Thursday, February 12, 2009

WHEN THE WEDDING GIFT FOLLOW THE HONEY MOON

Dear All,
This is just old story. KPK warn all Government Officer that should be carefull to get the wedding gift. They will monitor and check it detailly. In my mind...this was not just bride will go to 'honey moon' but also 'the gift'. Ah, surprise...he he!


HELAT usai, piring pun pecah.
Rumah siap, penokok pun berbunyi.


Kata bijak Melayu ini bagai sefaham dengan apa yang dilakukan Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid yang meminta KPK memeriksa dan mengidentifikasi kado-kado perkawinan yang diterimanya pada pesta perkawinan di TMII, 12 Mei lalu. Hidayat tak mau dipergunjingkan soal kado dan hadih yang diterimanya di tengah-tengah kebahagiaan yang sedang dipetiknya kala menikahi perempuan pilihan pendamping hidupnya, dr Diana Abbas Thalib. Bila pesta usai, semestinya tak ada lagi tanda tanya apa pun yang menyertainya kelak. Apalagi, meragukan pemberian orang lain yang bisa saja terkatagori sebagai gratifikasi atau suap.
Temuan KPK atas kado-kado perkawinan Hidayat tersebut berupa uang tunai baik dalam rupiah maupun uang asing senilai Rp. 191 juta. Sumbangan itu terdiri atas uang tunai Rp. 130 juta, cek senilai Rp. 12 juta, sumbangan uang tunai dalam bentuk uang asing senilai 5.000 ribu dolar AS dan 500 dolar Singapura. Kasus ini benar-benar menjadikan kado perkawinan pun ikut-ikutan ‘berbulan madu’ di kapal pesiar yang bernama KPK.
Langkah Hidayat ini patut dipuji di tengah gersangnya nilai keteladanan para pemimpin bangsa ini yang sebagian besar asyik-maksyuk mengumpul kekayaan sebanyak-banyaknya. Inisiatif Hidayat untuk meminta pihak KPK ‘mengaudit’ kado-kado perkawinannya mulai dari amplop (angpao), karangan bunga atau barang-barang sekaligus menjadi alat kalibrasi dan introspeksi bagi para pejabat publik yang pernah menyelenggarakan pesta-pesta sejenis baik pesta perkawinan maupun pesta ulang tahun, pesta perpisahan atau pisah-sambut dan perayaan lainnya.
Orang masih ingat beberapa tahun lalu ketika petinggi negeri ini juga menyelenggarakan pesta perkawinan yang sempat menimbulkan gunjingan soal adanya kado berupa mobil mewah. Meski soal ini sudah diklarifikasi ke publik, namun tetap saja menyisakan sejuta tanda tanya dalam pikiran publik soal benar atau tidaknya itu. Tak terhitung lagi pejabat publik dalam berbagai jenjang dan tingkat yang telah menyelenggarakan perayaan serupa yang melenggang tanpa terusik oleh pemeriksaan KPK atau badan audit keuangan negara lainnya.
Tampaknya, pemeriksaan kado perkawinan Hidayat-Diana yang dilakukan KPK ini menjadi awal kebangkitan mengkritisi soal kekayaan para pejabat publik kita. Negeri ini sudah lelah mengutak-atik soal arti perting good governance yang cenderung hanya menjadi wacana belaka.
Ingat saja, di masa pemerintahan Orde Baru dulu banyak gebrakan pelaporan kekayaan pejabat, larangan pejabat melakukan perjalanan ke luar negeri atau pemeriksaan rumah dan mobil mewah. Belum lagi, bermunculan institusi auditor pemerintahan dengan segala sistem pengawasan yang terkenal dengan waskat (pengawasan melekat). Kadangkala, ‘waskat’ ini diplesetkan pula sebagai ‘pengawasan malaikat.’
Tapi pola ‘hangat-hangat tahi ayam’ selalu saja menjadi kebiasaan semua pihak di negeri ini. Mulanya bersemangat, lama kelamaan hilang tanpa berita. Oleh sebab itu, gebrakan KPK dalam mengaudit kado-kado perkawinan para pejabat publik ini wajar bila disikapi rakyat dengan perasaan skeptis. Apalagi di tengah keraguan rakyat atas pola pemeriksaan dan audit yang dilakukan institusi berwenang mulai dari KPK, BPK, inspektorat vertikal dan horisontal serta berbagai badan audit lainnya yang sering terkesan masih ‘tebang pilih.’
Ihwal kado perkawinan yang ditengarai sebagai gratifikasi memang sudah saatnya dijadikan obyek penyelidikan pihak berwenang seperti KPK. Apalagi, batasan nilai uang berupa kado tersebut sudah ditetapkan Mahkamah Agung sepanjang tidak melebihi nilai Rp. 1 juta. Sedangkan KPK sendiri sedang merumuskan kisaran yang dibolehkan antara Rp. 500 ribu- Rp. 1 juta. Meskipun, jumlah perolehan uang kado tersebut masih cukup besar andai saja dari 3000 tamu terdapat 500 orang saja yang memberi kado uang tunai dan cek senilai Rp. 1 juta maka uang yang terhimpun akan mencapai Rp. 500 juta. Sebuah jumlah yang cukup fantastis bila diukur dari kesejahteraan rakyuat Indonesia rata-rata.
Ukuran pantas atau tidaknya nilai kado yang diberikan pada pihak pejabat publik yang menyelenggarakan pesta atau perayaan sebenarnya dapat dilihat dari seberapa jauh nilai kepentingannya bagi kedua pihak. Para pemangku kepentingan (stake-holder) pasti bisa mengukur nilai hubungan tersebut. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal perizinan tentu saja akan dipandang memiliki nilai konflik kepentingan pada pejabat publik terkait. Rasa keadilan yang tertanam di hati sanubari masing-masing akan lebih lugas berbicara tanpa perlu diungkapkan lewat retorika.
Keteladanan yang sudah diperlihatkan Hidayat Nur Wahid benar-benar jadi setetes air di padang oase kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini yang terasa sudah lama kering. Kejadian ini benar-benar mengingatkan semua orang atas keteladanan yang pernah ditunjukkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dikisahkan, bagaimana anak kandungnya saat ingin menghadap dan berurusan di kantor pada malam hari, terlebih dulu menanyakan apakah hal yang ingin dibicarakan terkait urusan pribadi atau negara. Begitu si anak menyatakan urusan pribadi, lantas Khlaifah Umar memadamkan lampu di ruang kantornya.
Bila ingin berkaca pada realitas kehidupa berbangsa dan bernegara kita pada hari ini, sebarapa banyak pejabat publik yang menggunakan kendaraan dinas, rumah dinas atau fasilitas kantor lainnya yang justru digunakan untuk kepentingan di luar dinas. Bahkan, tak terkira para pejabat publik yang memiliki 2-3 mobil dinas yang sering lalu-lalang di ruang publik tanpa merasa malu. Apalagi, soal uang negara yang digunakan untuk keperluan non-dinas atau dikorupsi secara sembunyi-sembunyi.
Negeri ini memang sangat membutuhkan figur teledananan yang dapat menyejukkan kegersangan hati rakyat yang terus memelas karena kebijakan-kebijakan pemerintah yang tak mampu mengangkat kesejahteraan mereka. Sudahlah harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi ditambah pula efek ganda (multiplier effect) kenaikan harga BBM dan nilai inflasi yang tinggi. Terus, uang negara yang dialokasikan lewat APBN dan APBD justru digerogoti dengan berbagai dalih yang kelak terkatagori sebagai tindak korupsi, manipulasi dan penggelembungan biaya (mark up). ***

No comments: