Wednesday, February 11, 2009

VOICE AND VOTE

Dear All,
There are much voice surround of us. Voice can make be noise. Vote can change the future of some one. The election will be held based on voice and vote...

SEMUA orang punya kekayaan suara dalam makna realistik dan konotatif. Seorang penyanyi menjadikan suaranya sebagai sumber penghidupann yang amat bernilai dalam jangka panjang. Itulah sebabnya, penyanyi handal, tak akan mudah menyumbangkan suaranya di sembarang waktu dan tempat. Sebab, suara yang dimilikinya selalu dihargai dan dipelihara agar tetap punya nilai.
Suara bagi seorang penyanyi merupakan modal besar agar memberikan nilai sosial dan ekonomia sepanjang hidupnya. Begitu pentingnya arti suara bagi penyanyi, tak jarang seorang penyanyi professional tak bersedia tampil di panggung begitu menilai musik pengiringnya asal-asalan. Sebab, bila hal itu terus dipaksakan justru akan merusak reputasi dan profesionalisme yang dipeliharanya bertahun-tahun.
Begitulah, seorang penyanyi menempatkan kemolekan suaranya sebagai suara pilihan. Sang penyanyi memiliki hak prerogatif untuk memunculkan suaranya atau tidak. Suara pilihan memang harus selalu terjaga dan tidak mudah terhamburkan secara murahan. Oleh sebab itu, penyanyi akan selalu menjaga keutuhan suara dari segala gangguan yang dapat merusak kualitas suara.
Suara bagi seorang saksi dalam suatu kasus pengadilan mempunyai makna dan nilai yang lain lagi. Bahkan suara para saksi itu sangat mahal harganya. Itulah sebabnya ketika digelar sebuah lomba menyanyi di kalangan pengadilan dengan para peserta berasal dari pihak-pihak yang berperan dalam proses hokum, terjadi keanehan. Ketika perwakilan hakim, jaksa. Polisi dan tersangka tampil di panggung, secara lincah dan mudah mereka melantunkan suara emasnya. Tapi, seorang peserta terakhir, sejak awal berada di panggung hanya diam membisu, meskipun musik pengiring sudah berbunyi hangar-bingar. Para juri dan penonton makin penasaran.
Usai penampilan yang sangat mengecewakan itu, peserta lomba terakhir ini pun ditanyai wartawan terkait aksi diamnya di panggung.
“Kenapa Anda hanya diam dalam lomba mkenyanyi ini?” Tanya wartawan antusias.
Peserta lomba ini pun berterus terang.
“Maafkan saya karena telah mengecewakan banyak orang. Saya sengaja tidak bersuara karena sebenarnya saya ini perwakilan dari saksi pengadilan. Sebagai saksi, saya harus hati-hati ‘menyanyi’. Banyak kasus berantakan, karena para saksinya ‘menyanyi’ suka-suka…” jawab peserta lomba apa adanya.
Suara memang tidak hanya sekadar gerakan vibrasi yang meluncur dari mulut seseorang saat bersuara. Suara bisa jadi memiliki nilai kedaulatan yang mengguncangkan dunia. Suara yang terjaga dan terpelihara akan memiliki kewibawaan yang dihargai semua orang. Pepatah Melayu lama berbunyi : “mulutmu, harimau kamu..” Artinya, kata-kata (baca: suara) seseorang akan dapat mematikan diri sendiri atau orang lain bila tidak dipergunakan sebagaimana layaknya.
Suara (vote) dalam makna politis mempunyai dimensi lain lagi. Hak suara seseorang dalam setiap pemungutan suara (election) benar-benar bernilai sangat asasi. Tak ada bedanya suara seorang tukang becak dengan suara seorang presiden saat berada di bilik suara. Itulah sebabnya, asas Pemilu di semua negara akan bersifat langsung, umum, bebas dan rahasia. Saat seseorang berada di bilik suara, tak ada pihak mana pun yang dapat melakukan intervensi dalam bentuk apa pun.
Suara yang diberikan untuk memilih seorang pemimpin, tentulah bersifat sangat asasi. Tak ada yang dapat mengintervensinya. Apalagi pilihan dalam dunia politik mempunyai peluang kebebasan dalam menentukan sikap. Semua orang tahu, bagaimana Gubernur California, Arnold Schwarzeneger, aktor film laga merupakan pendukung Partai Republik yang beerseberangan dengan isterinya sendiri pendukung Partai Demokrat. Ternyata tak ada hal serius yang dapat mengganjal hubungan suami-isteri itu. Kenapa? Kematangan politik membuahkan hasil munculnya sikap toleransi yang demikian besar.
Di Indonesia, pengalaman dan kematangan politik kita masih perlu diasah dan diuji. Berbeda pendapat saja sudah bisa menimbulkan perkara panjang. Apalagi berbeda pendapatan. Ini negeri yang sedang berkembang dan terus berusaha menemukan jatidiri dengan tempaan pengalaman yang masih panjang. Menikmati kemerdekaan secara harfiah selama lebih setengah abad ternyata belum cukup mendewasakan kita. Masih diperlukan pembelajaran demi pembelajaran hingga kita menemukan makna kematangan politik itu yang terimplementasi di dalam kehidupan sehari-hari.
Suara dalam tataran politik kita diperebutkan demikian hebat dan dahsyatnya. Apalagi suara para pemilih pemula atau orang-orang yang berada di tataran grass root (akar rumput) yang lugu dan polos. Jauh dari trik dan akal-bulus yang mengharapkan keuntungan sesaat. Makanya, dalam demokrasi awal yang dimunculkan pada masa Yunani dulu, ada adagium : Lex populi…(Suara rakyat adalah suara Tuhan). Begitu tulusnya suara yang dimiliki rakyat yang belum tersentuh kepentingan-kepentingan yang mendangkalkan pikiran dan hati nurani.
Namun, dalam perkembangan demokrasi di mana-mana, cara-cara ‘Abu Nawas’ (baca: penuh tipu-daya) boleh saja terjadi. Cara yang paling mudah tak lain memberikan bingkisan atau iming-iming sesuatu yang dapat mengubah pilihan. Uang bisa jadi penentu kemenangan meski pun cara-cara begitu sangat tidak elegan. Tapi, demokrasi kita memang masih sampai pada batas-batas serupa itu. Sebab, bila kita tidak melakukan ternyata pihak lawan lebih agresif dan pro-aktif dalam merebut simpati kalangan rakyat kecil yang lugu.
Jangan heran, bila hasil sebuah Pilkada atau Pemilu bisa berbeda sangat signifikan dibanding upaya memperoleh dukungan suara melalui kampanye yang berapi-api dan berbusa-busa. Bahkan, perlu dipertanyakan, seberapa jauh arti penting kampanye bila dibandin ‘serangan fajar’ atau ‘tebar pesona’ yang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat kecil berupa BLT (bantuan langsung takluk), paket makanan atau bingkisan lainnya.
Ada anekdot ringan bagaimana kesetiaan pilihan politik seseorang. Konon, di Madura, saat hasil Pemilu sebuah partai besar sangat mengecewakan dibanding janji rakyatnya untuk mendukung partai tersebut. Alasannya sederhana seperti pengakuan salah seorang rakyat: “Soal setia, 24 jam kami mendukung parpol Bapak. Hanya saja, 5 menit di bilik suara saja kami tak setia. Setelah itu kami dukung partai Bapak lagi. Berarti kami masih banyak setianya ‘kan, Pak?” Si jurkam partai besar hanya bisa melongo. Sedih.***

No comments: