Thursday, February 12, 2009

CHINESE NEW YEAR IN MALAY LAND

Dear Lovely Reader,
Happy Chinese New Year 2560. Gong Xi Fa Cai.
I have an experience to know about Chinese people and culture. So, right now, i am sharing with you all. Life is be colorfull. Pluralism. Thanks.


SAYA merasa beruntung karena di masa belia dulu dapat bersentuhan langsung dengan kebudayaan China. Sebagian teman sekolah saya semasa SMP dan SMA merupakan keturunan China. Maklumlah, Pulau Bengkalis –tempat saya melewatkan masa-masa pendidikan sekolah menengah itu- di awal tahun 1970-an masih dipandang wilayah yang terisolir dengan penduduknya mayoritas keturunan China. Pusat perkotaan sangat dominan dihuni oleh pengusaha-pengusaha China yang menempati ruko-ruko berjajar di sepanjang ruas jalan kota. Konon, sebelum itu, ada sejumlah ruas jalan yang ‘dikuasai’ preman China sehingga tidak memungkinkan orang-orang Melayu atau pribumi lainnya leluasa melewatinya.
Di masa-masa itu pula, saya mulai tahu bagaimana perayaan Imlek yang tanggalnya selalu berubah-ubah menurut tahun masehi. Datangnya Hari Raya Imlek masa itu bermakna pula selama sepekan orang-orang Melayu dan pribumi lainnya harus bersabar karena sulit untuk membeli barang-barang keperluan. Sebab, semua pertokoan atau pusat belanja sudah dipastikan tutup.
Namun, setiap datangnya perayaan Imlek memberikan sebuah tontonan menarik bagi kebanyakan orang. Dipastikan, ada arak-arakan keliling kota yang mengusung berbagai properti ritual Kong Hu Cu dengan atraksi para ahli agama mereka yang menusukan pedang runcing dari pipi kiri ke pipi kanan. Atau, aksi memukul-mukulkan bola berduri bak durian yang diberi rantai ke sekujur tubuh. Lebih dahsyat lagi, adegan mencencang tubuh sendiri dengan pedang tanpa terluka sedikit pun.
Selanjutnya, laiknya perayaan agama Islam yang selalu diagungkan sekali dalam setahun, perayaan Imlek bagi orang-orang China ditandai dengan pemasangan atribut ritual dengan menyilangkan tebu panjang di kiri-kanan pintu masuk. Di hari-hari awal Imlek, biasanya dipajang di halaman rumah sesajian berupa buah-buahan dan telur yang didominasi warna merah. Semula, sesajian itu sempat di’curi’ anak-anak pribumi dengan semangat bukan untuk mengganggu kesakralan ritual Imlek melainkan hanya iseng untuk mencicipi sebagian buah-buahan dan sesajian yang ada.
Saling kunjung baik sesame warga China maupun dari kalangan pribumi sebagai penghormatan atas pertemenanan yang disusupi semangat kerukunan, berlangsung meriah. Ada yang datang karena hubungan bertetangga namun banyak pula yang didasarkan atas hubungan baik sebagai kolega di sekolah atau tempat kerja. Rukun dan damai itu memang indah!
Kebudayaan jamak (multi-culture) itu memang nikmat yang memungkinkan terjadinya persilangan budaya (cross culture) yang memperkaya khasanah kehidupan. Keleluasaan untuk saling berhubungan dengan semangat saling menghargai dan menghormati semakin mempersempit ruang kecurigaan (prejudice) yang sejak lama sempat terbangun di negeri ini. Kecemburuan sosial karena perbedaan nasib dan keberuntungan dalam penguasaan sumber ekonomi, selalu menjadi biang terjadinya letupan rasial sebagaimana yang pernah terjadi di beberapa kota di tanah air.
Kebijakan yang terkait dengan orang-orang China di Indonesia mengalami pasang surut yang silih-berganti. Ada masanya, betapa sulit pengurusan status kependudukan bagi orang-orang China keturunan. Pernah pula, orang-orang China keturunan harus menggunakan nama Indonesia sebagaimana diperlihatkan para atlet dan orang-orang ternama di negeri ini seperti Rudy Hartono, Christianto Wibisono, Verawaty Fajrin dan masih banyak lagi,
Munculnya kebijakan semacam itu, tak terlepas dari latar belakang historis bangsa ini yang memiliki masa silam saat betapa mesranya hubungan Bung Karno selaku Presiden RI dengan para petinggi Negara China sehingga melahirkan ‘Poros Jakarta-Beijing’. Puncaknya, saat meletus Gerakan 30 September/ PKI yang sempat didukung oleh organisasi-organisasi yang dimotori oleh orang-orang China keturunan yang menjadi underbouw PKI di masa itu. Terbukti kemudian, banyak pula aktifis organisasi China itu yang ditengarai terlibat dalam kegiatan partai komunis yang meninggalkan bara-luka di kalangan masyarakat pribumi Indonesia.
Kedekatan para tokoh China di negeri ini dengan para oknum penguasa makin memperuncing dan mempertajam sikap kecurigaan terhadap etnik yang konon merupakan asal-usul nenek moyang bangsa Indonesia. Orang mudah menebak bila kedekatan oknum penguasa tersebut terkait budaya ‘semir’ atau ‘suap-menyuap’ yang didasarkan atas rasa kepercayaan (trusted). Apalagi, sudah jadi rahasia umum bila budaya ‘angpao’ (amplop) menjadi tradisi masyarakat China sejak dulu hingga kini. Belum lagi, budaya-ritual menebar ‘duit’ di laut atau membakar ‘duit’ di kelenteng atau rumah hunian ditafsirkan sebagai upaya memberikan ‘sesuatu’ pada penguasa (dewa) agar tidak mendapat kesulitan dalam perjalanan hidupnya.
Sebagai kelompok minoritas namun memegang kendali yang dominan di bidang perekonomian, orang-orang China keturunan di Indonesia dipastikan menjaga rasa kepercayaan ini. Itulah sebabnya, orang-orang China keturunan tidak akan pernah menyia-nyiakan kepercayaan dari pihak mana pun terutama kalangan oknum pejabat mengingat keberadaan mereka yang juga ingin aman dan nyaman dan tindakan keseharian.
Perayaan Imlek di tanah Melayu pada hakikatnya menjadi perbancuhan budaya yang sarat makna. Kebersamaan yang muncul dalam perayaan Imlek tersebut kian menyadarkan semua pihak betapa hidup ini sangat berwarna-warni (colorful) dan penuh keragaman (diversity). Suasana serupa inilah yang dapat mempersempit jurang budaya yang pernah melebar di masa silam.
Apa yang dilakukan pemerintah Malaysia dan Singapura dalam proses akulturasi dengan menempatkan semua unsur etnik berada sejajar dan diakui eksistensinya, patut menjadi benchmarking untuk mewujudkan masyarakat multi-kultural di negeri ini. Perlindungan (proteksi) terhadap hak-hak dan keberadaan orang pribumi memang tak dapat dihindari sebagaimana yang diterapkan Malaysia melalui ‘politik Bumi Putera.’ Itu pun harus dipertimbangkan jangan sampai menyentuh wilayah yang berbau diskriminasi agar tidak menimbulkan kecemburuan social dan kerusuhan rasial.
Budaya Melayu secara asasi telah memberikan laluan bagi para pendatang secara fisikal dan cultural agar ‘bersebati’ dengan nilai-nilai adat dan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Itulah bidal : ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’. Ini bermaka, siapa saja yang menghormati nilai-nilai budaya Melayu di tanah Melayu sendiri, niscaya mendapat ruang yang nyaman. Selamat Imlek tahun 2560.***

No comments: