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) yang telah disyahkan DPRD Riau.

No Burning Lahan HTI
Polemik soal kebakaran lahan dan jerebu ini terus berkembang menjadi wacana publik. Bahkan, ada pihak yang terang-terangan menuduh pihak perusahaan perkebunan besar dan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang menjadi biang keladinya. Di Provinsi Riau saat ini terdapat kawasan perkebunan kelapa sawit seluas 1,8 juta hektare dan kawasan HTI yang dikelola dua industri pulp dan kertas dengan total luas sekitar 700 ribu hektare.
Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit dengan cara membakar memang bukan hal yang mengejutkan lagi. Sebab, pembukaan lahan yang paling mudah dan murah melalui cara pembakaran. Bahkan, perbandingan biaya pembukaan lahan dengan cara membakar bisa lebih hemat empat kali lipat di banding cara-cara no burning (tanpa bakar). Proses hukum terhadap sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang divonis oleh pihak pengadilan, menunjukkan adanya kecenderungan pembakaran lahan oleh perusahaan perkebunan tersebut.
Di sisi lain, pembukaan lahan di kawasan HTI mempunyai pola yang berbeda. Proses land clearing di konsesi HTI yang sudah memperoleh legalitas dari pemerintah melalui Departemen Kehutanan lebih mengutamakan aspek lingkungan. Seperti industri pulp dan kertas PT Riau Andalan Pulp And Paper (Riaupulp) yang beroperasi di Provinsi Riau sejak tahun 1994 sudah memberlakukan No Burn Policy (Kebijakan Tanpa Bakar). Ini bermakna tiga tahun lebih awal mempraktikannya karena kebijakan no burn dari pemerintah baru dikeluarkan tahun 1997.
Bagi Riaupulp, pembukaan lahan tanpa bakar justru sangat menguntungkan karena cabang kayu yang berdiameter kecil masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pulp, ranting-ranting dan dedaunan dibiarkan jadi serasah dan humus di samping berfungsi dapat menahan proses erosi saat hujan turun. Namun, cara no burn itu tidak menimbulkan api dan asap yang dapat membahayakan bagi kesehatan.

Bakar Lahan dan ‘Musim Banjir’
Masyarakat tradisional di negeri ini sangat menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam dan fenomena alam. Musim yang silih berganti antara musim hujan dan kemarau menjadi titik-pijak melakukan aktifitas dalam memenuhi sumber penghidupannya. Itulah sebabnya, pada musim kemarau ketika kawasan hutan sangat kering kerontang dimanfaatkan oleh petani tradisional untuk membuka lahan dengan cara membakarnya.
Sebaliknya, pada musim hujan, para petani memanfaatkan waktunya untuk bercocok-tanam. Sebab, di musim hujan tanah pertanian mereka menjadi gembur dan subur sehingga saatnya untuk ditanami. Bersamaan dengan itu, pemanfaatan sumber bahan baku kayu di kawasan hutan diwujudkan melalui penebangan pohon-pohon besar atau pembalakan yang semula hanya digunakan untuk pembuatan tiang dan papan bagi pembangunan rumah tempat tinggal atau fasilitas desa. Pada musim hujan inilah mereka secara mudah menghanyutkan potongan kayu balak itu dari kawasan hutan karena adanya genangan banjir akibat curah hujan dan lupan air sungai. Inilah yang disebut masyarakat desa sebagai ‘musim banjir’ atau musim penebangan kayu di hutan.
Para petani tradisional memang sangat bersebati dengan kawasan hutan. Sebab, hutan dapat berfungsi sebagai sumber mata pencaharian, apotik hidup, sumber bahan baku kayu untuk pertukangan dan perumahan dan ranah menebar nilai-nilai budaya yang terus dipelihara seperti tradisi mantera.
Ketergantungan petani tradisional pada hutan telah menumbuhkan aturan-aturan yang mengandung kearifan local dalam menjaga kelestarian hutan. Itulah sebabnya, tradisi membakar lahan yang berlangsung hingga kini dilakukan semata-mata untuk mempertahankan hidup bukan untuk menguak sumber kekayaan yang berlimpah-ruah.
Amat jarang didengar terjadinya kebakaran hutan yang luas selama berminggu-minggu. Hal ini disebabkan tradisi pembakaran lahan yang dilakukan melalui upacara-upacara tradisional yang mendekatkan hubungan spiritual mereka dengan Tuhan Pencipta Alam. Di samping itu, masyarakat petani ini melakukan pengawasan dan penjagaan yang ketat agar nyala api pembakaran tidak merebak lebih luas tanpa kendali. Belum lagi, aturan-aturan adat-tradisi yang memberlakukan hukuman moral bagi masyarakat yang melakukan pengrusakan lingkungan termasuk kawasan hutan yang harus terus dilestarikan.

Dilema Jerebu
Persoalannya kemudian, pemanfaatan kayu di hutan tidak hanya sebatas kebutuhan melainkan sudah berubah untuk mendapatkan sumber kekayaan. Celakanya, masyarakat desa di kawasan hutan itu hanya ‘diperalat’ untuk menjadi pelaku penebangan yang dimodali oleh para tauke yang membekalinya dengan uang dan peralatan. Bila kawasan hutan sudah rusak maka kawasan itu langsung dialih-fungsikan menjadi kawasan perkebunan yang dibersihkan dengan cara membakar. Beginilah dilema kerusakan hutan, kebakaran lahan dan maraknya jerebu yang datang secara musiman dan berkala.
Pembalakan liar yang marak belakangan ini terus ditangani pihak aparat hukum untuk mencegah kerusakan lingkungan khususnya kawasan hutan yang lebih parah lagi. Namun, kasus kebakaran lahan yang terus saja terjadi meski sudah ‘dipagar’ dengan berbagai aturan bagai sulit dihentikan. Bila kasus kebakaran lahan itu hanya dilakukan oleh para petani tradisional di lahan-lahan pertanian mereka yang luasnya hanya sekitar dua hektare, tentulah efek jerebu tidak akan sedahsyat ini.
Persoalannya, siapa sebenarnya yang melakukan pembakaran lahan dalam skala besar-besaran? Kecurigaan dapat dialamatkan ke pihak-pihak berkepentingan dengan usaha perkebunan, kehutanan dan pemilikan lahan yang sangat luas. Tindakan hukum yang sudah dan terus dilakukan diharapkan dapat menimbulkan ‘efek jera’ sehingga tidak diulangi atau diikuti oleh pihak-pihak lain yang ingin berspekulasi pula.
Cukup sudah penderitaan akibat jerebu yang sangat mengganggu aktifitas kehidupan dan menimbulkan berbagai penyakit. Seperti terungkap dalam data-data: selama tahun 2006 silam tercatat 12.000 orang terkena ISPA (Infeksi saluran pernapasan akut), 3000 orang terkena diare dan 10.000 orang menderita diare.
Kita jadi teringat lirik sebuah lagu The Mercys di tahun 1970-an yang berbunyi:
Aku..tak sanggup lagi
Menerima semua ini
Aku tak sanggup lagi
Menerima semuanya….
+++

1 comment:

Anonymous said...

Amazing